Tamu Tak Diundang

1497 Words
Dirga membiarkan televisi bicara sendiri sementara dia sibuk dengan laptopnya, menganalisa data komoditas yang dipanen hari ini serta laporan masalah terkait lahan. Tiba-tiba sebuah ketukan terdengar dari pintu, membuat jemarinya seketika berhenti mengetik. Sejenak pandangannya terarah ke kamar mandi di mana Rania berada, sebelum kembali beralih ke pintu depan di mana tamunya menunggu. Pria jangkung itu beranjak. "Siapa?" Dirga mendekat menuju pintu. Tidak ada jawaban. Lelaki itu membuka pintu, sontak kedua alis tebalnya berkedut naik, tertegun saat mendapati di balik pintu berdiri gadis yang tengah dihindarinya. "Padma...?" "Kamu sedang apa di sini?" bibir gadis itu merajuk. "Kamu yang sedang apa di sini?" Dirga balik menuntut. "Kenapa tidak bilang kalau—" "Aku tidak harus mengatakan apa yang aku lakukan," potong Dirga tanpa intonasi. Padma terenyak akan tanggapan dingin lelaki itu. "Kenapa kamu terus bersikap begini?" "TREK!!" Perhatian keduanya teralihkan oleh suara pintu kamar mandi yang terbuka. Rania yang baru saja selesai mandi, spontan terperanjat saat mendapati ada tamu di pintu. Dan sepertinya... dia muncul di saat yang tidak tepat. Dirga terlihat agak canggung, sementara gadis di hadapannya... menatap penuh kejut, heran, tajam. Seakan-akan memberi tuduhan yang Rania tidak pahami. Matanya bergerak dari handuk yang digulung di kepala Rania pada setelan baju tidur batik yang dikenakannya, serta telapak kakinya yang telanjang. Tatapan gadis itu kembali naik dan menatap mata Rania yang masih membulat bingung. Rania menyeringai kikuk, salah tingkah sendiri. Dia merasa harus meluruskan sesuatu. Apa ia harus memperkenalkan diri? Rania hendak melangkah mendekat sambil mengulurkan tangan. "Aku—" Di luar dugaan, Dirga langsung menghalau niatnya. Lelaki itu bergerak ke hadapan Padma, memutar tubuhnya membelakangi Rania dan menarik cepat lengan tamunya pergi. "Ayo, Padma, kita bicara di luar." Tidak terbantah, gadis bermata sayu itu terseret. Keduanya beranjak tanpa berkata apa-apa kepada Rania yang hanya mematung di tempatnya. Gadis itu tertegun sejenak, ia lalu mengamati tangannya yang masih menggantung di udara, hendak bersalaman. "Ssh..." Rania meringis canggung, meremas-remas tangannya dan menurunkannya lagi. Sepertinya kemunculannya benar-benar tidak diharapkan. Ada apa ya? Pikirnya. Rasa heran dan penasaran belum beranjak dari kepalanya, hingga ia memasuki kamar. Siapa, ya, perempuan itu? Rania berdiri di depan kaca lemari pakaian, mulai menyalakan hair dryer sambil memikirkan adegan tadi. Ia yakin gadis ayu itu bukan salah satu pegawai cottage. Tiba-tiba, tangannya berhenti bergerak. Jangan-jangan... itu kekasihnya!? Kesadaran itu menghantam Rania. Bibir dan matanya kembali membulat. Ya, ampun! Tentu saja! Lelaki seperti Dirga mustahil belum punya kekasih! Kecuali kalau dia... ya... tahulah. Eh, tidak! Tidak! Rania menggeleng-gelengkan kepala keras, berharap pikiran yang kerap melantur lompat keluar dari kepalanya. Tanpa sadar Rania terduduk di tepi tempat tidur, mengembuskan napasnya. Yah, agak kecewa juga saat memikirkan bahwa Dirga sudah punya kekasih. Padahal, tadi dia sempat merasa seperti penggemar bertemu idola ketika melihat kerupawanan lelaki itu. Kagum tak berdasar. Rasa kecewanya segera berganti perasaan khawatir. "Sepertinya, aku sudah membuatnya salah paham," batin Rania. Tentu saja! Semua pasti salah paham jika melihat dua manusia berbeda jenis kelamin, berada dalam satu pondok--malam-malam, terlebih lagi... salah satunya baru selesai mandi dan keramas! Mata dan bibir Rania kembali membulat karena terkesiap. Aduuhh... bagaimana ini, bagaimana kalau dia sampai mengganggu hubungan orang!? *** Rania beranjak keluar kamar, di atas sebuah meja makan sudah tersedia hidangan makan malam untuknya. Capcay kuah dengan sayuran segar dan potongan daging ayam yang tebal. Teh serai hangat, nasi putih, acar, dan kerupuk, ada di nampan yang sama. Dia menolah ke arah sofa, Dirga belum kembali. Di atas meja masih ada barang-barangnya yang belum dirapikan. Lelaki itu terburu pergi tanpa persiapan. Rania menyuap capcay seraya mengingat perjanjiannya dan Dirga saat akhirnya setuju menginap bersama lelaki itu. Toh, mereka berdua memang tidak punya pilihan. Hari menjelang malam, dan semua penginapan penuh karena long weekend. Lagipula, Rania tidak harus membayar, cukup membiarkan Dirga di kamar yang satunya. Gadis itu bahkan mengirimkan foto Dirga melalui email pada kakaknya untuk menginfokan, "Jika ada apa-apa denganku, atau aku tidak bisa dihubungi dalam seminggu, cari orang ini. Namanya Dirga, pengelola penginapan Arghi Warni, Ciwidey. Katanya, semua orang di sini kenal dia." Belum ada tanggapan apa pun dari kakaknya, mungkin belum sempat buka email karena kesibukannya Sementara Dirga meminta KTP-nya untuk jaminan bahwa Rania: "bisa dipercaya, bukan buronan, bukan penipu, dan tidak akan macam-macam selama tinggal di penginapan." "Agar tidak ada salah paham, aku akan katakan kamu kerabatku," ujar Dirga tadi. "Kamu cukup memberikan keterangan yang sama. Lagipula, uang yang kamu bayarkan tidak kami terima. Jadi lebih masuk akal kalau aku bilang kamu masih kenalanku." Jika merasa tidak nyaman dengan keadaan ini, Rania bisa pergi kapan saja, dan Dirga akan memberikan ganti rugi atas penipuan yang dilakukan bekas anak buahnya. "Kita tidak perlu saling mengusik jika tidak ada yang penting, lakukan saja urusan masing-masing, Tapi jika kamu benar-benar memerlukan bantuanku, tidak perlu sungkan," tutup Dirga, sebelum menyerahkan kunci kamar Rania. Rania merasa, walaupun dia baru mengenal Dirga, sepertinya dia lelaki yang bisa dipercaya. Deg... Jantungnya melewati beberapa debaran dan sekali lagi otot tubuhnya menegang. Rania sedikit asing dengan cara dirinya berreaksi pada ingatan tentang Dirga. Biasanya, ia penuh curiga kepada lelaki yang baru dikenal. Apalagi, jika kejadiannya menjengkelkan seperti tadi. Tetapi, bukan karena semata-mata wajahnya yang rupawan, Ia merasa Dirga berbeda dari kebanyakan pria yang ia kenal. Entah cara Dirga menangani masalah dengan tenang, pembawaan yang begitu meyakinkan, atau karismanya yang tidak bisa dipungkiri. "Hhh..." Rania mengembuskan napas lesu, saat meletakkan piring yang sudah selesai dicucinya di atas rak. Baru tersadar bahwa dia sudah melalui waktu makan malamnya hanya sambil memikirkan Dirga. Tatapannya kembali beralih pada barang-barang Dirga di atas meja. Ia merasakan sesuatu mengusiknya. Biasanya, dia bukan gadis usil yang mau tahu urusan orang lain. Tetapi... Ia penasaran dengan kebenaran dugaannya bahwa mereka sepasang kekasih. Rania mendekati notebook Dirga sambil berjinjit seperti maling. Ada sebuah buku agenda yang terbuka serta beberapa dokumen bertumpuk di atas meja. Tidak apa-apa kan, aku mau tahu? Bagaimana pun, aku mungkin akan tinggal beberapa hari dengannya. Akan lebih baik jika aku tahu sesuatu tentang dia. Bagaimana... kalau dia sebetulnya orang berbahaya? Aku harus bisa mengantisipasi. Rania mencari-cari alasan untuk membenarkan kelakuannya yang kurang terpuji. Tanpa menghiraukan sopan santun dan sedikit melirik waswas ke arah pintu, Rania membolak-balik halaman buku tersebut. Ada beberapa catatan kegiatan dan lain sebagainya. Di halaman depan buku agenda tertera nama lelaki itu. "Abimanyu Dirga Kamajaya" dan data kontaknya. Kamajaya... Sepertinya, dia sempat membicarakan soal nama ini beberapa waktu lalu. Rania terkesiap, ingat obrolannya dan Renjana. Apakah Dirga putra keluarga Kamajaya yang 'itu'? Keluarga pengusaha agrobisnis yang perusahaannya sangat banyak meliputi berbagai usaha dari hulu ke hilir di bidang pertanian, kehutanan, perikanan dan peternakan? Sejujurnya, Dirga tidak terlihat seperti pewaris perusahaan sebesar itu. Tetapi, tidak dapat dipungkiri lelaki itu tampak berwibawa dan berkarisma walaupun berpenampilan cuek. Ahh... mungkin itu dia! Pasti aura Dirga yang membuat Rania sempat merasa 'tersihir' saat melihatnya. Pandangan Rania beralih ke jendela dan perlahan beranjak ke sana, mengintip sambil mengira-ngira, kemana dua orang itu pergi. Ternyata, keduanya ada di gazebo, tampak bicara serius. Berdekatan. Ada rasa tidak nyaman saat melihatnya. Rania lantas teringat kata-kata Dirga yang tadi sempat tertangkap telinganya. "Ayo, Padma, kita bicara di luar." Padma... Kamajaya... Rania menyipitkan mata, berpikir. Dua kata itu seakan mengusiknya, mengingatkannya kepada... Teratai merah! Itu dia! Rencana pernikahan putra keluarga Kamajaya yang menginginkan dekorasi disertai bunga padma! Apa benar itu ada hubungannya dengan dua orang berbeda jenis yang sekarang sedang berduaan di malam yang dingin ini? Rania melihat jaket Dirga terpasang di tubuh Padma. Rania melipat bibirnya dan meremas tirai jendela. Sepertinya benar. Jadi, Dirga sudah akan menikah, dengan gadis itu? Padma. Rania tergemap. Ya Tuhan! Apa yang dilakukannya? Tinggal bersama tunangan orang lain dan calon pengantin perempuan datang menangkap basah keberadaannya! "Srrtt..!!" Cepat Rania menutup tirai dan berjalan resah ke kamarnya. Merasa khawatir dia sudah menyebabkan masalah. Haruskah dia menghampiri mereka dan meminta maaf? Walaupun sepertinya mereka akur-akur saja, Rania masih khawatir jadi penyebab keduanya bertengkar. Nanti dia akan meminta maaf dan mencari tempat baru secepatnya. Rania juga harus mengingatkan dirinya agar tidak dibuat terpesona oleh Dirga lebih jauh lagi. Berada di tengah-tengah pasangan yang bertunangan benar-benar bukan keinginannya. Dia paling mengerti luka seperti apa yang bisa ditimbulkan dari keberadaan pihak ketiga, pada pasangan yang sudah berniat menikah. *** "Jadi, dia adik temanmu? Cantik, ya..." Padma bergumam mengutarakan pendapatnya tentang Rania. "Kebetulan aku pernah berjanji jika dia datang ke Ciwidey bisa tinggal di penginapan kami. Tetapi, penginapan sudah penuh dan belum bisa menemukan penginapan yang lain." Padma membisu, menahan cemburu karena Dirga tidak membantah pujiannya pada paras gadis itu. "Dirga, aku lapar..." Padma terdengar manja. "Temani aku makan, ya..." Tiba-tiba Padma menggenggam tangan Dirga erat. Dirga mengejat, melepaskan genggamannya. Gadis itu tampak terpukul. "Dirga, kenapa kamu terus menghindariku? Sampai kapan kamu akan melakukan ini kepadaku?" Padma kembali bersikukuh menggenggam tangan Dirga lebih erat. "Padma, lepas! Nanti ada yang melihat! Semua tahu kamu tunangan kakakku!" "Kalau aku tidak peduli, bagaimana? Kalau aku mau semua orang tahu bahwa aku bersamamu, bagaimana? Aku mencintaimu. Aku tidak bisa kehilanganmu!" Dirga mengeratkan rahang, melepas paksa tangan Padma darinya. Rasa gelisah itu tidak kunjung berkurang, malahan menyerang hatinya semakin garang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD