Api Padam

1039 Words
Suara sirine memecah kesunyian jalanan dari pusat kota sampai wilayah Oriza Sativa. Ratusan mobil pemadam kebakaran tiba berderet deret memenuhi jalan sepanjang hutan. Ketika mereka tiba di sana, api utama telah padam. Namun asap masih memenuhi wilayah itu. Mereka tetap melakukan penyemprotan, untuk mematikan bara yang tersisa.  "Sepertinya kami datang sangat terlambat," ujar kepala pemadam kebakaran.  "Yeah. Seperti yang kau lihat!" Jawab Bayu dengan malas.  "Tetapi siapa pendekar yang bisa melakukan hal ini? Menggerakkan tanah? Seumur hidup baru aku mendengarnya." Bayu memasukkan tangannya ke saku celana. Dia memandang tumpukan tanah itu memenuhi separuh dari hutan di titik ini.  "Apakah aku bisa bertemu dengannya? Mungkin suatu saat kami membutuhkan bantuannya," kata kepala itu.  Bayu tersenyum malas. "Sayangnya dia bukan pendekar ApiAbadi," kata Bayu.  "Lalu siapa? Salah satu abdi keluarga bangsawan kah? Di sini dekat dengan wilayah Oriza Sativa. Beruntung sekali kalau memiliki orang yang bisa mengendalikan tanah. Apalagi air. Apakah belum ada yang bisa, Tuan Bayu?"  "Entahlah. Aku juga tidak pernah mendengarnya."  "Ya, seluruh orang dengan kekuatan yang hebat bergabung dalam pasukan ApiAbadi," kepala itu tertawa miris.  "Kami akan siap membantu kalau dibutuhkan," janji Bayu.  "Terimakasih. Aku akan mengandalkanmu, Tuan," kata Kepala tersenyum. "Sepertinya anak buahku sudah selesai memeriksa tempat ini. Dan bisa dinyatakan api telah padam seutuhnya. Kami akan kembali ke pos masing masing."  Bayu mengulurkan jabat tangan. Kepala itu menyambutnya. "Kami akan memberitahu laporan penyebab api bila hasil penyelidikan telah keluar."  Ratusan mobil itu kembali ke pusat kota dan wilayah lainnya. Bayu masih di sana. Aditya masih terpuruk. Panji pun muram. Para panda untuk sementara diungsikan di kebun binatang terdekat. Dan pawangnya dilarikan ke rumah sakit.  "Kita harus pulang. Aku akan mengantar kalian. Sebaiknya kau tetap di sini dulu Panji," kata Bayu.  Panji mengangguk. Dia tidak masalah ada di manapun. Asal pamannya tetap.membutuhkannya.  "Apakah pemilik kekuatan air itu ada?" Tanya Aditya. "Kalau ada, siapa dia?"  "Hei, memangnya kita avatar, ada pemilik kekuatan air?" Sindir Panji.  Bayu pun tidak tahu. "Memangnya kau mau apa?"  Aditya menegakkan tubuhnya. "Tentu saja, kekuatan itu akan sangat berguna untuk pertanian dan hutan ini. Para pendekar tidak bisa memadamkan api. Api adalah elemen yang tidak bisa kalian taklukan," dia berteriak.  "Pelankan suaramu," ancam Panji.  "Sudahlah. Aku mengerti maksudmu. Aku akan berdiskusi dengan Airlangga nanti. Dia juga pasti mendapat kerugian besar atas musibah ini," kata Bayu tanpa memandang mereka. Dia lebih memfokuskan pada jalan. Sebab suasana mulai gelap. Dia cemas akan ada Wewe yang menganggu perjalanan mereka pulang.  "Daripada kekuatan air, aku lebih penasaran siapa yang membakar hutan? Apa kalian punya musuh?" Tanya Bayu.  Aditya tertawa sinis. "Bukankah ApiAbadi yang punya banyak musuh." "Apakah sebelumnya ada kejadian aneh?"  Aditya mengingat sebentar. "Ada ular parasit hinggap di kaca mobilku saat berangkat tadi." "Ular apa?" Tanya Panji.  "Kau tidur tadi. Arunika dan aku melihatnya. Dan Dewanti yang membasminya. Dia mengucap mantra terus ular itu terbakar. Dia menyebutnya ular parasit."  "Begitu. Ada yang lain?" Tanya Bayu lagi.  "Paman, ledakan ini pasti didalangi oleh orang yang sama. Tadi malam, sebuah motor meledak dan manusia Wewe muncul. Mereka pasti mengincar Arunika." "Kenapa kau berpikir begitu?" Tanya Bayu. Meski dalam hati dia setuju dengan pendapat Panji.  "Cirinya sama. Ingat kejadian ledakan bus Cosmos di gedung perlindungan ibu hamil dulu? Mereka meledakkan bus Cosmos. Mereka tahu ledakan itu akan menghancurkan fokus kita. Dan ledakan kali ini, pasti berharap Arunika terbakar atau semacamnya. Tapi aku yakin tanah tadi adalah kekuatan dari Dewanti. Siapa lagi yang bisa melakukannya? Arunika tidak punya kemampuan selain menebas Wewe."  "Dan di mana mereka sekarang?"  Aditya dan Panji tidak memiliki jawabannya.  "Panji, kau tanya Naraya! Kau bisa menghubunginya?"  "Dia menutup komunikasi kami. Setelah aku bisa menguasai teknik penghancur," jawab Panji kesal.  "Kalau begitu, hubungi Bagaskara. Kau tanya apakah Naraya ada di asrama atau tidak."  "Baiklah," Panji merogoh ponsel di ranselnya dan menelpon Bagaskara. Terdengar nada sambung yang panjang. Tuuuut.  "Halo Pendekar Biola. Kau baik-baik saja?" Tanya Bagaskara begitu mengangkat telepon.  "Ya, tentu saja. Aku adalah Laksmana. Lupakan! Di mana Naraya?" "Danyang mabuk asmara itu? Dia tidak di sini. Mungkin kembali ke rumah Airlangga? Aku sedang sibuk sekarang." "Kau ikut mengasuh anak-anak? Kau tidak mengajari mereka main game sepanjang malam kan?"  "Enak saja. Aku sedang membantu mereka beberes. Mereka akan pindah dari gedung tua ini." "Pindah?" Tanya Panji. Dia menatap punggung pamannya. Berharap nanti pamannya memberi alasan. Namun Bayu tetep memandang ke depan.  "Iya, kau belum dengar dari pamanmu itu? Asrama ini akan dipindahkan ke wilayah Pakubumi." "Tetapi kenapa Pakubumi? Bukan pusat kota?"  "Untuk apa memindahkan anak-anak ini ke kota. Mereka bisa ditindas lebih parah. Selain itu gadis permen itu keturunan Pakubumi."  "Candy anak Pakubumi? Kok bisa?"  "Mana kutahu. Tanya saja pamanmu." "Kenapa kau tak menyebut namanya. Dari tadi pamanmu terus?"  "Karena dia lelaki bajingan." Tuuuut. Telepon ditutup.  Setelah telepon ditutup, Bayu menoleh ke belakang. "Naraya tidak di sana ya?"  "Kenapa mereka dipindahkan? Apa yang sudah terjadi?" "Hmmm, mereka diserang musuh. Perlindungannya sudah rusak. Dan cincin pusaka Jaya sudah berpindah ke tanganmu. Jadi mereka tidak akan bisa bertahan di gedung itu lagi."  "Aku tinggal mengembalikannya kan?"  "Panji, cincin itu memilihmu. Kau tahu itu. Dia bisa berfungsi baik kan?"  "Iya memang, tapi" "Dina juga tidak akan menerimanya. Apalagi Candy ternyata anak Pakubumi. Maka dia juga tidak berhak akan cincin itu. Jadi kalau kau kembalikan, cincin itu menjadi pajangan saja. Lebih baik kau gunakan, lebih banyak gunanya daripada pajangan."  "Aku akan menurutku perkataanmu, Paman. Paman, apakah tidak ada cara untuk mengancurkan kutukan Laksamana?"  Sudut bibir Bayu berkedut. Dia tahu Panji mengkhawatirkannya. "Aku akan mencari tahu. Aku janji." "Kau tidak cocok dengan kutukan itu Paman." "Bukannya kau pernah mengatakan sebaliknya."  Panji tersenyum geli. "Melihatmu bersama Arunika. Sepertinya memperlihatkan sosokmu yang terbaik."  Bayu tidak bisa tersenyum. Dia menjadi sedih. Dan Panji menyesal menyebutkan nama Arunika ketika melihat ekspresi pamannya berubah sedih.  "Aku yakin dia baik baik saja. Karena bidadari melindunginya," sahut Aditya yakin.  "Aku harap juga begitu," kata Bayu. Katanya tidak sesuai dengan hatinya. Dia yakin Dewanti menyembunyikan Arunika di suatu tempat, karena kekuatannya menjadi lemah. Bayu yakin, efek dari menggerakkan tanah segitu besar. Mungkin saja dia tidak bisa bergerak atau terluka parah. Bayu memang tidak pernah melihat Danyang terluka. Tetapi dia yakin, Dewanti pasti melemah.  Apalagi dia mengeluarkan kekuatan tanpa persetujuan sekutunya. Bayu akan menyuruh Arilangga untuk melacaknya di hutan itu.  Bayu yakin Arunika masih ada di dalam hutan. Entah di bagian mana. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD