Aku Kuat

2127 Words
Terdengar suara jeritan. Dua itu saling berpandangan. Masih ada orang di sana. Keunikan berlari tapi di depan ada Wewe. Dia menendang Wewe dan bergulat tangan kosong. Bayu mengeluarkan ponsel, membuka kunci ponsel. "Hei, Arunika, tangkap," kata Bayu. Arunika berbalik dan menangkap benda yang dilemparkan Bayu. Ponselnya. "Telepon bus cosmos, datang ke sini," perintah Bayu. Lalu dia berjalan mendekati Wewe. Dengan satu serangan pelan. Wewe kelas teri itu lenyap. Kemudian dia berlari ke arah sumber jeritan tadi. Arunika memegang ponsel Bayu. Dia mencari kontak Bus Cosmos. Kemudian segera menelpon dan meminta mereka datang ke kolong Wewe. Katanya mereka butuh waktu sepuluh menit untuk sampai. Arunika melihat Bayu sudah pergi duluan. "Dasar sok," kaya Arunika menyeringai. Dia bingung dengan ponsel yang dipegangnya. Arunika tidak bisa membuang kesempatan itu. Meskipun Wewe di depan mata. Dia Dia menelpon sebuah nomer dari ponsel Bayu. Ponselnya berdering. Dia menelpon nomernyw sendiri melalui ponsel Bayu. "Ini kesempatan," gumamnya. Arunika menyimpan ponsel Bayu di tas Selempangnya. Dia menalikan tali sepatunya kuat kuat. Setelah dirasa cukup, Arunika berlari menyusul Bayu. Melewati jalan setapak yang kanan dan kirinya ditanami tanaman pisang hias. Larinya berbelok tajam mengikuti jalan. Dan di sana lah mereka. Dia menghitung ada sekitar sepuluh Wewe. Dan Bayu menghadapinya sendirian. Dari ekspresinya, Bayu sama sekali tidak kesulitan. Barangkali cuma Wewe kelas teri. Arunika mengedarkan pandangan mencari orang yang menjerit tadi. Dia menemukan sepasang kekasih meringkuk di bawah bangku taman. Apa sih yang mereka pikirkan ketika pacaran di tempat sepi begini? Setor nyawa pada Wewe? Tunggu, berarti Wewe sekarang tidak hanya mengincar ibu hamil? Ah jawaban itu bisa menanti. Arunika berlari cepat, ketika Bayu sibuk mengurus Wewe kas teri yang terus bermunculan. Dari semak lainnya, sesosok hitam mengintai. Dia menyergap kaki si perempuan itu dan menyeretnya. Si lelaki memegangi perempuan dan berusaha mengusir sosok hitam itu. Si lelaki menendang nendang tangan penyergapan dan memakinya agar segera melepaskan kekasihnya. Arunika melepas jepit rambutnya. Dia menggoyangkan kepala ke kanan dan ke kiri. Melakukan peregangan sebentar. "Hei pedang, saatnya beraksi!" Dari jepit hitam itu muncul cahaya sebentar dan ketika cahaya itu memudar, jepit itu telah berubah menjadi pedang. Arunika tidak melihat sosok Dewanti. Mungkin karena dia malas keluar, makanya dia memberikan pedang ini. Meskipun tanpda Dewanti, Arunika tahu kemampuannya telah berkembang pesat. Maka dia melancarkan serangannya. Dia menganyunkan pedang. Serangan angin itu membelah semak semak dan memunculkan sosok manusia Wewe di sana. Wewe pemalu tetapi ganas, dari mulutnya air liur menetes netes. Kaki si perempuan itu telah terlepas, begitu mendapat serangan dari Wewe. Si lelaki memeluk erat perempuan itu di dadanya. "Menyingkir dari sana," kata Arunika pada sepasang kekasih itu. Begitu pasangan kekasih itu berlari di belakang Arunika. Manusia Wewe itu berang, kehilangan mangsanya. Matanya yang hitam, mulai berubah merah dan giginya menjadi taring bersiap menyerang Arunika. "Kemarilah. Sudah lama aku tak menari," gumam Arunika mengejek. Bayu sudah selesai menyelesaikan tugasnya. Dia hendak maju, tapi tangannya di pegang Arunika. "Biar aku saja, gantian dong," kata Arunika. Bayu tersenyum sedikit. "Oke, habisi dia!" Arunika berjakan pelan menuju Wewe. Pedang itu berkilat kilat dipegang oleh Arunika. Dan Arunika ingin sekali bermain dengan mereka. Rasa sedih melihat orang orang mati. Rasa marah melihat jabang bayi yang jadi makanan mereka. Dan rasa putus asa terhadap manusia serakah yang rela mengikat jiwa pada Wewe. Menghancurkan sesamanya. Perasaan Arunika bercampur aduk. Sambil berjalan pelan, dia mengirup nafas pelan pelan menata perasaannya. Sebab pedang yang dipegangnya juga akan merasakan kegelisahan hatinya. Manusia Wewe itu tertawa. Dia mengira bahwa Arunika hanyalah bocah nekat. Sebab dia tak bisa mengendus seberapa kuat kekuatan Arunika. Dan dia menganggap Arunika hanyalah gadis lemah yang bermain pedang-pedangan. Arunika menumpu tenaga pada kakinya, kemudian berlari menebas Wewe. Wewe itu terbang menyamping. Dia masih tertawa. Dan Arunika tidak terpengaruh. Dia mengibaskan pedang itu ke samping tubuhnya. Krak! Tubuh Wewe terbelah jadi dua. Tetapi selama kepalanya masih menempel,dia masih hidup. "Potong kepalanya," teriak Bayu yang menonton di pinggir lapangan. Arunika berdecak, dia tahu itu. Tetapi dia ingin tahu seberapa cepat Wewe untuk beregenerasi. Namun tubuh sama sekali tidak menyambung. Malah terdapat cairan hitam keluar dari bekas serangan Arunika tadi. Wewe itu menggeram. Dia menyerang Arunika dengan kuku-kuku beracunnya. Arunika menutup mata. Dia merasakan gerakan Wewe dari angin. Arunika berputar dan melesat menyerang Wewe. Tangan Wewe itu terapung itu mengenai Arunika. Tetapi Arunika bisa melihat gerakannya. Dia hanya menggerakkan kepala sedikit. Kakinya berdecit menumpu tanah dan badannya berbalik. Dengan sekali tebas. Dua tangan Wewe telah lepas dari tubuhnya. Wewe itu meringis kesakitan. Sebab tangan dan kakinya tidak menyambung. Dari bekas potongan tubuhnya, keluar cairan hitam kental. Wewe itu menggeram. Dia seperti menjerit memanggil sesuatu. Kepalanya berputar 360 derajat sangat cepat. Sinar hitam perlahan muncul dari bawah tanah. Menyelimuti tubuh Wewe itu. Selimut hitam itu berbentuk kantong. Arunika merasa bakal terjadi yang gawat kalau membiarkannya. Maka dia pun melompat tinggi. Dia melayang di angkasa. Dia mengumpulkan tenaganya dan memfokuskan kekuatan di pedangnya. Sedangkan Bayu berdiri dia memandang Arunika. Sesaat tadi, dia bisa mencium aroma sampo yang digunakan Arunika. Dia merasa aromanya menenangkan. Arunika melayang di udara beberapa detik. Kemudian dia melesat kencang menebas kantong hitam berisi manusia Wewe itu. Dia menebas beberapa kali. Suara debam yang keras mengguncang, setiap Arunika mengayunkan pedangnya. Kantong itu robek satu sisi. Kemudian robek di sisi yang lain. Dan kantong hitam pun pecah dan lenyap. Arunika melompat kembali dan terbang menukik menebas kepala Wewe tanpa ampun. Kepala itu tidak hanya terputus tetapi juga meledak. Bom! Arunika menutup mata dengan lengannya. Sedangkan pasangan kekasih itu bersembunyi agak ke dalam taman. Di balik bangku permanen. Bayu masih berdiri tegak tak terpengaruh. Bayu tersenyum melihat kemenangan mutlak Arunika. Dia bukan sekedar bocah nekat. Arunika mengangkat dagunya tinggi. Memperlihatkan bahwa kali ini dia kuat untuk bertarung sendiri. Pasangan kekasih itu berulang kali mengucapkan terimakasih pada Bayu dan Arunika. Bayu hanya melihat mereka dengan tatapan dingin. Mendapati sikap Bayu seperti itu, mereka merasa lebih takut dan juga malu. Arunika menjawil lengan Bayu. Ketika melihat Arunika, sinar mata Bayu berubah lebih hangat. Arunika menatap tajam pada dua orang itu. "Kalian mau cari mati ya?" Mereka berdua serasa menciut di hadapan dua pendekar ApiAbadi. Berada di luar rumah, selepas magrib memang dilarang. Mereka tidak menjawab apapun. Arunika menghela nafas panjang. Suara bus terdengar. Sang soping menekan klakson dengan keras. "Tuh busnya sudah datang, pergi sana. Jangan diulangi lagi." Mereka segera bergegas naik bus Cosmos. Begitu penumpang itu naik, bus pun melaju pergi. Tinggal Arunika dan Bayu yang tinggal di sana. Tempat itu senyap, hanya desau angin yang terdengar. Dan Arunika mulai kedinginan. Dia tidak menyangka, jalan singkat sore bisa menjadi sampai malam. Udara di kota sabin di hari hari terakhir menjadi lebih dingin. Arunika mengusap lengan, kemudian kakinya. Bayu mengamati Arunika. Dia tidak membawa jaket untuk dipinjamkan. "Sini tanganmu. Biar hangat," kata Bayu begitu berada di samping Arunika. "Hmm," gumam Arunika. Bayu meraih tangan Arunika dan menggosokkan di telapak tangannya. "Lebih hangat kan? Sebaiknya aku mengantarmu pulang. Sebelum anjingmu datang dan mencincangku," kata Bayu. "Anjingku?" Ulang Arunika. "Yah, si Danyang," gumam Bayu. *** Panji masih belum mengerti kenapa dia harus berada di rumah Airlangga. Dia melihat rumah ini seperti istana. Besar, megah, dan interiornya. Rumah Laksamana memang megah. Tetapi lebih banyak interior kayu. Sedangkan Airlangga adalah bangsawan sekaligus pengusaha besar. Interiornya selalu diganti mengikuti zaman. Airlangga melihat Panji di sana. Meskipun dia tidak memiliki urusan dengan Panji, tetapi mengingat Panji adalah keluarga Laksamana penebar benih, maka dia tidak suka. "Kenapa kau bawa Panji kemari, Danyang?" Tanya Airlangga. Naraya tidak menjawab. "Mana Kiandra?" Airlangga berdecak. Setelah kejadian rumahnya diserang ratusan Wewe, Danyang ini keluar masuk rumahnya dengan seenaknya. Seolah ini adalah rumahnya. Tetapi Airlangga sedikit lega, setelah kemarin Lukman, dia bingung bagaimana bisa memberikan perlindungan yang lebih kuat pada Kiandra. Kejadian kemarin membuatnya ketakutan kalau Kiandra akan kehilangan kesadaran lagi. "Dia di atas, bersama ibunya," jawab Airlangga. Naraya kemudian duduk santai di ruang tamu tanpa di suruh. Airlangga pun mengikutinya. "Duduk," perintah Airlangga. "Panji akan tinggal di sini untuk sementara. Jangan sampai ada keluarga lain yang tahu dia di sini," pesan Airlangga. "Ah, besok rapat penting. Siapa yang akan menggantikan posisi Lukman? Bayu memiliki peluang paling kuat," kata Airlangga. "Dia akan mengajukan Laksamana," kata Panji menyela. "Apa dia sudah gila?" Airlangga terlihat syok. "Itu rencananya. Kau akan menyembunyikan orang-orang Lukman. Untuk bergerak tanpa monitor petinggi lainnya," kata Naraya menghilangkan kakinya. "Kita harus mencari tahu, siapa manusia Wewe itu." "Bagaimana dengan Arunika?" Tanya Panji dan Airlangga hampir bersamaan. Panji mengernyit. Dia penasaran bagaimana Airlangga bisa mengenal Arunika. Apakah karena dia istimewa karena memegang pedang dewa? "Itu akan jadi urusan Bayu. Bayu pasti akan mengawasinya dengan ketat. Walaupun itu tidak perlu," kata Naraya. "Kiandra bagaimana? Apakah para Wewe itu akan menyerang kembali?" Tanya Airlangga. Wajahnya terlihat khawatir. "Aku akan mengurusnya," kata Naraya. Dia menoleh ke arah Panji. "Kau akan melatih Kiandra untuk bermain biola," kata Naraya. "Di saat seperti ini untuk apa berlatih main biola?" Tanya Airlangga tidak mengerti. "Untuk mengontrol kesadaran," kata Panji. "Dia bisa memfokuskan pendengarannya pada biola dan mengabaikan suara suara lainnya. Begitu kan?" Naraya mengacungi jempol. *** Bayu menyalakan pemanas di mobilnya. Dan Arunika mengucapkan terimakasih. Bayu menghela nafas. Sikap Arunika saat ini sangat kaku. Entah malu atau bagaimana setelah dia menggenggam tangannya tadi. Arunika menjadi pendiam sepanjang perjalanan. Pikirannya sibuk berperang. Bayu adalah playboy jadi dia pasti biasa memperlakukan perempuan istimewa. Apalagi dia masih muda. Tapi di sisi lain dia merasa senang. Sampai mau melompat lompat. Tetapi urung dilakukan karena pasti akan malu sekali. Jadi dia hanya diam membeku. Menatap ruas jalan lurus lurus. "Bolehkah aku bertanya sesuatu?" Tanya Bayu. Sesekali dia menoleh pada Arunika. Dia memastikan Arunka tidak pingsan kedinginan. "Bagaimana kau bisa berada di kota Sabin? Maksudku kau tidak berasal dari kota ini kan?" Pertanyaan Bayu membuat Arunika membeku. Dia bingung apakah harus mengatakan yang sebenarnya atau bagaimana. "Kalau kau tidak mau menjawab, tidak apa. Tapi asal kau tahu, ApiAbadi sudah mengetahui kau tidak berasal dari sini. Mungkin akan ada orang lain yang menanyakannya. Apalagi setelah Lukman meninggal, kekuasaan tunggal tumbang," kata Bayu. Setiap mengingat Lukman, hatinya terasa teriris akan ketidakberdayaannya. "Bolehkah aku merokok?" "Hmm, aku tidak suka bau rokok," kata Arunika pelan. Dia hanya berusaha jujur. Bayu menghela nafas panjang. Dan hanya mengangguk kepala. "Aku belum bisa menjawab pertanyaanmu. Aku harus mendiskusikan terlebih dulu dengan Dewanti. Maaf," kata Arunika. "Kau sangat percaya padanya ya?" "Hanya dia yang. Yah aku percaya padanya." Arunika menatap pemandangan luar dari kaca mobil Bayu. Pemandangan malam yang jarang bisa dia nikmati. "Apakah kau sebelumnya pernah melihat manusia Wewe di malam itu?" "Tidak tuh. Aku baru tahu ada Wewe setelah ada di kota ini,."  "Apakah wajahnya, kau tidak mengenalinya sedikit pun?"  "Tidak. Aku tidak kenal. Apakah kau mencurigai ku juga adalah antek Wewe?"  Bayu tersentak. "Tidak. Bukan begitu. Barangkali kau pernah melihatnya di suatu tempat. Kita akan mudah menangkapnya."  Bruk!  Mobil Bayu menabrak sesuatu. Sesuatu yang sangat keras. Arunika terbentur dasboard karena tidak memakai sabung pengaman. Kepalanya berdarah, tetapi dia sadar.  Bayu panik. "Aru, kau tidak apa-apa?"  "Iya, aku tidak apa-apa. Kita menabrak apa tadi?"  "Sebentar kulihat dulu."  Bayu turun dari mobil. Begitu dia menutup pintunya, mobilnua tergulung. Bayu kaget dan memanggil Aru. Dia mengeluarkan tenangnya untuk.menghentikan laju mobil. Bahkan Bayu mengangkatnya ke udara.  Aru merasa kepalanya semakin pusing. "Dew, tolong," bisiknya.  Srrrt! Sesuatu itu mengenai kaki Bayu. Perlahan Bayu meletakkan mobilnya di tanah. Dan dia berbalik melihat siapa lawannya.  Di sana perempuan itu terkikik. Manusia Wewe yang telah membunuh Lukman ada di depannya. Bayu kehilangan kesabarannya. Dia menyerang Wewe itu dengan serangan kuat.  Wewe itu hanya menangkap tangan Bayu dan melemparkan tubuhnya. Seperti melempar bola. Bayu terjatuh di semak-semak.  Perempuan itu mendekati mobil. Bayu bangkit dan menyerangnya lagi. Tetapi tetap sama saja, dengan mudah dia menangkis dan melempar Bayu ke udara. Tubuh Bayu tersungkur di tanah. Dia bangkit lagi. Tetapi dia merasakan tangannya linu. Dan ketika dilihat, bekas cengkraman kuku Wewe itu telah bernanah. Kuku Wewe itu beracun.  Wewe itu terbang di atas atap mobol. Krak. Krak. Krak. Dia membuka atap mobil dengan satu tangannya. Kukunya menancap kuat dan ditariknya atap itu.  Arunika pingsan.  Bayu murka. Kali ini dia tidak akan membiarkan ada orang tewas di hadapannya. Apalagi Arunika. TIDAK! Bayu menyerangnya lagi dan lagi. Pukulan dan tendangan dilancarkan pada Wewe. Tetapi Wewe itu tidak bergeming. Ketika dia sudah menemukan mangsanya, dia hanya fokus di sana.  Bayu berteriak. "Arunika bangun!"  Wewe itu menoleh ke arah Bayu. Dia mencakar wajah Bayu, lalu menendangnya dengan keras.  Setelah dirasa pengganggu itu pergi. Dia mencengkram tubuh mungil Arunika. Matanya berkilat-kilat senang.  Pandangan Bayu kabur. Dia tidak bisa melihat dengan jelas. Tetapi meski samar, dia tahu. Arunika dalam bahaya.  Bayu melompat dan menerjang Wewe. Wewe itu mulai tidak sabar menghadapi lawan yang tak kenal lelah. Dia menyerang perut Bayu. Menusuk perutnya dengan kuku-kuku tajamnya. Darah menetes deras dari tubuh Bayu.  Wewe membuang tubuh Bayu. Dia ingin memangsa yang lain. Dia mengangkat tubuh Arunika, dan akan melahapnya dari kepala.  "Siapa yang ingin kau makan hah?" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD