Bayu membolak balik berkas itu dengan seksama. Membaca satu per satu informasi yang tertera di sana. Memang benar, bayi yang dilahirkan itu bernama Arunika. Tetapi bisa saja mereka memiliki nama yang sama. Namun nama itu jarang sekali digunakan. Bayu merasa kepalanya sakit.
Tidak ada yang istimewa dari informasi kelahiran bayi tersebut. Namun matanya melebar ketika melihat informasi ibu bayi. Wajah perempuan yang melahirkan bayi Arunina ini sangat mirip dengan wajah manusia Wewe yang membunuh Lukman.
Wajah di sana terlihat letih, dan wajah yang diingat Bayu adalah seringai kemenangan yang memuakkan. Tetapi garis mata, hidung dan bibirnya. Dia yakin bahwa mereka adalah orang yang sama. Benarkan ini kebetulan saja?
Terlalu berisiko kalau menganggap hal ini kebetulan. Bayu juga ingat perkataan Dewanti tadi. Dia bilang tidak mengenal manusia Wewe itu. Namun tidak bisa menjelaskan bagaimana Arunika bisa sampai di kota Sabin.
Dia harus mendiskusikan hal ini dengan Naraya dan Panji. Bayu tidak memiliki banyak orang di pihaknya sekarang.
"Kau akan kuantar kemana? Tanya Betari. Dia melirik dari spion di atas kepalanya. Melihat ekspresi Bayi yang mengkerut. "Apa ada masalah? Apakah kau berpikir bahwa ini adalah Arunika yang sama?"
Bayu menutup berkas tersebut. "Antar ke rumahku saja, dan berkas ini kubawa."
"Di mana rumahmu?" Tanya Betari?
"Kau tak tahu rumahku? Sebagian besar perempuan tahu di mana rumahku."
Betari menghela nafas. "Anggap saja aku bukan perempuan." Saat ini dia malas berdebat. Energinya sudah habis setelah mengomel panjang lebar tadi.
Mobil masuk ke halaman dan berhenti. Bayu turun dari mobil. Dia membungkuk berbicara dengan Berati yang ada di dalam mobil. "Kau tak mau masuk dulu?"
Betari menggeleng. "Tidak. Kau punya beberapa tamu yang harus diurus," kata Betari. Jemarinya menunjuk dua orang di teras. "Sampai jumpa! Jangan lupa besok ada rapat penting!"
Bayu melambaikan tangan. Dia berjalan menaiki undakan dan melihat dua orang yang tidak pernah dia sangka akan ada di sana.
"Kehormatan bagiku mendapat tamu kepala keluarga, Laksamana."
Laksamana tidak menjawab. Dia hanya menegakkan dagu dan matanya menyipit mengamati Bayu dari atas sampai bawah. Sedangan dua asisten wanita seksi itu bergelayut manja mengapit lengan kanan dan kiri Laksamana.
Bayu mulai terbiasa melihat pemandangan menjijikan tersebut. Dia berusaha berdamai dengan pikiran ingin membuang Laksamana dan..
"Jadikan aku petinggi Apiabadi," kata Laksamana. Kata-kata itu keluar dan menghancurkan imajinasi Bayu.
"Apa kaubilang?" Ulang Bayu. Dia ingin memastikan apa yang dia dengar tidak salah.
"Petinggi Apiabadi. Kalau bisa menggantikan Lukman," katanya dengan menyeringai.
Bayu mengepalkan tangannya kuat. Dia merasa kukunya sudah mulai menggores kulitnya sendiri. "Tidak bisa."
Bayu tidak akan mengijinkan siapapun menggantikan posisi Lukman. Tidak akan ada yang bisa. Apalagi si penebar benih tak tahu malu ini.
"Aku menawarkan diri karena merasa aku memiliki potensi dan berguna untuk Apiabadi. Kenapa kau tidak setuju?"tanya Laksamana. Dia tidak mengetahui bahwa Bayu sudah bersiap menyerangnya. Dan Dua asisten itu mendelik pada Bayu karena keputusan Bayu.
Bayu mengabaikan makhluk tak penting di hadapannya. Ada perasaan sesal, kenapa kepala keluarga Laksamana harus dia. Makhluk tidak tahu malu.
"Setujui saja," kata Naraya muncul tiba-tiba.
"Oh Danyang kesayanganku. Apa kabar Panjiku?" Kata Laksaman dengan nada manja. Dia sangat memuja Naraya. "Apa kau rindu bermain denganku? Aku sebenarnya tidak terlalu suka menyerahkan mu padanya. Tapi kau tahu Bayu akan mengebiriku kalau aku tidak bekerja sama."
Naraya dan Bayu tidak mendengarkan apapun kata Laksamana. Bayu menggerling mata pada Naraya minta penjelasan.
"Kau bisa memanfaatkan dia jadi bonekamu," bisik Naraya pada Bayu.
Laksamana masih terus berbicara. Tentang dia merindukan masa masa kejayaan bersama dengan Naraya.
"Sebaiknya kau segera jadi kepala keluarga. Dan menyeretnya ke rumah sakit jiwa," bisik Naraya lagi.
Bayu menyeringai. Dia setuju dengan ide membawa Laksamana ke rumah sakit jiwa.
"Baiklah. Akan aku pikirkan," kata Bayu. "Sepertinya para selirmu sudah kelaparan. Kau sebaiknya memberi mereka makan," kata Bayu menyarankan. Dia berusaha menjaga suaranya terdengar biasa. Namun dia mengatakannya berharap dia keluar dari rumahnya segera.
"Oh. Mereka memang mudah lapar. Kau tahu kan? Ini bukan tentang makanan," kata Laksamana tak tahu malu.
Mereka pergi dengan segera. Dijemput limousin hitam. Laksamana dan selirnya bahkan melambaikan tangan bak selebriti. Bayu menahan muntah.
***
"Apa kau tahu sesuatu, dan di mana Panji?" Tanya Bayu.
"Dia masih di rumah sakit. Lukanya cukup menginfeksi banyak organ dalam," kata Naraya.
"Seharusnya kau ada di sana. Bukannya malah pergi melesat ke tempat Kiandra," bentak Bayu.
"Kau bukan bosku ya, bocah arogan!" Balas Naraya.
Bayu meninju Naraya. Naraya menangkisnya. Namun efek dari tekanan itu seperti angin yang berhembus kencang. Kaca kaca jendela rumah Bayu pecah. Kursi kursi terlempar ke semua sisi.
Mereka berdua saling beradu tinju. Tapi seseorang menggenggam tangan mereka dan melepas dengan paksa. Mereka berdua melotot pada pihak yang berani melerai.
Bagaskara. "Kalau kalian ingin main main. Lanjutkan. Dan biarkan manusia Wewe itu berkeliaran tepat di depan hidung kalian," kata Bagaskara menyindir dua orang yang beradu jotos.
Bayu menarik tangannya. Dia tahu, bukan saatnya menghajar Danyang. Saat ini apa yang akan dilakukan dengan anggrek bulan yang akan mekar. Takdir macam apa yang dia harus jalani?
"Bayu, kau harus tahu apa yang terjadi di rumah Kiandra," kata Bagaskara.
Naraya nampak tak peduli. Yang dia pedulikan adalah keselamatan Kiandra. Rencana detail seperti itu bukan menjadi urusannya. "Baiklah, aku pergi menemui Panji. Dia harus segera keluar dari rumah sakit."
"Apakah ada informasi lain, yang berguna, bocah?" Tanya Bayu.
Bagaskara menyeringai. "Hei, aku yang menyelamatkan mu dulu. Dan kau memanggilku bocah."
"Dulu hanyalah ada bocah manis. Sekarang kau pahit," kata Bayu.
Bagaskara tertawa. "Dengarkan. Aku akan menceritakan kejadian malam itu. Entah Lukman bisa melihat masa depan. Atau memang sudah jadi takdirnya dia tewas malam itu."
"Ceritakan dan aku akan menilai sendiri!"
***
Bagaskara diminta Lukman untuk menjaga rumah Airlangga. Harus dia. Bukan orang lain. Awalnya Bagaskara tidak memahami alasannya. Namun dia tidak memprotes sedikit pun.
Dia hanya penasaran apa yang dipikirkan Lukman. Secara kekuatan, dia memang memiliki kekuatan cukup besar. Tetapi bukan untuk menyerang. Melainkan menyembuhkan. Pertahanannya pun tidak terlalu hebat.
Namun dia tetap melaksanakan perintah. Dia menyewa kamar di kedai depan kediaman Airlangga. Dia bisa saja meminta untuk tinggal di sana, tetapi Bagaskara tidak suka diperintah oleh Ailrangga ataupun bodyguardnya.
Lebih baik dia menyendiri. Hal itu akan membuatnya lebih fokus dan tenang.
Malam itu, Bagaskara merawakan hawa dingin datang dari Utara. Dia segera menyambar jaket dan berada di sekitar gerbang rumah Airlngga.
Benar saja. Ratusan Wewe muncul dalam sekejap dan memanjat dinding perlindungan. Mereka menempel di dinding tranparan itu dan membuat suara meresahkan. Para penjaga panik, termasuk anggota keluarga Kiandra.
Airlangga menyuruh semua orang yang ada untuk tenang. Tetapi suara dari Wewe itu membuat siapapun panik. Termasuk Kiandra. Dia melihat dari jendela kamarnya, para Wewe itu memanggil namanya. Sang Bulan.
Kiandra menutup telinganya rapat rapat. Tetapi Wewe itu membuat kegaduhan. Mereka memang tidak menyerang fisik Kiandra. Karena tabir perlindungan itu sangat kuat. Namun mereka tahu bisa menyerang mentalnya.
Kiandra merasakan telinganya sakit. Suara suara itu berputar di sekelilingnya. Dia kebingungan. Dia takut. Dan menangis minta tolong.
Airlangga dan Mira tergopoh-gopoh masuk ke kamar anaknya. Mereka memeluk Kiandra. Tetapi Kiandra menjerit dan melolong lolong. Dia tidak bisa dibangunkan.
Bagaskara menyuruh menutup jendela Kiandra dan menenangkannya.
Tetapi Kiandra tidak bisa tenang. Setelah menjerit histeris. Tubuhnya bergerak sendiri. Dia menari, meliuk liukkan tubuhnya. Mira menangis dan meminta Kiandra untuk sadar. Tetapi usaha nihil. Kiandra telah kehilangan kesadarannya. Dia telah dikuasai sang bulan.
Sang bulan sangat suka dipuja. Dan Wewe adalah pemujanya yang setia.
Bagaskara memanggil security untuk membuka pintu gerbang. Terjadi percakapan alot. Karena suasana menjadi genting. Dia mengeluarkan api dari tangannya, dan security itu ketakutan dan membukakan gerbang. Bagaskara masuk ke dalam rumah, dan melompati beberapa anak tangga. Menuju kamar Kiandra.
Airlangga terkejut karena Bagaskara di sana. Tetapi dia lebih peduli dengan keselamatan Kiandra.
"Tolong... Tolong anakku," pinta Airlangga.
Bagaskara tidak menjawab. Dia melihat tubuh Kiandra melayang di udara. Dengan wajah tertawa tawa. Dia menari mengikuti irama nyanyian Wewe.
Bagaskara merinding. Tetapi dia berusaha merengkuh tubuh Kiandra ke pelukannya. Dia membisikkan mantra, dan mengeluarkan api untuk menyadarkan Kiandra. Dari semua pendekar yang ada di ApiAbadi, hanya Bagaskara yang bisa.
Dan Lukman tahu itu. Bagaskara akhiru mengerti kenapa dia disuruh ke rumah Kiandra.
Perlu beberapa waktu agar Kiandra tidak histeris. Awalnya dia meronta ronta. Memaki Bagaskara dan Apiabadi. Dia mereka mengganggu kesenangannya. Tetapi Bagaskara tidak gentar. Dia mempererat pelukannya. Dan lama-lama tubuh Kiandra lemas, dan dia pun pingsan.
Nyanyian Wewe itu masih terdengar. Tapi mantra Bagaskara melindungi Kiandra dari panggilan panggilan Wewe itu.
Dan Naraya melesat di sana. Dia menyerang ribuan Wewe itu dengan beberapa kali serangan. Wewe itu hanyalah kelas teri yang mudah dimusnahkan. Naraya terbang ke dalam kamar Kiandra. Dan terkejut melihat Kiandra pingsan di pelukan Bagaskara.
Bagaskara pun kaget. "Untuk apa kau ke sini? Harusnya kau ke pertempuran," teriak Bagaskara.
Naraya tidak menjawab. "Sedang apa kau?" Dia merasa tidak nyaman melihat kekasihnya ada di pelukan lelaki lain.
"Memulihkan kondisinya. Dia nyaris kesurupan," kata Bagaskara.
Naraya mendekat. Dia mengelus pipi Kiandra pelan. "Mereka cuma Wewe kelas teri," kata Naraya.
Bagaskara kesal. "Memang kelas teri. Tali bukan berarti tidak bisa memanggil sang bulan."
Mata Naraya menggelap. "Sekarang, bagaimana?"
"Aku sudah menghalau mantra pemanggilnya. Jadi dia tidak akan mendengar. Kuharap dia segera sadar."
Naraya mebgului dua tangannya. "Biarkan aku yang memeluknya."
Bagaskara menyerahkan Kiandra. Kiandra masih menutup mata. Raut ketakutan terpancar. Seringkali dia mengaduh dan meminta tolong. "Dia bermimpi buruk. Kau mungkin bisa masuk ke mimpinya dan menolongnya," kata Bagaskara memberi saran.
Naraya mengangguk. Dia membagi tubuhnya. Dia masuk ke dalam mimpi Kiandra. Kiandra memeluk lututnya ketakutan, dia menangis dan meminta tolong. Namun di sekelilingnya gelap gulita. Naraya memanggil manggil Kiandra, tetapi Kiandra tak mendengar.
Naraya mendekat tetapi terhalang oleh tabir yang dibuat oleh Kiandra sendiri. Naraya menggedor tabir itu lebih keras. Dan menyadarkan Kiandra. Menggumamkan kata cinta yang menenangkan.
Perlu waktu lama agar Kiandra membuka matanya. Mira dan Airlangga berpelukkan bersimbuh air mata. Mereka tidak tega melihat anaknya seperti itu.
Ketika Kiandra membuka mata, waktu sudah nyaris pagi hari. Bagaskara tertidur bersandar di dinding. Naraya mengelus pipi Kiandra, dan mengucapkan terimakasih karena mau percaya padanya. Kiandra menangis dan memeluk Naraya.
"Aku takut sekali," isaknya. Naraya balas memeluk dan mengelus punggung Kiandra.
***
"Cerita yang dramatis sekali," gumam Bayu mendengar cerita Bagaskara. Bagaskara bahkan menjelaskan lengkap tingkah Naraya kepada Bayu. Seolah olah itu menjadi bagian dari hal yang penting.
"Aku baru tahu kau suka cerita romantis seperti itu," sindir Bayu.
Bagaskara mengangkat bahu. "Setiap orang kurasa suka ending yang bahagia. Merasakan cinta, dan bisa mendapatkan balasan cinta. Itu sesuatu yang menakjubkan."
Bayu menatap Bagaskara seolah hina. "Oh iya?"
"Tentu. Sayangnya kau selalu begitu. Kau tidak pernah serius dengan satu wanita. Eh kau pernah ya?" Bagaskara tertawa mengejek. "Bahkan hampir mati."
Bayu menggetok kepala Bagaskara. "Diam kau bocah."
"Besok kau akan datang ke rapat? Dan mengusulkan Laksmana menjadi petinggi?" Tanya Bagaskara.
"Aku tidak tahu sejujurnya. Aku masih menimbang pilihan itu. Bagaimana pendapat mu? Sebagai murid satu satunya Lukman, kau seharusnya mewarisi satu persen dari kepintarannya," kata Bayu.
Bagaskara tertawa sumbang. "Iya, aku setuju. Kepala keluarga lain tidak akan mengusik Laksamana. Kau aman. Mereka tidak perlu mengusik Laksamana karena yang dipikirkan hanyalah menutup lubang."
"Bocah kecil, kau tahu apa?" Kata Bayu tak percaya.
"Aku sudah dewasa. Dan aku bukan anak kecil yang selalu kau ambil permennya."
Bayu menyisir poninya. "Hei bocah, apakah percaya takdir?"
Bagaskara mengangguk. "Apapun yang terjadi di dunia. Pasti memiliki takdirnya. Kenapa kau bertanya tentang itu? Apakah kau bertemu dengan takdirmu? Siapa?"
"Bukan siapa-siapa," jawab Bayu cepat.
"Hmm, tetapi kau juga bisa menyulam benang takdirmu sendiri," lanjut Bagaskara.
"Kalau takdir itu benang. Aku akan memilih yang paling indah warnanya. Jadi hidup aman dan tentram," sahut Bayu.
Bagaskara mencibir. "Jangan seenaknya menentukan apa maumu."
"Katamu tadi bisa disulam, takdir itu," bantah Bayu.
"Ah bukan seperti itu maksudnya."
"Terus bagaimana?"
"Entahlah, aku jadi bingung sendiri," gumam Bagaskara.
Bayu mendengus.
Ponsel Bagaskara berdering. Bagaskara mengangkatnya. "Apa kabar Aru? Yah kita lama tidak jumpa. Bagaimana kalau nanti sore kita jalan cari terang bulan."
Bayu menoleh begitu, Bagaskara mengucapkan nama Arunika. Bagaimana mereka berdua kenal. Dan apa katanya tadi, cari terangbulan hollyshit.
Bagaskara tertawa tawa mengobrol dengan Arunika. Bayu merasa hatinya terasa sakit. Entah kenapa dia tidak tahu.
"Kau kenal dengan Arunika?" Tanya Bayu begitu Bagaskara menutup telepon.
"Iya. Kenapa?"
"Dia kan anak yang sedikit aneh," gumam Bayu tidak jelas.
"Dia? Dia gadis yang menyenangkan. Meskipun selera sedikit aneh. Dia suka barang barang tua. Tapi dia asyik diajak hangout."
"Aku ikut," kata Bayu.
"Apa, ikut kemana?" Tanya Bagaskara.
"Mencari terang bulan, aku lagi pingin makan itu," kata Bayu mencari alasan.
Bagaskara melihat curiga tingkah Bayu.