Arunika melihat ke depan. Dan benda itu terjatuh di kaca. Arunika hanya mengira ranting yang patah. Tetapi benda itu bergerak, dia hidup. Meliuk meliuk di kaca.
Arunika merinding melihatnya. Dari matanya, dia melihat di mata ular itu terdapat api. Dia mengira matanya yang salah lihat.
Aditya berseru. "Awas!"
Dewanti membuka mata dan badannya membungkuk ke depan, tangannya menepuk kaca. "Pergi sana!"
Ular itu terbakar dan menghilang.
"Wah parasit ya?" Terka Aditya.
"Benar. Tapi mereka tidak akan berani mendekat," sahut Dewanti tenang, seolah adanya ular itu bukan hal besar.
Arunika mencolek Dewanti. "Tadi itu apa? Apa maksudnya parasit?"
Dewanti sedang malas menjelaskan. Dia pura pura melanjutkan tidurnya.
"Dew," teriak Arunika di telibga Dewanti. Tetapi Dewanti tak menggubris.
Arunika berdecak kesal.
"Begini Non, parasit itu adalah makhluk yang dikirim untuk memata-matai. Biasanya dia mengintai musuhnya. Namun parasit sudah jarang digunakan, karena merugikan penggunanya. Penggunanya bisa malah jadi rumah parasit."
Arunika bergidik ngeri. "Tahayul bisa beneran terjadi ya?"
Dewanti tersenyum geli. "Dasar penakut!" Ledeknya.
"Dih! Nggak gitu. Kau lihat tadi kan..."
Dewanti menjulurkan lidahnya. "Penakut!"
Arunika melengos.
Dewanti terkekeh.
Panji tersenyum dalam tidurnya. Dia merasa lega Arunika sudah lebih baik. Dia sudah bisa bercanda dengan Dewanti. Hebat juga danyang itu, bisa menahan diri tidak memaki Bayu.
"Hei ganteng, kau punya pacar tidak?" Tanya Dewanti.
"Belum laku," jawab Aditya.
"Samalah kita," kata Panji.
"Kalian berdua itu memang payah. Punya wajah ganteng tidak laku," Dewanti berdecak heran.
"Memangnya itu penting sekarang ini? Laku atau tidak. Yang penting hidupnya bahagia," celetuk Arunika.
"Dan kau bahagia sekarang?" Tanya Dewanti menusuk.
Arunika memandang ke luar. "Aku sudah berpikir berulang kali. Menjadi bahagia, menjalani hari ini, semua keputusan ada di tanganku. Bukan karena orang lain." Arunika menoleh ke Dewanti. "Aku sudah tidak apa-apa. Kau boleh tenang sekarang."
"Tentu saja, lagipula banyak lelaki yang lebih baik. Contohnya yang jadi sopir kita ini," kata Dewanti.
Aditya yang tidak mengerti arah pembicaraan tiba-tiba disebut namanya. Dia hanya bisa tersenyum saja.
"Ngomong ngomong apakah kita akan membantu persalinan panda?" Tanya Dewanti.
"Oh tidak. Pandanya sudah melahirkan beberapa hari yang lalu. Kita akan mengamankan bayi panda yang dibuang induknya."
"Ada gitu hewan yang membuang anaknya? Seperti manusia saja."
"Mereka pasti punya alasan kuat," kata Dewanti membela.
"Apapun alasannya, meninggalkan bayi baru lahir itu termasuk kejahatan," cerca Arunika.
Dewanti tertawa. "Kalau induk itu tewas, bagaimana?"
Arunika tercengang. "Eh maksudnya bukan yang seperti itu."
Dewanti terdiam lama. Dia memalingkan mukanya. Di ingatannya masih jelas kejadian itu. Masih segar dan menyakitkan hatinya. Sebuah pilihan yang harus dia ambil dengan cepat. Dua nyawa dipertaruhkan dalam waktu yang sempit. Nyawanya dan nyawa anaknya, Arunika.
***
Bagaskara mengolesi luka di wajahnya dengan salep khusus. Sony menataonya iba. Dia memberikan bahasa isyarat. Apakah kau tak apa?
Bagaskara tersenyum. "Hanya luka gores. Sama sekali tidak sakit," kata Bagaskara.
Sony tidak percaya. Bagaskara jarang terluka. Dan luka kali ini disebabkan oleh tinju petinggi agung, Bayu. Dia hanya bisa bersimpati pada Bagaskara.
Bagaskara masih cengengesan di hadapan siapapun kecuali Bayu. Dia tidak menampilkan ekspresi bersahabat setiap Bayu berada di dekatnya. Dia tidak suka sikap plin plan Bayu. Apalagi Bayu mengambil keputusan tanpa bertanya kepada orang-orang kepercayaan.
Padahal Bagaskara siap mati untuknya. Namun perkara Arunika, Bagaskara marah. Dia sudah menganggap Arunika sebagai adiknya. Dan Bayu mencampakkan Arunika tanpa pamit, tanpa kata, tanpa penjelasan.
"Hanya demi kebaikannya," kata Bayu dengan marah.
Kebaikan entut pikir Bagaskara. Bayu hanya terlalu takut menghadapi langsung Arunika. Takut gadis itu akan membencinya tepat di wajahnya. Bagaskara mendengus kesal.
Candy sudah sembuh. Namun dia seperti ketakutan bila melihat Bagaskara. Dia lari terbirit-b***t bila ada Bagaskara dalam radius sepuluh meter darinya.
"Ini lagi, memangnya aku virus apa?" gerutu Bagaskara.
Jadi hari ini dia ingin tahu, kenapa gadis permen itu menghindarinya. Bagaskara mengamati kegiatan Candy. Setiap pagi sampai siang, Candy akan memberikan pelajaran umum pada anak-anak. Kemudian sorenya dia akan berlatih pedang, namun karena dia belum boleh, maka dia hanya berolahraga ringan. Untuk badannya tetap bugar.
Dia menemukan celah Candy sendirian dan berada di taman belakang gedung saat malam hari. Dia hanya menatap bintang, Bagaskara pemasaran apa.yang dipikirkan gadis itu.
"Kau sedang apa?" Tanya Bagaskara.
Candy sangat kaget. Dia tidak sempat lari dari sana. "Kau.. kau sendiri sedang apa? Mengikuti ya?"
Bagaskara terkekeh-kekeh. "Ya, kenapa? Kau takut?"
"Apa mau mu?"
"Tidak ada!"
"Kalau begitu pergi dari sini!"
"Tidak mau. Aku ingin melihat bintang di sini," jawab Bagaskara. Dia duduk memeluk kedua lututnya dan menengadah. "Kau tidak mau duduk?"
"Aku akan mencari tempat lain," jawab Candy kesal.
"Oh Naraya akan datang sebentar lagi," kata Bagaskara.
Candy membeku. Semua tubuhnya terasa kaku. Dia sangat takut dengan Danyang itu. Dalam mimpinya berkali-kali datang, Danyang itu menghabisi musuh di depannya dengan mudah. Ada rasa lega, lebih banyak takut. Candy tidak pernah setakut ini.
Bagaskara berdiri dan meletakkan kedua tangannya di pundak.Candy. "RileksRilekskan bajumu. Tarik napas pelan pelan. Hembuskan. Tarik napas, hembuskan."
Sesak yang memenuhi rongga dadanya berangsur lenyap. Nafasnya mulai normal, namun Candy merasa tubuhnya lemas.
"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Bagaskara.
"Buruk. Seharusnya kau membiarkan aku mati," gumam Candy. Dia tidak suka merasa tak berdaya di hadapan orang lain. Dia tidak suka dikasihani, dipandang iba. Hal itu melukai harga dirinya.
"Kau tidak boleh mati. Tugasmu masih banyak di sini," jawab Bagaskara. "Lagian kau sudah melakukan hal hebat. Membersihkan serangga serangga yang membumbung di langit asrama," hibur Bagaskara.
"Tapi aku tak mampu menghabisi raja babi," kata Candy muram.
"Yah, tidak ada yang bisa."
"Naraya bisa."
"Oh dia hanya mematahkan mantra pengikatnya," kata Bagaskara.
"Maksudmu dia hanya boneka?" Tanya Candy.
"Seratus buatmu. Untuk sementara mantra pelindung Laksamana akan membuat kita aman dan tidak perlu bertarung," kata Bagaskara.
"Kebaoa Laksamana repot repot mengurus keluarga Haya, yang tidak akan memberi keuntungan buat mereka?"
"Kau sinis sekali."
"Keluarga Haya pasti akan dihapus dari silsah bangsawan," tebak Candy.
"Kalau itu yang terjadi, apa yang kau lakukan? Membalas dendam pada Laksamana?"
"Kalau mereka membunuh semua orang yang ada di panti ini, maka jawabanku iya."
"Kau tenang saja. Mereka semua akan aman. Hanya dipindah tempat. Ke tempat yang lebih aman. Bagaimanapun mantra Laksamana tidak bisa seterusnya ada di sini," kata Bagaskara.
"Kemana? Apa ada keluarga lain yang mau menampung kami?"
Bagaskara mengangkat bahu. "Rahasia. Besok kau akan tahu."