Taktik Jitu

2141 Words
Arunika membuka mata. Dia bisa melihat tubuhnya menelungkup di dasboard mobil. Dia seperti arwah yang melayang di udara. Arunika mencoba masuk ke tubuhnya, tetapi dia tidak bisa. Dia melihat Wewe itu mengambil tubuhnya dengan kuku-kuku tajamnya. Dan akan memakannya. Tidak! Dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia melihat Dewanti mengambil alih tubuhnya. "Kau menyingkir dulu, Wewe sialan itu bagianku," desis Dewanti. Arunika ingin bertanya, apa yang akan kau lakukan? Tapi suaranya tidak bisa keluar. Jadi dia hanya bisa diam menyaksikan Dewanti bertindak menggunakan tubuhnya. Wewe itu mencengkram tubuhnya untuk kedua kalinya. Dewanti sudah berada di dalam tubuh Arunika. Dia menyembunyikan jepit hitam di genggaman tangannya. Ketika Bayu menyerang untuk terakhir kalinya, Wewe itu sempat mengabaikan Arunika. Bayu tersungkur di tanah. Jepit hitam telah berubah menjadi pedang. Arunika menggenggam pedang tersebut dengan erat, dia menunggu peluang. Wewe menoleh pada mangsanya di tangannya. Mulutnya membuka lebar, dia akan menyedot Arunika dalam satu kali isapan. Jlep! Pedang itu menusuk mulut Wewe yang membuka lebar itu. "Siapa yang akan kau makan hah?" Kata Arunika dengan jijik. Wewe itu menggeliat kesakitan. Cengkramannya melonggar. Arunika terbebas dari kuku kuku Wewe itu. Pedang itu masih di mulut Wewe. Arunika menusuk pedangnya lebih dalam. Pedang itu bahkan tembus sampai ke belakang kepala Wewe. Wewe itu seperti mengeluarkan air mata. Tetapi Arunika tak peduli. Dia menarik pedangnya dengan cepat. Wewe itu mengerang kesakitan. Cairan hitam keluar dari mulutnya. "Bunuh dia, Dew," kata Arunika dalam hati. "Belum sekarang," jawab Dewanti. Rupanya dia bisa mendengar suara hati Arunika. "Apa, tapi kenapa?" Arunika tidak mau melepaskan kesempatan emas ini. Tetapi Dewanti malah menolaknya. "Lihat saja itu," kata Dewanti menunjuk ke arah Wewe yang terbaring di tanah. Malam yang sunyi, bulan bersinar terang. Dan Wewe itu mengeluarkan suara seperti rintihan kuda. Dari arah semak, datang gumpalan hitam. Gumpalan itu merayap mendekati dan menelan Wewe ke dalamnya. Arunika melihat Wewe itu di selimuti kantong hitam, membentuk kepompong. "Serang sekarang, sebelum dia jadi monster!" Teriak Arunika. Namun Dewanti tidak bergerak sedikitpun. Dia hanya menatap ke ruang kosong. Arunika ikut menoleh, beberapa orang berjubah hitam datang entah dari mana. Mereka membentuk formasi melindungi Wewe. Arunika berpikir, apakah Dewanti akan mengikutinya mereka? Untuk mengetahui siapakah dalang semua ini? Musuh tidak menyerang mereka. Tujuan mereka datang, bukanlah untuk bertarung dengan Arunika. Mereka menggotong Wewe itu dan kemudian kabur. "Mereka kabur, Dew, kejar," teriak Arunika gemas. Kenapa Dewanti malah diam saja sih? Dewanti tidak menjawab. Masih berada di d tubuh Arunika, dia berjalan pelan mendekati Bayu yang terluka. Dia masih hidup namun telah terinfeksi parah oleh racun kuku Wewe. Tubuhnya mulai membiru. Dia sudah tidak sadarkan diri. "Kita harus bawa di rumah sakit, nyawanya lebih penting saat ini. Toh Wewe sialan itu tidak akan muncul waktu dekat." Arunika membekap mulutnya melihat kondisi Bayu. Dia sangat berambisi menghabisi Wewe dan melupakan keadaan Bayu. "Aku memang tidak suka dia. Tapi aku tidak mau dia mati," kata Dewanti. "Tetapi bagaimana kita membawanya," tanya Arunika. "Teleportasinya saja," kata Dewanti enteng. "Aku mana bisa." Dewanti menghela nafas. "Sepertinya aku harus membawa dua orang. Nih tubuhmu. Setelah ini kau latihan lebih keras," ancam Dewanti. Arunika meringis. Dewanti keluar dari tubuh Arunika. Arunika kembali menguasai tubuhnya. Tetapi dia tidak memiliki tenaga untuk membuka mata. Rasanya letih sekali. Jadi diapun tertidur. Dewanti muncul dengan tubuhnya sendiri. Dia mengenakan kaos merah dan celana denim hitam. Rambut panjangnya dibiarkan terurai. Dia menjinjing Bayu di tangan kanan, dan Arunika di tangan kiri. Kemudian dia berteleportasi. Dalam perjalanan teleportasinya, dia menghubungi Naraya. *** "Kau di mana?" "Di rumah kekasihku." "Siapkan kamar rumah sakit. Bayu sekarat." Wajah di seberang sedikit kaget. "Bawa ke sini!" "Kenapa?" "Panjang ceritanya. Bawa ke sini. Ada penyihir di sini." "Oke." Dalam lima menit, Naraya mengabarkan pada Airlangga. Kemudian seisi rumah sibuk bekerja. Para pelayan menyiapkan dua kamar. Salah satu bodyguard memanggil penyihir. Panji memanggil Bagaskara. "Aku belum bisa menghubungi Bagaskara. Sepertinya dia sedang bertugas," kata Panji. "Sudah ada penyihir. Jadi dia akan dapat pertolongan. Lagipula dia kan Laksamana," Naraya tersenyum singkat. "Yah, beruntungnya kami." Dewanti sampai di sana dengan mendarat tidak terlalu mulus. Dia terpeleset lantai yang licin, dan Bayu nyaris terlepas. Naraya berhasil memegang kerah kaosnya. Jadi tubuh Bayu tidak mencium lantai. Panji melihat kondisi Bayu dengan sangat mengerikan. Dia tidak pernah melihat Bayu seperti ini. "Lukanya cukup buruk," kata Panji ngeri. "Kena racun kuku Wewe," kata Dewanti singkat. Panji melihat Arunika juga tidak sadarkan diri. Ada darah yang menetes dari kepalanya. "Aru berdarah? Bawa di kamar sini," kata Panji menunjukkan kamar. Naraya meletakkan Bayu di ranjang di sebelah kamar Arunika. Beberapa penyihir datang untuk membuang racun dari dalam tubuh Bayu. Mereka melakukan ritual sepanjang malam. Arunika terbaring di kamar sebelah. Dia masih dalam kondisi tertidur. Panji memanggil dokter ke kamar Arunika. Dokter memeriksa dahinya. "Lukanya tidak terlalu parah. Memang kalau mendapat luka di sekitar dahi, darah akan keluar banyak. Tetapi dia baik baik saja," kata Dokter itu pamit. Naraya memanggil Dewanti untuk berbicara berdua. "Katakan!" "Dia datang menyerang. Aku sedang di rumah. Tetapi Arunika memanggilku. Kondisinya sudah parah" jawab Dewanti. "Kau bercanda ya?" "Apa?" "Kau kan selalu menguntit bayi mu kemana mana. Meskipun kau bilang ada di kamar. Kau tidak mungkin tidak merasakan bahaya di sekitarnya." Dewanti tersenyum sedikit. "Kau sengaja membiarkan Bayu diserang separah itu baru muncul bak pahlawan kesiangan. " Dewanti menyembunyikan senyumnya. "Kau tahu manusia menyebutmu apa. Psikopat gila." Dewanti menyengir. "Yang penting dia tidak mati." Arunika telah sadar dan berada di luar pintu. "Jadi kau sengaja Dew, membuat Bayu seperti itu? Kau keterlaluan." Dewanti menengok ke arah pintu. Naraya mengangkat bahu tidak peduli akan drama yang akan berlangsung. Dewanti mengehela nafas panjang. "Iya aku sengaja. Biar dia tahu tempatnya." Arunika berang. "Sudah kubilang. Kau bukan ibuku. Berhentilah bersikap seperti itu." "Aku ibumu," bentak Dewanti. "Di sini." Arunika tidak percaya ini. Dewanti bisa datang lebih cepat, namun sengaja datang terlambat agar Bayu terluka parah. Dia memgedikkan kepalanya. "Aku tidak mau memaafkanmu." Arunika kembali ke kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Blak! Naraya menyentuh bahu Dewanti. "Sialan kau!" Umpat Dewanti pada Naraya. "Dia bukan bayi. Dia tahu perasaannya. Dan Bayu tidak terlalu buruk," kata Naraya mengetahui alasan Dewanti bersikap seperti itu. Dewanti menggeleng. "Dia buruk, yang terburuk." Naraya menahan tawanya. "Terserah. Kau akan menghadapi bayimu ngambek hari ini." Arunika menolak bicara dengan Dewanti. Dia pergi menemani Bayu yang terbaring. Dia menggenggam tangan Bayu. Badannya terasa dingin. Arunika merasa hatinya sakit. Dia tidak tahu kenapa Dewanti melakukan hal itu. Dia bukan anak kecil yang harus selalu lapor padanya. Apalagi tentang perasaannya. Arunika tidak mau sekamar dengan Dewanti. Bayu tidak sadar dalam dua hari. Dan Arunika juga menolak makan. Dewanti sampai kesal menyuruhnya makan. "Kalau kau tidak mau akan, aku pakai kekerasan!" Ancam Dewanti. "Kau bukan ibuku," desis Arunika. Dia menatap Dewanti dengan tatapan marah. "Jangan bermain main dengan nyawa orang lain." Dewanti semakin marah. "Terserah kau." Panji yang baru datang setelah bertugas merasa tidak nyaman melihat drama keluarga. Dia mendekati Arunika. "Kau baik baik saja?" "Apa kau mengolok-olok ku?" "Yah, tidak. Kau khawatir dengan Bayu?" Tanya Panji. "Tentu saja. Lihat sampai sekarang dia bahkan belum sadar," kata Arunika hampir menangis. Panji akan mengatakan bahwa Bayu baik-baik saja. Dia sudah menelpon Panji, untuk memundurkan jadwal rapat petinggi pagi tadi. Tapi Panji menahan lidahnya untuk memberi tahu Arunika. "Bayu akan pulih. Dia tidak mudah mati," kata Panji hati-hati. "Semoga saja. Aku tadi mengunjunginya. Tubuhnya masih dingin,"kata Arunika. Tentu saja dingin kalau kau tinggal di ruang ber-AC dengan suhu sangat rendah, batin Panji. Alih-alih mengatakan hal itu. Dia mencoba membuat Arunika merasa lebih baik. " Warna kulitnya sudah mulai membaik. Lukanya juga sudah mulai sembuh. Penyihir Milik Airlangga memang hebat." Panji merasa tidak enak membohongi Arunika. Tetapi dia pasti akan dapat masalah kalau mengatakan hal sebenarnya. Pamannya itu bukan orang yang mudah memaafkan. "Aku tidak tahu alasannya. Aku masih bertanya tanya kenapa dia membawaku ke kota penuh Wewe ini. Dan kenapa dia selalu bersikap seperti itu. Kalau dia bisa membantu Bayu. Seharusnya dia datang lebih awal. Bukan membiarkan Bayu sampai sekarat seperti sekarang," Arunika menahan air matanya. Rasa amarah bergumul di hatinya. Panji mencoba mengalihkan perhatiannya. "Hmm mungkin untuk menjaga harga diri lelaki," kata Panji bodoh. Arunika mengerling tidak percaya. "Alasan bodoh apa itu? Aku akan ke kamar Bayu. Semoga dia sudah sadar." Panji menelan ludah. Bayu benar benar sudah melakukan hal yang luar biasa. Arunika benar benar percaya, bahwa Bayu sekarat! Pamannya itu licik sekali. *** Arunika membawa nampan berisi bubur dan buah apel yang sudah diiris. Dia melewati ruang di mana Dewanti dan Naraya duduk. Arunika mengabaikan keduanya. Danyang-danyang tak punya hati. Begitu masuk kamar, Arunika melihat Bayu sudah membuka matanya. Dia masih terlihat lemah. Arunika duduk di pinggir ranjang. Bayu menggenggam erat tangan Arunika. "Bagaimana perasaan mu?" Tanya Arunika. "Cukup baik. Kau sedang marah?" Tanya Bayu. "Alismu bertaut tuh. Jelek sekali," kata Bayu bercanda. Arunika melotot pada Bayu. "Kau marah padaku?" Tanya Bayu pura pura sakit. Arunika mencubit tangan Bayu. "Bukan kau. Tetapi Dewanti." "Apakah dia merebut pacarmu?" Tanya Bayu lagi. "Kalau kau begitu terus, aku pergi nih," ancam Arunika. Dia tahu Bayu sedang mengerjainya. Bayu tertawa. Dan Arunika bisa melihat wajahnya yang tertawa tulus. "Kenapa dengan Dewanti?" Tanya Bayu. Dia menggenggam erat tangan Arunika. "Aku hanya tidak suka sikapnya. Kadang dia keterlaluan terhadap orang lain. Dan kau," kata Arunika. Begitu menyadari dia menyebutkan Bayu, wajahnya memerah. Dia menunduk malu. Bayu melihat kuping Arunika memerah. Dia ingin menggodanya lagi, tetapi dia tidak ingin Arunika kabur dari sisinya. Jadi dia mengelus kepala Arunika. "Dia hanya melakukan tugasnya." Arunika pergi untuk makan. Bayu mendengar Arunika tidak mau makan selama dua hari. Dan dia memaksa Aru untuk makan sekarang. Kalau tidak, dia juga tidak akan makan. *** "Kekanakan sekali," gumam Dewanti berdiri bersandar di pintu. Dia masuk ke kamar dan menutup pintunya. "Yah.. aku menyesuaikan dengannya," kata Bayu. "Aku tidak akan minta maaf." Dewanti mengatakannya dengan tegas. Tanpa bersalah. "Tidak perlu. Bagus aku terluka, dia jadi marah padamu. " Bayu menyeringai. Dewanti kesal. "Playboy k*****t. Seharusnya kau kubiarkan mati." "Wah aku terharu sekali," kata Bayu tersenyum miring. "Siapa Arunika sebenarnya? Kenapa dia, kau panggil ke dunia ini? Sebaiknya kita tidak perlu lagi bermain main. Aku butuh informasi sebanyak mungkin untuk menghadapi musuh." "Bukan aku yang memanggilnya," kata Dewanti. "Terus siapa?" "Kota ini." "Apakah kau seperti lukman yang percaya bahwa dunia ini juga bisa bicara?" "Entahlah." "Apa tujuannya Arunika dikirim ke sini?" Dewanti masih membisu. Bayu mendengus. Sangat sulit membuat Danyang sombong itu bicara. Memang paling mudah untuk mendekati Arunika. Bayu bangun dari tidurnya. Dia berjalan melewati Dewanti dengan telanjang d**a. Dia mengambil kemeja yang digantung di lemari. Baju-baju Bayu telah dipindahkan kes ini. Dewanti melihat luka - luka di tubuh Bayu sudah pulih sepenuhnya. "Bagaimana bisa?" Tanya Dewanti menunjuk perut Bayu. Dewanti melihat dengan mata kepalanya sendiri, perut Bayu sudah membusuk. Bayu menyengir lebar. "Aku keluarga, Laksamana, ingat?" Sial, Dewanti baru ingat sekarang. Keluarga Laksamana memiliki kekuatan istimewa yaitu fisiknya yang tidak mudah terluka. Atau pulih sangat cepat. Regenerasi sel sel mereka beberapa kali lebih cepat dibanding manusia biasa. Karena itulah. Mereka terkenal dengan sebutan penebar benih. "Kau menipuku!" Bentak Dewanti. Bayu mengambil rokok dan korek di meja. Kemudian menyalakannya. "Tidak. Ini hanya taktik," gumam Bayu tersenyum. Dia merasa sangat puas sudah mengerjai Dewanti. Sesuai dugaannya, kelemahan Danyang sombong itu adalah Arunika. Ini balasan karena telah menendangnya kemarin, dan merusakkan mobilnya. Yah meskipun dia masih merasakan sakit akibat racun kuku Wewe. Tapi beberapa hari lagi dia akan pulih seperti sedia kala. Rambut panjang Dewanti berdiri. Dia serptu Medusa yang sedang marah. Aura membunuhnya keluar memenuhi kamar Bayu. Bayu tidak gentar sedikitpun. Kemarahan itu akan langsung reda begitu Arunika datang. Satu dua, Bayu menghitung dalam hati. Dewanti sudah bersiap menyerang Bayu. Dia sangat muak ditipu. Dan sekarang malah Arunika lebih percaya pada playboy cap kadal itu dibanding dirinya. Tiga, binggo. Pintu dibuka. Arunika di sana. Rambut Dewanti kembali seperti semula. Aura membunuhnya lenyap seketika. Bayu tersenyum lebar sekali. Sampai Dewanti berharap mulutnya robek. "Kenapa kau sudah berdiri, memangnya sudah sembuh?" Tanya Arunika. "Dan jangan merokok!" Dalam beberapa langkah Arunika merebut rokok yang dipegang Bayu. Dia mendorong Bayu ke tempat tidur. Bayu masih saja tersenyum. Dan Dewanti mematung di sana. Menahan amarahnya. Arunika menoleh ke Dewanti. Dia menghela nafas panjang. Tanpa mengatakan apapun, Arunika meninggalkan kamar Bayu. Bayu terkikik. "Lihat wajahmu Danyang, kau seperti anjing yang dibuang." Dewanti tidak pernah merasa sesedih ini sebelumnya. Arunika boleh marah padanya. Tetapi mengabaikannya seolah dia transparan? Tidak pernah terjadi sebelumnya. Air matanya merebak di pelupuk matanya. Hatinya sangat hancur. Tawa Bayu berhenti. Dia menggaruk lehernya. "Kau tahu, akan sangat aneh bila seorang Danyang menangis." Dewanti terdiam lama. "Kau tidak pernah tahu rasanya jadi orangtua yang diabaikan anaknya. Jadi diamlah." "Aku tahu kau sangat sayang pada Arunika. Memang sangat jarang terjadi seorang Danyang menyanyangi tuannya. Tapi dia bukan anakmu." "Dia anakku. Sebelum aku jadi Danyang," gumam Dewanti lirih. Dia tidak pernah mau mengatakan fakta ini. Karena akan membahayakan nyawa Arunika. Tetapi kebenaran ini meluncur begitu saja dari mulutnya. Bayu melompat dari tidurnya. "Apa kau bilang?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD