Jujur Atau Bohong

1003 Words
Kiandra menyesali keputusannya. Menjadi umpan untuk wewe? Apa mereka semua gila? Dia belum mau mati. Ingatannya melayang saat dia diterkam wewe di taman bermain. Para wewe itu jumlahnya sangat banyak. Dan mereka menjijikan. Mereka adalah makhluk yang paling menjijikan di muka bumi. Kiandra merasakan perutnya diaduk-aduk. Arunika menyadari perubahan wajah Kiandra. "Kau menyesal? Ingin berubah pikiran? Tetapi Dewanti benar, tidak ada yang bisa melindungi orang tuamu." Kiandra menutup mulutnya. Dia tengah mengatur napasnya. Menghirup pelan dan menghembuskannya perlahan. Dia memandang Naraya. Hanya dengan satu gerakan, Naraya berdiri di dekatnya. "Kau baik-baik saja? Kau tidak perlu melakukannya. Kita akan cari cara lain!" gumam Naraya menenangkan di telinga Kiandra. "Kita nggak punya banyak waktu, anjing!" bentak Dewanti. "Jangan dengarkan dia!" kata Naraya lagi. Kiandra hanya diam. "Kau sudah memutuskan mau menjadi umpan. Jadi lakukan tugasmu dengan baik. Sisanya serahkan pada kami," tegas Bayu. "Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk melindungi semuanya." Dewanti tersenyum mendengarnya. Kiandra terdiam cukup lama. Dai menimbang - nimbang baik dan buruknya menjadi umpan. Dia tahu, Naraya kuat, Panji juga, dan lagi petinggi menyebalkan itu. Namun dia masih belum yakin. tetapi dia harus mencoba. Ini adalah kesempatan langka, kesempatan dia untuk keluar dari sangkar Airlangga. Apakah dia akan terus diperlakukan seperti anak kecil yang tidak bisa memutuskan sesuatu dalam hidupnya. Dia harus mencoba. Karena dia yakin, Naraya akan melindunginya. Entah kenapa, gagasan itu membuatnya tenang. "Apa yang harus aku lakukan?" tanya Kiandra mengangkat kepalanya, menatap tajam Bayu. Mereka semua terdengar lega, kecuali Naraya. Naraya masih tetap tidak setuju. Namun dia tidak bisa membantah. *** Mereka semua kembali ke rumah samping. Airlangga sedang mengurus bisnisnya. Para pelayan tidak berani mengadukan pertarungan tadi ke bos mereka. Bayu telah mendapat komando penuh. Menjadi petinggi agung, layaknya presiden yang dihormati dan diiyakan seluruh perintahnya. Kiandra diantar Naraya kembali ke rumah utama. Naraya berkali-kali menanyakan apakah Kiandra yakin dengan keputusannya? Kiandra hanya mengangguk-angguk saja. Bayu menatap mereka berdua dengan senyum ganjil. "Paman, kau cemburu?" bisik Panji mendekatinya. "Tidak. Untuk apa?" bantah Bayu. "Kau kan seumur hidup menyukai sang bulan. Bahkan," Kata-kata Panji menggantung ketika Bayu menatapp dengan tatapan yang mengancam. Panji menutup mulutnya. Dia tahu kapan harus diam. "Bagaiamana keadaan Haya?" tanya Bayu pada Panji. "Sepertinya Bagaskara mengurus mereka dengan baik. Namun sihir yang merantai anak itu belum bisa dilepaskan. Bisa saja dia kerasukan lagi." "Kalau lukamu?" Panji menyeringai senang. "Pulih sepenuhnya!" Arunika menyeret Dewanti kembali ke kamar. Dia ingin tahu, kemana temannya itu pergi selama beberapa hari. Dia menutup pintu dan menguncinya. "Kau kemana saja? Tidak menghubungiku sama sekali?" rengek Arunika. "Ada urusan," jawabnya singkat. "Dan kau tidak rindu padaku, teganya!" Dewanti terbahak. "Stop. Kau bersikap menggelikan." "Kau tahu, ada banyak yang terjadi. Aku nyaris ditebas seseorang," Aruniak menceritakan kisah di asrama Haya. "Kau bersama Bayu. Kau akan aman." "Itu saja? Biasanya kau sangat menentang keberadaan Bayu. Tiba-tiba berubag drastis. Apa sebabnya?" Dewanti tidur telentang di kasur. Dia menatap langit-langit. "Aku berpikir, apakah kau rindu pada tempat asalmu?" Arunika menoleh cepat ke arah Dewanti. "Kau berbohong padaku. Banyak hal." Dewanti tersenyum kecil. "Katakan padaku semuanya. Apakah aku benar pernah koma atau tidak? atau bagaimana?" "Iya kau memang koma, selama beberapa tahun. Tetapi ingatan tentang masa sekolahmu itu juga benar." "Aku tidak mengerti." "Kau di dunia sana, sudah meninggal." Arunika terdiam. Dia berusaha mencerna informasi baru lagi. Dia bingung, mana yang harus dia percaya. Teman satu-satunya ternyata adalah danyang, makhluk halus berkekuatan tinggi di dunia ini. Sebelumnya Dewantu bilang, dia terlahir di kota ini. Semua ingatan itu hanyalah palsu. Dan kini dia diberi tahu kalau dia telah meninggal di dunia sana. Mana yang harus dia percaya? "Kau tahu apa yang kupikirkan? Semuanya nampak tidak nyata. Mana yang benar aku tidak tahu. Kau banyak berbohong padaku. Dan kau bilang aku tadi apa? Senjata pamungkas? Apa itu?" "Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang." "Go to hell!" Umpat Arunika. "Aku gak bisa percaya lagi denganmu!" Arunika membuka kunci dan pintu. Lalu membanting pintu dan pergi meninggalkan Dewanti. Panji dan Bayu melihat Arunika berjalan cepat melewati mereka. Arunika bahkan tidak menyapa. Dia terus berjalan menuju rumah utama. "Aku akan menyusulnya!" Kata Bayu. Dia berlari di belakang Arunika. *** Arunika pergi ke lapangan, arena pertarungan. Dia mengeluarkan pedangnya. Menusuk, menabas, dan meliukkan badannya untuk menyerang. Dia hanya butuh kegiatan untuk mengalihkan perhatian dari kemarahannya. Bayu memasukkan kedua tangannya ke celana panjang hitam. Dia mengamati bagaimana Arunika bergerak. Gadis itu kini berlatih pedang dengan tekanan kemarahan. "Ayo lawan aku," kata Bayu memberikan tantangan. "Aku nggak mau melukaimu. Pergilah!" tolak Arunika. Bayu menyunggingkan senyum. Dia menekuk kemeja panjangannya sampai siku. Dan berjalan pelan di hadapan Arunika. Arunika berdecak. Dia kesal karena Bayu menolak permintannya. Malah sekarang lelaki itu dengan wajah gantengnya ingin melawan Arunika yang sedang marah. Arunika menerjang dengan pedang. Bayu emnghindar dengan mudah. Arunika melompat tinggi, dia menghunuskan pedangnya. Bayu menunduk dan berguling ke samping. Arunika membuang pedangnya, dan memberikan tendangan pada perut Bayu. Duak! Suara itu keras sekali. Bayu mampu menangkis kaki Arunika dengan dua tangannya. Kaki Arunika dicengkram dan tidak dilepaskan. Arunika kesulitan menyeimbangkan tubuhnya. Jadi dia melompat lompat karena satu kakinya dipegang Bayu. "Lepaskan kakiku!" "Ada syaratnya!" "Hah, kau menyebalkan. Dasar playboy!" Bayu mendapat ide, dia melepas sepatu Arunika dan menggelitiki telapak kaki Arunika. Arunika menggeliat dan menjerit karena geli. Dia juga mengumpat pada Bayu agar melepaskan kakinya. "Apa syaratnya!" "Kau setuju dengan syarat apapun." "Apa? Tidak mau. Aku harus tahu apa syaratnya." "Tidak. Harus setuju dulu." "Tidak mau!" Arunika menjerit jerit karena geli. "Oh baiklah. Aku setuju apapun itu." "Bagus." Bayu melepaskan kaki Arunika perlahan. "Kau lelaki menyebalkan!" Bayu membungkuk memberi hormat. Arunika tertawa melihat kelakuan absurd Bayu. "Kenapa kau marah?" "Dewanti membohongiku. Aku tidak tahu lagi apa dia bohong atau jujur. Apa dia sayang padaku, atau mempermainkan hidupku." Arunika berjalan dan menendangi batu-batu kerikil yang dilihatnya. Bayu mensejajarkan langkah dengan Arunika. "Mungkin itu semua demi kebaikanmu," Bayu memberikan nasihat. "Aku lelah diperlakukan seperti bayi. Tidak tahu apapun." "Tenanglah. Kau bukan bayi, aku tahu itu pasti," Bayu mengucapkannya dengan nada menggoda. Arunika memutar bola matanya. "Apakah kau tahu sesuatu? Sebagai petinggi, kau pasti tahu tentangku kan? Siapa aku sebenarnya?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD