Bulan Terang

2148 Words
Arunika mengambil handuk dan masuk kamar mandi. Dewanti yang masih nonton televisi mengernyit. Mau kemana dia? Arunika memakai sepatu putih, rok pendek warna merah, dan kemeja putih lengan pendek. Rambut pendeknya dijepit dipinggir. "Konsep apa itu, bajumu?" Tanya Dewanti. Tumben sekali nih anak pakai rok. "Sailor moon," jawab Arunika cengengesan. Dewanti menggerlingkan matanya. Dia menengok jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Sebentar lagi matahari terbenam. "Kalo ada Wewe gimana, ganti baju sana." Arunika mendelik. "Kau bukan ibuku," bantah Arunika. Dewanti mendatangi tempat Arunika berdiri dengan tiga langkah dan menjewernya. "Aku ibumu di sini. Lagian mau ketemu sama siapa kok pakai rok. Bayu?" Arunika membantah. "Siapa yang mau ketemu Bayu? Aku mau ketemu Bagaskara. Dia berjanji memberikanku terangbulan. Dan ada beberapa hal tentang kota ini padanya. Lagian misteri area kawah juga belum terpecahkan." Dewanti melepaskan jewerannya. "Aku gak ikut. Aku ingin bersantai di sini." Arunika mengulang perkataan Dewanti. "Kalo ada Wewe gimana, kau gak ikut?" Dewanti menjitak kepala Arunika. Dia sedikit kesal karena Arunika membalikkan omongannya. Tetapi hari ini dia malas keluar. Apalagi setelah pertemuan dengan Bayu kemarin. Dia masih kesal. Harusnya dia menendang lebih keras. Kalo perlu membuatnya patah tulang. "Dew, kau ikut nggak?" Ulang Arunika. "No, tapi bawa ini," kata Dewanti menyerahkan jepit hitam polos. "Buat jaga-jaga, pedangnya kuubah jadi jepit rambut." Arunika menerimanya dengan mata berbinar. Dia kagum melihat pedang yang biasa di ikat di punggungnya sekarang hanya perlu dijepit ke rambutnya. "Dan ganti rok pendekmu," kata Dewanti sambil geleng-geleng kepala. "Tidak mau," kata Arunika kemudian lari ke luar kamar. Dewanti menghembus nafas keras. "Bocah itu." *** Naraya menemui Panji. Dia menaikkan kedua alisnya mendapati Panji bukannya tidur. Malah dia sedang push up di kasur. Panji tahu Naraya datang. "Aku melatih lenganku," kata Panji tanpa ditanya. "Kapan kau bisa pulang? Banyak yang harus kau latih. Karena aku tidak bisa bersamamu. Jadi kau harus bisa mengeluarkan kekuatan cangkangku." Panji ingat Naraya meninggalkan pertempuran begitu musuh menyebut nama Kiandra. Bukan tak mungkin dia akan melakukanya lagi di masa depan. Musuh tentu sudah mengetahui kelemahan Naraya. Maka mereka menggunakan sebaik mungkin. "Hari ini aku bisa pulang," kata Panji. "Bagus." "Tapi aku ingin bertemu dengan Bayu lebih dulu. Aku ingin tahu apakah dia akan setuju tentang menjadikan Laksmana sebagai petinggi?" Kata Panji berhenti push up. Dia duduk di pinggir ranjang. Mengambil handuk di meja dan mengelap keringat di dahinya. "Aku menyarankan iya," kata Naraya. Panji menoleh. Wajahnya sedikit terkejut. Sebelum bertanya, Naraya melanjutkan. "Setelah ini tidak akan mudah buat kalian bergerak. Jelas ada mata-mata dalam Api abadi. Dan kalau pergerakan kalian terbaca, itu akan membuat kalian sudah. Sebaiknya jadikan Laksamana sebagai tameng. Dan kalian bisa bergerak leluasa. Tanpa harus melibatkan organisasi." Panji menyimak penjelasan dengan seksama. Berbeda dengan Bayu yang lebih temparemantal. Panji lebih tenang menghadapi situasi semacam ini. Dia akan mendengarkan orang lain. Baru menilai apakah pendapat tersebut layak atau tidak diambil. "Kau benar. Dengan kematian Lukman, akan ada oknum yang mengambil keuntungan. Selama ini Lukman selalu memerintahkan anak buahnya terpercaya yaitu Betari dan Bayu. Sisanya hanya penonton pertunjukkan," kata Panji mendengus. "Kemasi barang-barangmu," perintah Naraya. "Kau akan mengantarku ke asrama?" Tanya Panji. "Tidak. Kau akan bersamaku ke rumah Kiandra," jawab Naraya singkat. Tanpa penjelasan lebih. "Apa?" Panji terlihat sangat tidak setuju dengan gagasan itu. *** Arunika menunggu bus cosmos di halte dekat asramanya. Dia tidak mengganti rok pendeknya. Untuk menyiasati kalau roknya tersingkap dia mengenakan celana ketat pendek. Seperti celana olahraga. Bus cosmos datang sepuluh menit kemudian. Arunika naik. Dia ingat pertama kali naik bus ini. Dan malah di bawa ke tempat aneh, Kota Sabin. Sudah berapa bulan ya setelah kedatangannya. Kadang dia merindukan kehidupan tenangnya dulu. Sekolah, belajar, dan yang paling penting tidak ada Wewe. Bagaskara menelpon lagi. Dia menunjukkan Arunika harus berhenti di halte mana. Ketika bus itu sudah dekat halte yang dituju. Arunika beranjak ke depan. Bus berhenti di halte bernama Kalong Wewe. Nama yang aneh. Kenapa pula dinamakan ada wewenya. Arunika kira nama Wewe itu sangat tabu. Ini malah dijadikan lokasi perbelanjaan. Arunika mengenakan ransel hitam. Dia berjalan santai. Menerobos kerumunan. Sambil bernjijit mencari lokasi penjual Terang Bulan yang dimaksud. Ketika Arunika melihat plang terang bulan 'melegenda'. Dia segera berjalan miring. Sore itu banyak orang berkumpul mencari jajanan. Sebab ketika matahari mulai tenggelam, mereka harus tetap di rumah bila tidak mau bertemu dengan Wewe. Arunika melambai dari jauh dan memanggil Bagaskara. Dia senang bisa bertemu dengan Bagaskara. Banyak hal yang ingin dia tanyakan tentang kota Sabin. Kota yang dikutuk teror Wewe ini. "Aru, kau seperti anak sekolah mengenakan rok pendek,"kata Bagaskara. Arunika hanya cengengesan. "Sebetulnya aku memang masih sekolah," bisik Arunika. "Iya ya, kuliahmu cuti panjang sejak masuk ApiAbadi ya." Arunika menyengir. Sekolah yang dia maksud benar benar sekolah. Sedangkan kuliahnya entah. Dia lupa sama sekali. Karena banyak hal yang terjadi. Selain itu dia tidak bisa bermain musik. Apa benar dia sekolah di sekolah musik itu. "Duduk Ru. Kamu mau pesan terang bulan apa? Ku rekomendasikan redvelvet," kata Bagaskara. Arunika melihat menu-menunya. Terang bulan melegenda di buat dengan porsi kecil. Bukan satu loyang seperti biasanya. Bentuknya hanya segitiga, dan konsumen bisa memilih aneka rasanya. "Oke. Aku pesan itu. Hmm dan yang ada coklatnya 10 buah ya. Dibungkus," kata Arunika pada penjualnya. Bagaskara heran melihat pesanan Arunika. "Kamu suka banget ya, terang bulan. Sampai bungkus 10 segala." Arunika hanya membalasnya dengan senyum. Dia punya peliharaan yang makannya seperti babi. Apa aja habis dalam sekali waktu. Tetapi Bagaskara tidak perlu tahu. "Buat si rakus Danyang ya?" Tanya seseorang di belakang Arunika. Arunika lantas menoleh dan melihat Bayu di sana. Mengenakan kaos hitam dan celana denim. Sangat berbeda dengan penampilannya yang biasa mengenakan jas atau blezer. "Kenapa kau di sini, Pak Bayu?" Tanya Arunika. Dia menyesal mengenakan rok pendek hari ini. Harusnya dia mendengarkan saran Dewanti tadi. Arunika berharap Bayu tidak mengamati pakaiannya. "Aku juga ingin terang bulan," kata Bayu tersenyum. "Tumben kau pakai rok pendek. Tapi cocok untukmu." Arunika memaki dirinya sendiri dalam hati. Ternyata Bayu memperhatikannya. Bagaskara sepertinya tidak mengetahui atmosfer di antara dua orang itu. Dia asyik menikmati tiga potong terang bulan yang ada di piringnya. "Kau pesan apa Bayu?" Tanya Bagaskara. "Apa saja. Aku makan semuanya," jawab Bayu. Dia menarik kursi di dekat Arunika dan duduk di sana. Dia mengeluarkan ponselnya dan fokus dengan ponselnya. Arunika menenangkan hatinya. Tujuan dia ke sini adalah untuk mengorek informasi tentang kota Sabin. Bagus kalau Bayu ada di sini. Lupakan rasa menggelitik di perut. Tidak ada waktu untuk itu. "Hmm, Bagas, bagaimana kabar pendekar yang terluka? Terus para ibu hamil juga diungsikan kemana?" Arunika langsung mengajukan pertanyaan bertubi tubi. "Hei... Tenang dulu. Ku jawab satu-satu. Tapi dia yang paling tahu sih," kata Bagaskara menunjuk Bayu. Mata Bayu masih menatap layar ponselnya. "Para pendekar masuk rumah sakit. Mereka tetap butuh perawatan. Sedangkan ibu hamil," Bayu menoleh ke Arunika, "mereka sekarang ada di gudang senjata. Karena senjata sudah keluar semua. Tempat itu kosong, namun perlindungannya kuat. Nanti kalau mereka sudah pulih. Mereka akan dipindahkan ke asrama para pendekar," jawab Bayu. Arunika membalas tatapan Bayu. "Apakah mereka bisa dikunjungi?" Bayu mengernyit. "Kau ingin mengunjungi siapa? Panji?" Arunika menggeleng. "Bukan. Aku ingin tahu kabar temanku, Rengganis. Lagipula Panji tidak perlu dijenguk. Dia sudah keluar dari rumah sakit." "Ohya, kata siapa?" "Kata Panji sendiri. Dia mengirim pesan padaku tadi," jawab Arunika. "Kau itu seminggu berada di ruang gua. Tidak peduli keadaan sekitar. Bahkan tidak peduli pada ponakanmu sendiri," sindir Bagaskara pada Bayu. "Diam kau!" Ancam Bayu. Pesanan Arunika dan Bayu datang. Lalu mereka menikmati terang bulan sambil bercanda canda. *** Sejam kemudian, orang orang mulai sepi. Satu per satu meninggalkan tempat kolong Wewe. Sebab sebentar lagi matahari akan segera tenggelam. Tempat yang mulanya penuh dengan manusia, kini mulai terlihat lapang. Beberapa penjual juga mulai memberesi jualan dan tenda mereka. Termasuk penjual terangbulan melegenda. Bagaskara memgajak mereka berdua untuk berkeliling taman. Awalnya Bayu menolak. Katanya kurang kerjaan. Tetapi begitu melihat Bagaskara merangkul pundak Arunika. Dia berubah pikiran. "Aku bisa mengajakmu mengunjungi temanmu di gudang, kalau kau mau," kata Bayu. "Benarkah?" Tanya Arunika antusias. Bayu senang melihatnya. Dia hanya mengangguk. "Eh Aru, kau kan suka benda benda kuno. Mungkin ada satu benda yang kau bisa koleksi juga. Benda ini umurnya tiga ratus tahun," kata Bagaskara tiba-tiba. Arunika tertarik. "Apa itu? Apakah benda itu berbahaya atau dia memiliki kekuatan magis. Pasti tidak mudah mendapatkannya." "Aku baru mendengarnya. Benda apa itu," tanya Bayu. Rupanya dia juga sedikit tertarik dengan benda yang didiakripsikan Bagaskara. Bagaskara menyengir lebar. "Sangat mudah. Sepertinya kau sudah mendapatkan setengah dari inti hidupnya, Aru." Arunika tidak paham. "Benda apaan sih?" Bagaskara menggerling pada Bayu. Beberapa kali. Dan Arunika masih belum paham. "Ini benda ini, umurnya sudah tua. Cocoklah untuk kau koleksi Aru," katanya. Selesai mengatakan hal itu Bagaskara berlari menjauhi dua orang itu. Dia melambaikan tangan. "Aku harus bertugas malam ini, Dah." Arunika baru paham apa maksud Bagaskara. Benda berbahaya dan memiliki kekuatan magis adalah Bayu. Petinggi muda Apiabadi, Anggota keluarga Laksamana. Arunika menjadi salah tingkah. Bayu menggeram kesal dengan bercandaan Bagaskara. Ditambah mereka sekarang ditinggal berdua. Matahari mulai terbenam. Burung burung berterbangan membentuk formasi untuk pulang juga ke rumahnya. Arunika dan Bayu berjalan dalam diam. Sesekali Arunika melihat langit. Semburat merah, jingga dan biru. Menjadi lukisan yang sangat indah. "Hmm, aku tidak setua itu. Untuk jadi koleksimu," kata Bayu memecah keheningan. Arunika tidak menjawab. Dia sibuk untuk menata hatinya. Menata pikirannya. Dia juga ingat Dewanti. Gawat kalau Dewanti tahu dia ada bersama Bayu di taman. Ini seperti kencan, teriak Arunika dalam hati. "Bagi anggota keluarga, memiliki umur yang lebih banyak dari manusia normal. Bukan berarti tubuhnya juga ikut menua. Hmm, jadi kalau hidup normal, umurku baru 35 tahun. Aku pernah menyebutkannya kan?" Kata Bayu. Dia terlihat sama gelisahnya dengan Arunika. Arunika menghela nafas panjang. Dia memutar otak, topik apa yang bisa dibahas mereka. Tanpa harus menyinggung soal umur. Ah tentang Wewe. Tentang kota ini. "Hmm, boleh aku banyak bertanya?" Kata Arunika. "Boleh. Tanyalah. Apa saja." Bayu menahan nafas. Bagaimana kalau Arunika bertanya tentang kehidupan pribadinya. Apakah dia harus menjawab jujur atau berbohong. "Hmmm, sejak kapan Wewe mulai muncul dan bagaimana?" Pertanyaan Arunika membuat Bayu sedikit kecewa. Dia memasang wajah ramah, tetapi ada yang krek di hatinya. Dia berharap Arunika bertanya tentangnya. Bukan tentang Wewe sialan itu. Dan tiba tiba Bayu ingat wajah ibu dalam berkas kelahiran Arunika. Apakah dia juga bisa menanyakan tentang hak itu? "Aku tidak tahu kapan Wewe itu muncul. Dalam sejarah yang tertulis pun tidak disebutkan kapan persisnya. Tetapi ada rahasia yang tidak ditulis dalam buku sejarah Wewe yang kami ketahui. Kau mau tahu? Tentang bagaimana bisa Wewe bisa muncul?" "Karena salah satu keluarga bangsawan menginginkan keturunan. Sehingga mereka bekerja sama dengan Wewe. Tetapi sebagai imbalannya, keturunan mereka akan ada manusia Wewe," jawab Arunika. "Iya, itu betul. Tetapi ada satu hal yang tidak tertulis. Kau serius mau tah" tanya Bayu memastikan. "Iya, aku harus tahu." Arunika benar ingin tahu sejarah kota ini. "Setiap orang bisa memanggil Wewe dan menjadi manusia Wewe. Asalkan mereka menyerahkan jiwanya. Dan itu berlaku sampai sekarang," kata Bayu. "Maksudmu. Sampai sekarang ada orang orang yang sengaja memanggil Wewe?" Arunika tidak percaya ini. "Benar. Karena itu sangat susah kota ini bebas dari Wewe. Sedangkan ada orang orang yang terus memanggil Wewe datang kemari." "Tetapi apa alasannya?" "Ketenaran, uang, kepintaran. Apapun yang ingin mereka dapatkan secara instan." "Gila!" Arunika merasa fakta ini sangat membuatnya terpukul. Dia selalu mengira Wewe hanyalah bagian yang suatu saat bisa dibersihkan. Tetapi kalau begini, apakah benar mereka bisa dimusnahkan? "Kau tahu kenapa kami membuat perlindungan ada di ruang bawah tanah halte bus?" Tanya Bayu lagi. "Karena Wewe tidak muncul di ruang bawah tanah. Mereka hanya muncul di atas permukaan saja. Sebab keinginan yang mereka capai tentu berhubungan dengan manusia lain. Bukan dengan cacing, semut atau hewan yang ada di bawah tanah. Mereka ingin diakui kekuasaan, kepintaran, kekayaan. Semua pengakuan itu hanya bisa manusia yang melakukan. Benar kan? Aku tahu kau mungkin agak kecewa dengan sikap Lukman mencurigaimu. Karena baumu tidak tercium olehnya. Keberadaannu, apa yang kau pikirkan. Lukman tidak bisa menebaknya. Terlebih soal pedang dewa. Ngomong ngomong, dia tidak ikut?" Arunika kini merasa lapar lagi. Informasi informasi baru datang dan memenuhi kepalanya. Dia merasa antusias dengan fakta ini. "Dia ingin bersantai katanya. Setelah marah marah kemarin. Kenapa dengan pedang dewa?" Bayu mengajak Arunika duduk di bangku taman. "Pedang dewa adalah pedang yang sangat kuat. Yang pernah bertemu dengan pedang dewa hanya Lukman. Itupun dia tidak bertemu langsung. Hanya mendengar kabar burungnya saja. Dan setelah itu pedang dewa tidak hidup. Selama hampir lima ratus tahun dia tidak pernah muncul. Dan muncul denganmu." Arunika baru mengetahui cerita itu. "Apakah Dewanti pernah bekerja sama dengan Wewe?" "Sejujurnya aku tidak tahu." Arunika tidak berani bertanya lebih lanjut. Dia belum siap dengan indormasi tambahan tentang Dewanti. Dia memandang ke langit. "Bulannya terang ya," kata Arunika. Bayu pun ikut memandang langit. "Iya terang, bukan terang dan kita makan terang bulan. Lucu ya?" Arunika terkikik. "Terus ada musuh datang. Biasanya begitu." "Ya, mereka datang. Sesuai prasangkamu. Tuh," kata Bayu tenang. Menunjuk ke seberang. Dari balik pepohonan, muncul dia. Wewe.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD