Bagaskara menutup telepon ketika melihat anak-anak naik turun trucuk dengan senang. Padahal barang barang sudah dikeluarkan dari gedung dan siap diangkut. Dia tidak tega merusak kesenangan kecil mereka.
"Hei anak-anak, cukup bermainnya!" Kata Bagaskara.
Anak-anak itu berhenti naik turun, mereka menoleh pada Bagaskara. Wajah kecewa tidak bisa mereka sembunyikan. Mereka meninggalkan truk itu dengan langkah lesu. Bagaskara berjanji mereka akan mendapatkan permainan yang lebih baik di tempat baru. Dia akan merayu Bayu kalau perlu.
Sony dan beberapa orang dewasa mengangkat lemari kayu tua. Warisan turun temurun keluarga Haya. Bagaskara pun membantu mereka. Harusnya dengan dibantu Bagaskara lemari itu mudah, nyatanya tidak. Lemari ini pasti memiliki unsur magisnya.
"Gila! Apa sih isi lemari ini!" Gerutu Bagaskara.
"Bom!" Jawab Candy ringan dari belakang. Entah kenapa hatinya terasa ringan. Mungkin karena dia sedikit tahu tentang asal usulnya. Mungkin juga karena dia akan mendapatkan suasana baru.
Mata Sony menyipit tidak suka dengan gurauan Candy. Namun dia tidak memprotes apapun. Dia mengisyaratkan bagaimana kabar kepala asrama pada Bagaskara.
"Dia cukup baik. Namun kondisinya masih lemah. Aku tidak yakin kalau dia sanggup menempuh perjalanan panjang," kata Bagaskara. Dia sudah pernah memperingatkan Bayu. Namun jawabannya tidak memuaskan.
"Apanya yang mudah, dari wilayah Haya sampai Pakubumi itu jauh banget!"
"Kami akan membukakan jalan pintas," kata seorang pemuda yang berjalan masuk dari gerbang.
Lelaki muda itu Bagaskara kenal sekali. Pendekar ApiAbadi dari keluarga ApiAbadi.
"Tumben sekali kau mau jadi sukarelawan," sindir Bagaskara.
Lelaki itu tersenyum. Namun senyumnya tidak tulus. Seperti senyum menawan ala salesman.
"Niatku tidak tulus. Tujuanku kemari," dia memandang Candy. "Aku ingin melihat gadis permen yang menjadi anggota baru keluarga kami," kata lelaki itu.
Candy meletakkan barang-barang yang dipegangi. Dia membalas tatapan lelaki itu dengan sombong. "Kau pikir aku badut? Perlu kau lihat?"
Lelaki itu tertawa. "Boleh juga kau. Tetapi sayangnya aku lebih tertarik pada Arunika. Di mana dia? Aku pikir dia di sini, setelah kebakaran di hutan?" Kepalanya menegaskan ke sekeliling. Menyapu ruangan ruangan dari jauh. Namun yang muncul hanya anak anak saja. Orang dewasa hanya ada mereka di depan sini.
"Kebakaran hutan apa?" Tanya Bagaskara. Dia sama sekali tidak sempat memeriksakan ponsel, dia sibuk memindahkan barang -barang untuk diangkut ke dalam kendaraan.
"Kebakaran hutan di wilayah Oriza Sativa. Kau tidak tahu? Berarti Arunika tidak di sini? Kupikir dia ke sini, karena kau Bagaskara, si ahli penyembuh ada di sini." Kata lelaki itu. Melihat wajah Bagaskara masih belum mencerna apa yang terjadi. Dia menjadi kesal. Rupanya pemikirannya keliru. Gadis pedang dewa itu tidak ada di sini.
"Sebelum kau menghajar Arunika, kau harus berhadapan denganku lebih dulu," kata Candy.
Lelaki itu mengibaskan tangannya. "Aku tidak tertarik bertarung dengan keluarga sendiri."
Candy mendengus kesal. Dia bisa saja menantang lelaki ini sekarang juga. Nun dia masih mengkhawatirkan lukanya. Apakah sudah sembuh atau belum. Lagipula saat ini, dia punya tugas yang belum selesai.
Mengurus barang barang ini untuk dikirim ke wilayah Pakubumi.
"Ibu Asrama sedang sakit, apakah bisa diantar lebih dulu?" Tanya Candy. "Benar ada jalan pintas?"
Lelaki itu tersenyum lagi. "Benar Gadis permen. Ngomong ngomong panggil aku Gunung."
"Gunung Pakubumi. Cocok jadi nama gunung," ledek Bagaskara.
Lelaki yang bernama Gunung itu tidak merespon ledekan Bagaskara. Dia sudah mengenal Bagaskara bertahun tahun. Sudah hapal sifatnya.
"Di mana Ibu itu? Dia bisa masuk mobilku."
Candy menunjuk sebuah ruangan pertama gedung itu. "Kita akan lewat mana?" Tanya Candy. "Setahuku meskipun memiliki jalan pintas, kita tetap butuh perjalanan sehari semalam." Candy cemas.
"Tidak sampai sehari semalam. Sekitar empat sampai lima jam saja," kata Gunung.
"Memangnya kau sudah bisa? Kita tidak akan tertimbun longsor kan?" Bagaskara menyela.
Gunung melirik tajam pada Bagaskara. "Kau akan tahu nanti." Dari tatapannya Bagaskara tahu, Gunung akan membalas perhitungan dengannya. Bagaskara tidak takut.
"Apa maksudmu dengan longsor? Kita akan lewat bawah tanah?" Candy melongo tidak percaya.
"Benar. Kalau kau sudah ahli, kau juga bisa nanti. Itu kekuatan spesial yang dimiliki Pakubumi," Gunung memberi kedip mata.
Candy melengos.
Begitu persiapan selesai. Dan barang barang yang dibutuhkan telah masuk ke dalam kendaraan. Mereka bersiap berangkat. Dina dimasukkan ke dalam mobil Gunung. Sekaligus dengan ranjang dorongnya.
Cand menatap gedung yang telah ditinggalinya bertahun-tahun. Bagaimana dia dibesarkan, mengenal kasih sayang, belajar menggunakan pedang. Dan segala hal yang membentuk dia seperti sekarang. Dia akan meninggalkan tempat ini.
Entah kapan akan kembali. Candy memeriksa sekali lagi anak anak di dalam bus. Anak anak pun menatap hari ke jendela. Mereka mengerti kepindahan ini adalah bukan sekedar liburan yang akan kembali ke sini. Kepergian ini adalah untuk selamanya. Mungkin mereka tidak akan kembali ke tempat ini.
Mereka saling menggenggam dengan teman sebangku. Candy merasa matanya basah. Dia meminta anak anak berdoa sebelum perjalanan, meminta keselamatan. Dan Candy dalam hati berdoa meminta kebahagiaan untuk anak anak ini.
Doa yang panjang.
Bagaskara duduk di sebelah Gunung.
"Lama ya gadis itu," gumam Gunung.
"Tunggu sebentar lagi. Mereka sedang melakukan perpisahan."
"Dengan bangunan tua ini?"
Bagaskara memandang bangunan tua ini. Dia pun pernah menjadi bagian dari anak anak itu. Kemudian diadopsi oleh Lukman. Dia tidak terlalu ingat tempat ini. Mungkin ingatan itu tertimbun oleh kenangan kenangan indah yang lain.
Bagaskara juga berharap Candy dan anak anak itu demikian. Tidak melulu tempat ini. Tetapi menyimpan rapi di sudut ingatan. Yang mana bisa diputar kembali suatu saat.
Gedung ini akan jadi sejarah baru bagi kota Sabin. Bagaskara berharap gedung tua ini tidak dirobohkan. Baik dia dan Panji memiliki kenangan di sini. Kenangan masa kecil mereka.
Candy mengusap air matanya berulang kali. Namun matanya tetap basah meski dia terus menghapusnya. Dia merasa sedih, namun kesadaran harus segera berangkat. Kalau dia tidak bisa memberi contoh untuk tegar, bagaimana dengan anak anak. Dia harus yakin ini adalah keputusan yang baik untuk anak anak.
Bagaskara melongok, kepalanya keluar kaca mobil. "Bagaimana sudah siap? Keburu malam."
Candy menjawab dengan suara serak. "Tentu, kami siap! Aku duduk di bus saja. Sama anak-anak."
Bagaskara tidak bisa memaksa. Namun tetap menatap mata Candy yang sembab.
Candy menyembunyikan wajahnya. "Kalau ada yang mabuk, aku bisa mengurus mereka," kata Candy mencari alasan.
Bagaskara mengangguk. Candy masuk ke bus.
"Dia tidak ikut dengan kita?" Tanya Gunung.
"Tidak. Dia masih butuh waktu."
Gunung mengangguk.
Dia menjalankan mobilnya. Sorot lampu mobil membuka jalur baru. Sebuah terowongan yang mengarah ke bawah tanah.
"Jalannya curam tidak? Kita punya pasien," kata Bagaskara cemas.
"Santai bro. Semuanya sudah diatur," jawab Gunung.
Mobilnya meluncur masuk ke terowongan. Diikuti oleh mobil lainnya, bus dan truk pengangkut barang.
"Kau tadi sebut Arunika, dia kenapa?"
"Katanya hilang. Kukira dia mencaeimu karena terluka. Sepertinya tidak."
"Apakah Panji bersamanya?"
Gunung mengernyit. "Sepertinya tidak. Dia kembali bersama Bayu."
Bagaskara yakin, Arunika baik baik saja. Karena dia bersama Dewanti. Dewa pelindungnya.