Variabel Aneh

2139 Words
Arunika ngeri melihat wajahnya yang terpantul di cermin. Matanya bengkak dan sembab. Pipinya kian tirus karena dia tak nafsu makan. Meskipun dia tidak mengenal Lukman secara pribadi. Tetapi dia ikut merasakan kesedihan yang dialami oleh masyarakat Sabin. Dia tidak pernah melihat pesta perpisahan yang sangat meriah. Di mana iringan peti mati Lukman disambut oleh ribuan atau jutaan orang. Mereka berdiri di pinggir jalan dan melambaikan tangan. Ada juga puluhan truk bunga yang dikirim ke makamnya. Arunika yakin Lukman adalah pemimpin yang baik. Dan selama dia bertugas, banyak orang yang mendapat bantuannya. Rasa sedih itu berubah cepat ketika dia menoleh ke sofa. Dewanti duduk di sofa dengan kaki di atas meja. Mulutnya sibuk mengunyah dan mengunyah. Arunika mendelik melihat sampah bungkus makanan itu berserakan di lantai. Dan sisa sisa makanan menempel di sofa dan meja. Arunika menghela nafas panjang. Dia mendengar pintu di ketuk. Arunika dan Dewanti berpandangan. Arunika mengangkat alisnya bertanya siapa? Bukannya menjawab, Dewanti malah berdecak. "Rapikan wajahmu,atau kau akan menyesal," kata Dewanti singkat. "Siapa sih yang datang," tanya Arunika penasaran. Dia pun berjalan mendekati pintu dan mengintip di lubang pintu. Seorang lelaki berpakaian rapi. Dia tidak bisa melihat wajahnya karena lelaki itu membelakangi pintu. "Angin sepoi-sepoi ingin menyapa pagi," kata Dewanti meracau. "Apaan sih!" Arunika kembali menuju meja rias yang ada di samping tempat tidurnya. Dia merapikan wajah dan rambut yang awut awutan. Memakai bedak dan lipstik sedikit. Tetapi dia tidak bisa menyembunyikan mata pandanya. Pintu kamarnya di ketuk lebih keras. Tamu yang datang sepertinya sudah tidak sabar menanti. Arunika berjalan membuka pintu. Dan dia sangat kaget ketika lelaki itu adalah petinggi Bayu. Dia masih belum pulih dari syoknya, ketika Bayu berkata,"Boleh masuk?" Arunika hanya mengangguk. Bayu masuk tanpa sungkan. Namun dia tetap berdiri. Dewanti menyambutnya dengan mulut penuh makanan. "Mau apah kaww?" Katanya dengan mulut penuh. Makanan itu menyembur ke jas Bayu. Arunika menganga. Sedangkan Dewanti sama sekali tidak merasa bersalah. Bayu sangat kesal dengan sikap sombong Danyang ini. Sombong dan tidak punya sopan santun. Arunika sadar dan segera mengambil tisu basah di meja. Dia mau mengelap jas Bayu. " Maaf mas eh pak." Bayu merebut tisu itu dan mengelapnya sendiri. "Kau, apakah kenal dengan manusia Wewe yang membunuh Lukman?" Dia langsung bertanya. Sebab begitu mendapat Jawaban dari pertanyaan yang bercokol di kepalanya. Dia akan segera pergi. Dewanti tidak menjawab. Dia masih asyik mengunyah. Arunika mencubit pinggang Dewanti. "Ayo minta maaf, bisiknya." Dewanti tidak kunjung bersuara. Dia begitu fokus mengunyah makanannya menjadi lembut. Penting baginya untuk memastikan makanan itu sudah lembut dan bisa masuk ke lambungnya dengan mulus. Arunika merasa gelisah dengan situasi saat ini. Dia merasa tak nyaman. Apalagi Bayu terlihat ingin memukul Dewanti. Jadi dia melakukan kebiasaannya. Menarik narik telinganya. Dia tidak sadar bila telinganya sudah merah kalau tidak ditegur. "Telingamu sudah merah. Mau kau tarik sampai copot?" Kata Dewanti mengejek. Arunika melepaskan tangannya. Dia membersihkan meja dan sofa. "Duduk dulu Pak?" Dewanti mau membuka mulutnya untuk mengusir Bayu. Tapi Arunika memberikan tatapan tajam agar dirinya tutup mulut. Bayu mendengus. Dia berusaha bersikap sopan, tetapi Danyang sombong itu malah bersikap arogan. Bayu ingin sekali meninjunya. Tetapi dia tahan keinginan itu karena ada Arunika di sana. Akhirnya Bayu duduk demi kesopanan. Sedangkan Arunika mendorong Dewanti agar ikut duduk. Bayu menyindir Dewanti. "Kau bisa perhatian dengan Arunika, tetapi mengabaikan pertanyaanku. Tidakkah itu kurang sopan?" "Kau juga tidak menjawab pertanyaan ku," balas Dewanti. Bayu menyisir poninya ke belakang. Sangat sulit untuk berbicara Normal dengan danyang sombong ini. Tetapi dia akan mengikuti permainan Danyang ini. "Baiklah, aku ke sini untuk memeriksa sesuatu." Bayu tidak menceritakan apakah sesuatu itu. Dia ingin melihat bagaimana reaksi Dewanti. "Apakah sesuatu itu tentang Arunika?" "Kau ini ngomong apa?" Kata Arunika. Matanya bertatapan dengan Bayu. Arunika langsung memalingkan wajahnya. Dia menyibukkan diri dengan membersihkan sampah di lantai. Dia tidak ingin Bayu ataupun Dewanti melihat wajahnya yang memerah atau mendengar jantungnya yang berdegup kencang. "Ya. Bisa juga. Tergantung jawabanmu," kata Bayu. Matanya tak lepas dari Arunika. Dia melihat Arunika lebih kurus dibanding seminggu yang lalu. Dan warna hitam di bawah matanya. Bayu tersenyum. Gadis itu bisa menangis sedangkan dirinya tidak. Dewanti berang. "Apa pertanyaan mu dan cepat pergi dari sini." Bayu mendapat informasi baru. Danyang sombong ini sangat peduli dengan Arunika. Hal yang dia heran. Bagi Danyang, mereka tidak memiliki ikatan emosional terhadap sekutunya. Naraya pun tidak peduli kalau Panji tewas. Sedangkan Danyang sombong ini, hal yang menyangkut tentang Arunika, akan mengalihkan perhatiannya. "Yang pertama, apakah kau mengenal manusia Wewe yang membunuh Lukman. Yang kedua, bagaimana Arunika bisa ada di kota Sabin, dan apa tujuannya?" Bayu tidak bisa melepaskan kesempatan ini. Dia menggunakan kesempatan saat Dewanti lengah dan langsung mengajukan pertanyaan yang penting. Bukannya menjawab, Dewanti malah mengambil makanan lagi dari keranjang bawah meja. "Aru, jangan mau pacaran dengan lelaki ini. Meskipun wajahnya awet muda. Tetapi umurnya sudah ratusan tahun. Pada orang normal, umur segitu sudah memiliki cucu dan buyut," kata Dewanti. Dia memasukkan makanan itu ke mulutnya. Arunika terkesiap. Bayu juga tercengang. Bagaimana mungkin percakapan mereka bisa beralih ke hubungan asmara. Bayu tidak mengerti jalan pikiran Dewanti. Dia menoleh ke Arunika. Arunika menjadi salah tingkah. "Kau itu ngomong apa," bisik Arunika. Bayu menghela nafas panjang. Sepertinya dia memiliki masalah baru. Dan Dewanti tidak suka bila dia dekat dengan Arunika. Bagaimana mungkin Danyang itu membahas umurnya di hadapan gadis muda belia. "Aku ingin mengoreksi. Umurku bukan ratusan tahun. Tetapi 35 tahun. Dan aku belum menikah,jadi tidak ada istri, anak, apalagi cucu," kata Bayu dengan nada riang. Jawaban Bayu membuat Arunika semakin ingin tahu tentangnya. Tetapi dia terlalu malu. Dan enggan bila harus yang memulai. Maka dia memutuskan diam saja. Dewanti berdecak. "Hei bocah, kau lupa angka nolnya. 350 tahun," balas Dewanti. Bayu menyengir. Dia sibuk mengamati Arunika dan menyadari bahwa Dewanti melototinya. Bayu sadar, Danyang ini bersikap seperti induk ayam yang melindungi anak anaknya. Dan dia menganggu mereka. Bayu juga menyadari hal lain. Arunika mungkin memiliki perasaan padanya sehingga sikap Dewanti lebih keras. Bayu tidak bisa meneruskan perbincangan mereka. Dewanti tidak akan bersikap kooperatif. Jadi Bayu berdiri dari duduknya. "Aku ada urusan lain, semoga kita bisa berbicara lain waktu," kata Bayu. Namun tidak ada yang menanggapi. Arunika dan Dewanti berdebat tentang hal yang tidak dia mengerti. Bayu membuka pintu. Arunika berteriak," perlu aku antar Pak?" Bayu baru saja akan menjawab iya. Tetapi Dewanti menyambar. "Tidak perlu. Dia tahu jalannya." Bayu tersenyum dan mengangguk pamit. Arunika merasa kesal. "Kenapa kau bersikap seperti tadi? Itu tidak sopan," kata Arunika memprotes. "Jangan bilang, kau mulai naksir padanya?" Dewanti balik bertanya. "Tentu saja tidak!" Jawab Arunika. "Tidak apanya. Wajahmu bersemu merah ketika dia ada di sini. Sudah kuperingatkan ya, dia lelaki playboy," kata Dewanti kemudian menghilang. "Kemana dia? Aku belum selesai bicara," gerutu Arunika. *** Bayu membuka pintu mobil dan duduk. "b*****t kau! Jangan membuatku jantungan," bentak Bayu. Dewanti mengangkat bahu. "Aku tidak kenal dia. Si Wewe busuk itu," kata Dewanti. Bayu tertawa pada hal yang tak lucu. Ketika beberapa menit tadi dia berada di kamar asrama Arunika. Danyang ini tidak menjawab apapun. Dan malah membuat pernyataan pernyataan konyol. Sekarang Danyang ini muncul tiba-tiba di dalam mobilnya dan mengatakan sesuatu. "Aku tidak sedang bercanda. Jadi jawab pertanyaan selanjutnya," kata Bayu dengan nada mengancam. "Aku tidak bisa menjawabnya soal yang kedua. Jalankan mobilmu,"kata Dewanti. Bayu menjalankan mobilnya keluar garasi asrama pendekar ApiAbadi. Mobil itu melaju mulus di dalam kota. "Kita akan kemana?" Tanya Bayu. "Ke rumahmu." "Apa? Untuk apa?" "Untuk bicara." Dewanti menatap tajam Bayu. "Kalau kau berpikir tidak senonoh. Sorry. Aku tidak tertarik padamu, bocah arogan." "Aku tidak bilang begitu. Terus apa alasannya?" "Anggrek bulan akan mekar. Begitu kan?" Bayu menginjak remnya dengan kuat. Mobil berhenti dengan mendadak. "Bagaimana kau tahu?" "Naraya bilang. Dan kami pikir, tidak baik membiarkan Kiandra pulang ke rumahnya." "Dan kau akan membuat rumahku sebagai persembunyian Kiandra?" Tanya Bayu. "Tepat. Waktunya semakin dekat, dan Arunika belum siap," gumam Dewanti. "Apakah Arunika ada di pihak ApiAbadi?" Tanya Bayu. "Selama ini sih iya. Entah kalau dia berubah pikiran," kata Dewanti enteng. "Dan kalau itu terjadi, aku akan tetap di pihaknya," lanjut Dewanti menyunggingkan senyum. Bayu tidak percaya kata kata Dewanti. Jadi dia mengambil risiko untuk memancing Dewanti. "Aku akan merayunya agar berpihak padaku," kata Bayu. "Coba saja. Sebelum itu terjadi kau akan mati," ancam Dewanti. Bayu menjalankan mobilnya. Bayu tidak tahu lagi harus berbuat apa. Jadi dia memberhentikan mobilnya di depan pemakaman. "Lihat makam ini, mau berapa orang lagi yang mati karena Wewe? Kalau aku bisa membuat kemenangan meski peluangnya kecil, aku akan berjuang mendapatkannya." Dewanti tertawa. "Kau apa? Manusia egois seperti kau?" Bayu tahu dia manusia egois. Setidaknya dia tidak bisa membuang harapan Lukman. "Tertawalah sepuasnya. Aku juga ingin lihat kau tertawa, kalau aku bisa mendapatkan hati Arunika." Tawa Dewanti berhenti seketika. Dia tahu Bayu serius. Dewanti menghela nafas panjang. Dia tidak menyangka Arunika akan tertarik dengan Bayu. Padahal dia sudah merencanakan kedekatan Panji dan Arunika. Malah Arunika tertarik pada orang yang salah. Dia sangat kesal tadi. Melihat semu malu di pipi Arunika ketika Bayu datang. Dia bersikap ketus agar Bayu segera pergi. Tapi Bayu menyadarinya. "Kau tahu, kau seperti akan membunuhku sekarang, begitu aku menyebut nama Arunika," kata Bayu tersenyum miring. "Sekali lagi kau..," "Dia anak yang manis. Tetapi masih muda dan polos. Aku tidak akan memanfaatkannya. Aku masih punya moral," Dewanti merasa sedikit lega. "Tapi aku sedikit menyukainya," kata Bayu. Habis sudah kesabaran Dewanti. Dia menendang Bayu. Bayu tidak siap dengan serangan dadakan itu. Tubuhnya menghantam pintu mobil. Dan pintu itupun terlpas dari tempatnya. Dia dan pintu terlempar ke luar. Bayu terpelanting ke tanah. Dia mengumpat. Dia begitu kaget, tidak siap dengan serangan itu. Rupanya Danyang itu lebih dari protektif terhadap Arunika. Menggodanya sekali lagi, akan membuatnya bertarung sungguhan dengan Danyang. Bayu bangun sambil memegang pinggangnya yang ditendang Dewanti. Masih terasa sakit. "Kau tidak bisa diajak bercanda ya? Danyang sialan." Dewanti berada di atap mobil. Dia berdiri dan mengacungkan jari tengah. Lalu lenyap dari pandangan Bayu. Bayu mengumpat lagi. Mobil kesayangannya kini harus masuk bengkel. Dia menyisir poninya ke belakang. Kemudian mengambil ponsel dari saku celana. Sayangnya ponsel tersebut tidak menyala. Baterai habis. Bayu baru ingat selama seminggu ini dia tidak peduli dengan lainnya. Termasuk ponselnya. Bayu duduk di bangku di dekat gerbang pemakaman. Dia mengamati orang-orang yang datang ke sana. Sebagian besar eskpresi wajah mereka sedih. Kehilangan orang yang dicintai tentu akan membuat siapapun sedih. Bayu merasa mereka semua beruntung karena bisa menangis sepuasnya. Melampiaskan kesedihan akan kepergian orang yang dicintai. Dan Bayu melihat wajah yang dia kenal. Betari. Dia mengenakan gaun hitam dan topi anyaman besar. Dia membawa satu buket bunga besar. "Betari," panggil Bayu. Betari menoleh ke sumber suara yang memanggil namanya. Dia kaget melihat Bayu di sana. Sedang apa dia? Setelah seminggu ini menghilang, tidak bisa dihubungi. Kali ini dia malah ada di pemakaman. "Ah Bayu, sedang apa kau?" Tanya Betari Dia melihat mobil Bayu yang pintunya terlepas. "Ah, kenapa mobilmu?" "Yah... Begitulah. Aku menumpang mobilmu ya!" "Ah, oke. Aku meletakkan bunga ini dulu. Kau ikut tidak?" "Aku menunggu di sini saja." *** "Ah, serius ya. Kenapa dengan mobilmu?" "Aku menggoda seorang gadis, ternyata anjingnya galak." "Sukurin! Dasar Playboy!" Betarii tertawa. Bayu mendengus. "Kau ke sana, tiap hari ya?" "Ah iya. Aku tidak tahu harus apa setiap sore. Jadi ya, aku ke makam Lukman setiap hari. Kau tahu? Aku masih tidak percaya bahwa dia sudah tiada." Bayu diam saja. Betari butuh telinga. "Aku selalu merasa dia seperti ayahku. Mengambilku dari panti asuhan karena aku istimewa. Padahal tidak ada orang tua yang mau mengadopsi ku. Dia merawatku sampai sekarang. Aku merasakan kasih sayang orang tua. Kau tahu apa yang lucu? Ketika aku kecil sampai sekarang. Wajah dan tubuh tidak berubah tua. Kalian beruntung berasal dari keluarga bangsawan. Tetapi aku juga beruntung mengenal kalian." Bayu tersenyum. Dia ingat, Betari kecil sangat takut padanya. "Kau anak cengeng." "Itu karena kau selalu saja mengangguku. Ngomong ngomong kau tadi habis dari mana?" Tanya Dewanti melihat Bayu mengenakan baju bagus. "Aku tadi menemui Arunika. Aku merasa ada yang aneh dengannya." Betari mengingat sesuatu. "Bayu, kau tahu kan membersihkan kantor Lukman. Kau tahu, aku menemukan file tentang Arunika. Tapi ada yang aneh. Arunika dinyatakan meninggal dunia saat itu." Bayu menyambar tangan Betari. "Dimana berkasnya?" "Lepaskan tanganmu. Aku sedang menyetir," teriak Betari panik. Bayu melepaskan tangannya. "Sorry." Betari geleng geleng kepala. "Tuh berkasnya di jok belakang." Bayu bergerak pindah ke jok belakang. "Kerja bagus Betari." Betari senang telah melakukan hal yang benar. "Aku merasa aneh dengan berkas itu. Jadi sebaiknya aku diskusikan denganmu. Aku berusaha menelpon mu tetapi kau tidak terhubung." "Aku mengerjakan sesuatu." Bayu membuka berkas itu. Mencari apakah ada hal yang bisa menjadi informasi berguna. Dan dia syok melihat sesuatu di sana. Wajah yang dia kenal, wajah yang membuat darahnya mendidih. "Kau tahu, mungkin saja itu salah tulis. Di situ tertulis bahwa arunika lahir pada 100 tahun yang lalu. Dan meninggal saat bayi. Atau mungkin ada nama Arunika yang lain," cerocos Berati. Dia tidak menyadari kalau suasana hati Bayu menjadi buruk. Kertas itu bahkan diremasnya kuat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD