Rania mengamati wajahnya di cermin pagi ini, serta memantaskan pakaiannya. Ia mengenakan kaos abu-abu muda, dilapisi jaket biru yang cukup tebal, dan dilengkapi celana denim dongker, Rania siap memulai harinya.
Ia beranjak keluar kamar. Sarapannya belum diantarkan, Rania berpikir untuk makan di restoran saja. Namun, langkahnya terhenti saat melewati pintu kamar Dirga yang tertutup.
Semalam lelaki itu tidak pulang. Sejujurnya, Rania penasaran, sekaligus khawatir. Ia ingat kata-kata kakaknya, bahwa anak keluarga Kamajaya yang hendak menikah itu, punya sakit jantung. Sementara kemarin Rania sudah bersikap tidak ramah, dan bahkan membuat Dirga mengangkat kopernya yang berat. Ia tak mengira, di balik sosok gagahnya, Dirga mengidap sakit seberat itu. Tanpa disadarinya, Rania sudah berdiri di depan pintu kamar pria itu, menatapnya simpati.
Kemana dia semalam? Pikir Rania. Jangan-jangan, sakitnya kambuh...
"Brak!!" Sejurus kemudian tiba-tiba pintu pondok terbuka, mengungkapkan sosok yang secara tidak masuk akal terus menerus bercokol di pikiran Rania. Gadis itu memutar tubuhnya kaget.
"Dirga...!!" Mata Rania melebar. Dilihatnya Dirga sudah kembali, membawa nampan berisi sarapan pagi.
Gerakan Dirga juga berhenti saat membuka pintu, mengamati Rania yang tengah menatapnya seraya membelakangi pintu kamarnya. Sorot mata tajamnya sudah cukup menuduh tanpa banyak kata. Dan itu membuat Rania merasa wajib memberi penjelasan.
"Eh, i-tu.. a-aku..." Rania menoleh beberapa kali ke arah kamar sambil menunjuk-nunjuk pintunya gugup. "Kupikir kamu... ehem! A-aku tak mendengar suaramu. Apa kamu ke-siangan... atau sakit, yah, kesiangan sarapan... kamu... begitu..." suaranya mencicit.
Dirga mengangkat alis sekejap. "Oh, kupikir kamu hendak menggeledah kamarku," selorohnya sambil melepas sandal yang dikenakannya.
Rania bisa merasakan wajahnya memanas dan perutnya melilit. Ia sedikit malu mendengarnya, karena pernah memiliki pemikiran rendah seperti itu. Rania lantas tersadar, saat melihat nampan yang dibawa Dirga.
Rania segera menghampiri, merampas nampan dari tangan lelaki itu.
"Sini, sini, berikan nampannya padaku, kamu harus banyak istirahat, jangan sampai kenapa-kenapa!" ujarnya, membuat dahi Dirga berkerut keheranan pada perhatian gadis itu yang tiba-tiba.
Sebentar ramah, sebentar galak, sebentar kikuk, tiba-tiba perhatian. Gadis yang aneh... seharusnya tidak hanya KTP, apa Dirga juga harus minta surat keterangan sehat darinya?
Rania tampak berjalan ke meja makan. Dalam pandangan gadis itu, Dirga berubah menjadi sosok yang sangat lemah. Dia pikir harus banyak istirahat, dan jangan sampai terjadi apa-apa gara-gara keberadaannya. Apa yang akan terjadi, kalau sampai calon pengantin gagal menikah karena penyakitnya kambuh?
"Apa ada yang kamu pikirkan?" teguran Dirga kembali terdengar saat gadis itu meletakkan nampan di meja makan. Rania terkejut, ia sontak berputar.
Ternyata lelaki itu sudah berada lebih dekat dari yang dikiranya. Rupanya Rania tidak sempat menyadari Dirga membuntutinya serta hilangnya jarak di antara mereka saat pikirannya meracau barusan.
"Pikiranmu sepertinya sedang berkelana," Dirga sedikit geli, melambai-lambaikan tangannya di atas kepala Rania.
Oke, Lemon, bergamot, biji tonka, kayu guaiac... segar, maskulin, tenang.... pria ini pandai memilih parfum.... Oh, ya ampun! Apa yang kupikirkan! Rania tersentak dan menggeleng-gelengkan lagi kepalanya yang melantur karena aroma tubuh Dirga.
Rania mundur selangkah dari Dirga, hingga pinggangnya membentur meja makan. Piring berisi nasi goreng berkelontang karena beradu dengan sendok. Gerakan tiba-tiba itu membuat alis Dirga berkerut dan mengamati Rania penuh tanya.
Bagus. Lelaki itu mungkin sudah resmi menilai Rania aneh sekarang.
"Uhm, i-itu—semalam..." Duh, Rania! Kamu 'kan bukan anak SMP! Kenapa lidahmu kelu begini? Bukankah kamu kemarin sudah marah-marah dengan lancar kepadanya?
"Semalam? Kenapa? Ada sesuatu yang membuatmu takut selama aku pergi?"
Dirga tidak terdengar mengejek. Dia menatap Rania sungguh-sungguh. Tatapan tajam tapi peduli yang membuatnya mati kutu.
Apa dia selalu memberikan tatapan peduli seperti itu? keki Rania, saat jantungnya mengejang lagi ketika tatapan Dirga kembali ke matanya. Gadis itu segera membuang wajahnya.
"A-aku hanya bertanya-tanya, apa semalam kamu tidak tidur di sini karena aku?"
"Tidak juga," tanggap Dirga ringkas. Dan tidak ada lagi.
Rania mengangguk-angguk canggung. Demi Tuhan! Apa sebenarnya yang membuatnya begini kikuk dan gugup di depan lelaki itu? Dia tidak pernah mengalami yang seperti ini sebelumnya.
"Rania. Boleh aku memanggilmu begitu?" kali ini suara Dirga terdengar lagi. Sontak Rania mengangkat wajahnya dan, sialnya, wajahnya sangat panas. Pasti merah sekali.
"I-iya...?" mengantisipasi.
"Begini," Dirga mencondongkan tubuh tegapnya ke arah Rania. Dan...
K-kenapa wajah tampannya terasa semakin mendekat? Apa dia mau... hendak... me-men-menci- t-tidak mungkin! Tapi... Rania menggerakkan kepalanya ke belakang saat rupa menawan itu mendesaknya.
Ia bisa melihat garis anak-anak rambut halus di wajah lelaki itu dengan jelas. Takut-takut Rania memalingkan wajahnya sambil memejamkan matanya erat. Tidak mungkin, kan, lelaki ini bermaksud menciumnya!? Tapi Rania merasa ia mulai tidak bisa bernapas. Kedua tangannya terangkat, seperti hendak mendorong Dirga jika semakin dekat lagi.
"Bisakah?" Dirga memastikan.
"Jangan, Dirga!!" seru Rania menolak, bersamaan Dengan Dirga menyambung
"Bisakah kamu minggir sebentar? Aku mau mengambil kopiku."
Rania tertegun, "Apa?"
"Apa?" Dirga sama herannya.
Seketika wajah Rania semakin panas. Malu bukan kepalang. Rasanya ingin membenamkan dirinya ke dalam kolam dan sembunyi hingga menghilang atau menjadi buih seperti putri duyung. Tanpa bicara apa-apa Rania menggeser dirinya, merasakan hawa yang membuatnya merinding saat lelaki itu melaluinya.
"Kamu mau minum kopi milikku?"
"Ti-tidak, tidak," Rania mendengus malu, menggelengkan kepalanya kerap seraya menggeser tubuhnya.
Dirga menjangkaukan tangannya, meraih kopi dari atas nampan dan beranjak ke kamarnya.
"Iiisshh memalukan!!" desis Rania tanpa suara. Gadis itu menutupi wajah, rasanya ingin menangis. Ia harus mencari topik lain untuk menormalkan situasi. Gadis itu mengejar Dirga ke pintu kamarnya. "OH, YA! DI-DIRGA!!!" suaranya TERLALU keras.
"Ya!?" Dirga yang sudah berada di dalam kamarnya, terperanjat menoleh.
"K-kurasa hari ini, mungkin nanti siang, aku akan mencari penginapan lainnya."
Kedua alis Dirga berkedut tipis, terkejut. Setelah kemarin dia berkeras untuk tetap tinggal apa pun alasannya? Sekarang mau pergi begitu saja?
"D-dan, sampaikan maafku kepada temanmu yang semalam datang," imbuh Rania.
Aah.... Dirga mulai paham darimana keputusan Rania datang. "Kamu akan pergi ke mana?" Sekali lagi, entah kenapa cara bicaranya yang disampaikan biasa saja itu terdengar perhatian.
"Aku belum tahu pasti. Semoga saja aku bisa mendapatkannya hari ini." Bagus. Dia bisa mengalihkan pembicaraan dengan tepat.
Semoga saja Dirga tidak mengingat lagi kejadian memalukan di meja makan tadi.
Dirga mencondongkan tubuhnya sedikit, lengan kanannya terangkat, bertumpu ke bingkai pintu.
"Begini saja, masalah penginapan biar pegawaiku yang mencari. Jadi kamu tidak perlu kelelahan dan merusak rencanamu hari ini."
Rania benar-benar menyukai lelaki ini. "Oke, terima kasih."
"Jadi, apa rencanamu sekarang?"
"Uhm... tidak banyak." Tidak ada, tepatnya. Dirga masih menunggu dengan tatapan tajamnya yang hampir tak berkedip. "Mungkin, sarapan." Sudah jelas! Ia harus memberi jawaban yang lebih baik. "Yah, sejujurnya, aku belum punya rencana pasti," Rania menyerah. "Aku tidak akan pergi ke tempat yang jauh-jauh dulu, masih agak lelah. Nanti setelah mendapatkan penginapan, aku akan mulai dengan pelarianku."
"Pelarian?" Alis tebal Dirga terangkat, seraya menegakkan diri.
"Petualangan!" koreksi Rania cepat.
Satu sudut bibir Dirga tertarik, membentuk senyum misterius yang mendebarkan.
"Kamu datang sendirian, tanpa rencana. Kurasa jawaban pertamamu lebih masuk akal," simpulnya.
Rania tidak suka dibaca seperti itu. "Pelarian dari rutinitas," sanggahnya.
"Ya, ya... semua orang lari dari sesuatu," Dirga tampak menerawang.
Rania hanya mengamatinya dengan perasaan heran.
***
Rania menghirup udara sejuk yang berada di sekelilingnya. Sudah lama dia tidak merasakan udara sesegar ini menyusup ke paru-paru dan pori-porinya, menyebarkan ketentraman sekaligus semangat baru.
Sepanjang mata memandang, hanya ada pemandangan hijau dinaungi langit biru berhias awan putih. Sungguh memesona. Lukisan Tuhan memang tidak terkalahkan karya masterpiece mana pun.
Walaupun hari libur, banyak warga dan petani setempat tampak semangat bekerja di pagi buta. Tidak heran mereka terlihat begitu sehat b*******h jika setiap hari disuguhi udara dan pemandangan seindah ini. Warga sekitar juga sangat terbuka dan baik hati. Kepada siapa pun Rania bertanya, mereka selalu menjawab dengan ramah.
Dia bahkan sempat berbincang dengan salah seorang mandor. Darinya, ia tahu bahwa rupanya ada banyak unit usaha keluarga Kamajaya di wilayah ini. Dirga sebagai Manager Kebun, merupakan salah satu dari keluarga Kamajaya yang paling sering terlihat memantau di lapangan.
Setelah mendatangi pemandian air panas dan kebun strawberry, serta membeli sebungkus besar teh kualitas ekspor dari perkebunan teh Kamajaya, Rania memutuskan beristirahat di sebuah bukit. Di bawahnya, para wanita pemetik teh bercaping tampak masih sibuk dengan kegiatan mereka di sela-sela hamparan kebun.
Sudah menjelang sore, ia memutuskan untuk kembali ke pondok.
Mungkin anak buah Dirga sudah menemukan penginapan baru, pikirnya.
Dirga. Rania ingat lagi kepada lelaki itu. Jantungnya langsung berdebar-debar keras tanpa dikomando. "Hhhh..." ia menghela napas, kembali melangkah menyusuri jalan setapak di antara kebun teh. Sepertinya, bukan hanya Ciwidey yang berhasil mengalihkan kegalauan hati Rania dari masalah reuni, tetapi juga Dirga.
Hanya saja, Dirga mengantarkan kegalauan lain untuknya. Selain perasaan asing yang mengganggu, Rania terusik dan tidak nyaman dengan kenyataan dia terus menerus memikirkan lelaki yang sudah mau menikah. Tidak seharusnya Rania memikirkan seorang lelaki milik orang lain. Sekalipun dia adalah Dirga.
Terutama karena dia adalah Dirga. Pria asing yang masih sangat baru dikenalnya.
"AH!!! Adduuh!!!" keluhnya saat kakinya tiba-tiba terperosok ke sebuah kubangan lumpur. Rania berdecak. Sepatu kanannya sangat kotor hingga ke bagian bawah celana denimnya!
Kenapa tadi dia harus melamun hingga terkena kesialan ini?
Rania menoleh ke sana kemari. Beruntung, tidak jauh ada sebuah sungai mengalir. Sedikit tertatih-tatih Rania menuju ke sungai dengan air jernih tersebut. Ia meletakkan tas yang dibawanya, lalu membuka flatshoes biru mudanya yang kotor hingga ke dalam. Selesai dengan sepatunya, ia menjulurkan kakinya untuk dibersihkan.
Namun, saat Rania masih sibuk membersihkan kaki, sepatu yang ia letakkan terlalu pinggir, malah jatuh ke dalam aliran sungai. Ah, tidak! Kesialan lainnya!?
"Tu-tunggu!! Tunggu!! Aduh!!" Rania buru-buru berdiri mengejar sepatu itu dengan sebelah kaki telanjang. Aliran sungai yang tidak terlalu besar itu ternyata cukup deras untuk menyeret sepatunya. Gadis itu melihat sepatunya timbul tenggelam di tengah aliran sungai hingga terus menjauh. "Tidak, tidak! Jangan! Tungguuu!" seru Rania, seakan-akan sepatu itu akan menuruti perkataannya.
Rania baru saja akan memutus asanya saat sepatu itu akhirnya berhenti. Seseorang menangkap dan mengangkatnya dari sungai.
"Haaa.... Haaa....!" Rania lega sekali di tengah rasa lelah dan sesak di dadanya.
Tatapannya jatuh mengamati lelaki yang memungut sepatunya, kini berdiri tegak menjulang. Dia...
"Rania? Ini sepatumu?" tanya lelaki yang sedang memberi minum kudanya di sungai. Suara rendahnya yang lembut terdengar.
Dirga, dengan kemeja lengan panjang yang digulung tiga perempat, berdiri di tepi sungai seraya mengangkat sepatu Rania di tangannya. Kilauan sinar matahari yang jatuh di permukaan aliran sungai membuat lelaki tinggi dan gagah itu tampak lebih memesona.
Tanpa ampun.
Jantung Rania yang tengah berdebar sangat cepat itu tampaknya tidak ada tanda-tanda akan melambat.