Akhirnya. Setelah menempuh perjalanan berjam-jam dan mendaki perkebunan teh dengan ojek motor warga, sampai juga Rania di cottage yang sudah dia sewa untuk meliburkan diri dan berpetualang di Ciwidey. Rania sempat menyesali kenapa dia bersikukuh naik travel dan menggunakan transportasi umum serta menolak tawaran Renjana untuk meminjam mobilnya.
Memang, ia tidak ingin siapa pun tahu di mana dia berada saat ini. Sama seperti ketika pernikahannya kandas, Rania sempat melarikan diri ke Jogja selama dua minggu sebelum kemudian muncul di hadapan keluarganya yang khawatir setengah mati.
Kali ini Rania kabur dari serangan telepon dan sms teman-temannya yang memaksanya hadir di acara reuni. Ia beralasan sudah punya rencana penting—dan dengan mendadak, segera merencanakan acara pelarian berkedok liburan ini. Dia hanya harus melakukan beberapa aktivitas seru lalu memotret dan mengunggahnya di sosial media untuk meyakinkan bahwa dia tidak bohong tentang liburannya yang sangat penting dan terencana.
Ciwidey yang berjarak 40 KM dari pusat Kota Bandung, menyambutnya dengan pesona alam yang luar biasa, Rania tersenyum kagum, merasa sudah tepat memilih lokasi. Apalagi, ada banyak objek wisata di tempat ini yang bisa menjadi pelarian. Namun, karena saat ini musim liburan sekolah sekaligus long weekend, Rania sempat kesulitan menemukan tempat menginap sesuai yang diinginkannya, sampai dia menemukan cottage yang sekarang akan ditempatinya.
Cottage yang terletak di bukit dengan pemandangan kebun teh ini memiliki desain tradisional. Bangunannya didominasi konstruksi kayu bercat cokelat. Di halaman depan dan belakangnya terdapat sebuah gazebo. Di dekat sana juga terdapat kolam ikan yang menyejukkan dengan miniatur air terjun kecil buatan dari bebatuan dan bambu yang menenangkan.
Rania sudah jatuh cinta saat melihat cottage ini ditawarkan di website penginapannya. Dia sangat puas saat melihat langsung lokasi dan pondoknya, juga pemandangan indah di sekelilingnya.
Rania menoleh ke sana kemari, mencari orang yang bisa ditemuinya. Di sekitar pondok tidak terlihat siapa-siapa. Hanya terdapat beberapa bangunan penginapan yang jaraknya cukup berjauhan, juga tampak sepi saja. Ia memutar tubuhnya ke arah jalan menanjak darimana ia tadi datang. Tiba-tiba tatapannya tertumpu pada sesuatu yang bergerak mendaki dengan cepat di tengah hamparan kebun teh.
Mata Rania membulat dan tak sadar bibirnya pun tak lagi rapat.
Seseorang di atas kudanya tampak mendekat menuju pondok tempat Rania berdiri. Rambut lelaki itu berkibar diayun angin yang bertiup dari arah berlawanan.
Caranya berkuda terlihat mahir. Rania tidak ingat kapan ia pernah melihat seseorang berkuda segagah sekaligus seanggun itu. Kuda hitam yang juga tak kalah gagah membawa pengendaranya mendekat ke arah Rania yang masih terpesona.
Tidak jauh dari tempat gadis itu, si lelaki membuat kudanya berhenti dan meringkik. Secara otomatis, Rania terlonjak, mundur selangkah karena terkejut dan waspada.
Dengan lincah lelaki itu turun dan menjejakkan kaki jenjangnya.
Rania tidak sadar bahwa sedari tadi matanya terpaku pada sosok lelaki itu, yang kini juga menatapnya.
Ia mengenakan kemeja kotak-kotak kombinasi merah putih bergaris hitam dan celana jeans hitam serta sepatu model bot di atas mata kaki. Langkah pangjang dan tegapnya menjejak mantap di jalan beralas batu alam. Sebelah tangannya menggenggam tali kekang sementara tangan lainnya menyisir rambut berantakkannya ke belakang, memamerkah dahi dan cambang di tepi telinga, sambil mengamati Rania.
Wajah sempurnanya terlihat. Alis tebal memanjang rapi, membingkai matanya yang dalam dan agak menyipit dengan pupil berkilat tajam. Hidung mancung lurusnya, mendominasi bagian tengah wajah, mengantar pada bibirnya yang tegas dan penuh.
Entah karena kehadirannya yang dramatis atau karena penampilannya yang tidak banyak Rania lihat selama ini, gadis itu bisa merasakan jantungnya mengalami percepatan teratur karena keberadaan pria itu.
"Ada yang bisa dibantu...?"
Rania baru menyadari, bahwa sedari tadi dia tidak lepas mengamati lelaki bertubuh kokoh itu. "Ah! A—!" Rania merasakan tenggorokannya kering, susah payah ia menelan ludahnya, sembari mengulurkan tangan. "Karaniya, panggil saja Rania," cerocosnya, gugup dan formal, mengedipkan matanya yang juga terasa kering berkali-kali.
"Dirga." Lelaki itu mengulurkan tangannya. Telapak lebarnya yang sejenak membungkus telapak Rania terasa hangat. Sangat hangat di tengah udara yang begitu dingin saat ini. "Saya pengelola tempat ini. Ada masalah apa?" Dirga mengikatkan tali kekang kudanya pada pagar kayu berpola pion catur yang menghiasi pondok.
"Saya penyewa pondok ini," gadis itu menerangkan dengan senyum ramah.
Dirga mengamati gadis bermata bening itu. Rambut ikal hitamnya digulung dan diikat sekenanya. Seperti dirinya, wajah gadis itu berkeringat. Pipinya yang agak bulat tampak merona seperti bayi. Alis lurusnya memberi kesan melankolis, tapi bibir orange yang berkilau itu selalu tersenyum, membuatnya terlihat ceria dengan mata membulat.
Rania merogoh ke dalam tasnya. "Beberapa hari lalu saya sudah transfer." Ia menyerahkan bukti di tangannya.
Dirga mengamati bukti transferan ATM itu sambil mengerutkan dahi.
"Kami mohon maaf sebelumnya. Tapi sepertinya ada kesalahan. Kami tidak pernah menerima transfer atas nama rekening pribadi." Dirga menerangkan dengan tenang dan jelas. "Kalau sudah booking, pembayaran melalui virtual akun dan pemesanan langsung terkonfirmasi. Tapi, pondok ini sedang tidak dibuka untuk penyewaan."
Wajah Rania langsung pucat. "Maksudnya...?"
"Sepertinya ada penipuan. Penginapan kami sudah penuh untuk long weekend ini—"
"Lalu, ini?" Rania memutar tubuhnya menunjuk cottage di belakangnya.
"Ini tidak disewakan karena sedang kutempati," terang Dirga. Mata bulat Rania menatap Dirga penuh tanya karena pernyataannya itu.
"Lalu sekarang bagaimana?" desak Rania. "Aku memesannya melalui website penginapan kalian. Aku juga menghubungi email yang tertera di sana." Ia bersikukuh. "Kalian harus bertanggung jawab!" tuntutnya. Dia tidak bisa membayangkan, di hari menjelang malam seperti ini, tanpa tujuan jelas, di tempat asing, sendirian. Apa yang harus dilakukannya?
"Begini, orang ini, Triasmoro," Dirga mengangkat bukti transfer itu, "memang pernah menjadi tim marketing kami. Tapi dia sudah diberhentikan sekitar sebulan lalu karena masalah yang sama; penipuan. Kami sudah mengumumkan di beberapa media bahwa yang bernama Triasmoro sudah tidak ada kaitannya dengan penginapan kami. Sepertinya dia membuat website palsu. Kami akan menindaklanjuti hal ini. Walaupun begitu, kami akan mengganti semua kerugian uang yang sudah kamu bayarkan."
"Lalu aku harus ke mana sekarang?" Kali ini Rania terdengar putus asa.
Dirga termenung sejenak. "Nanti saya akan meminta orang membantu mencari penginapan lain." Walaupun sejujurnya, ia tidak yakin bisa mendapatkannya dalam waktu dekat.
Alis gadis itu bertaut, mulai geram. "Kamu mengerti tidak, di mana masalahnya?" Bibirnya mulai terasa membeku. "Bukan hanya masalah uangnya, tapi aku-sudah-tertipu, oleh oknum pegawaimu! Aku sudah jauh-jauh datang dari Jakarta, menyeret koperku yang berat ini sendirian, susah payah mendaki ke atas sini, di udara sangat dingin seperti ini, dengan tubuh lelah begini, terus sekarang—"
"Kami menyesal—"
"Kamu tidak tampak menyesal," tukas Rania tajam dan sangat keki, perasaan terpukul membuatnya galak.
Dirga tertegun. Gadis ini jelas tidak memberinya kesempatan memperbaiki kesalahan yang bahkan bukan dari pihaknya. "Lalu, maumu bagaimana?" Ia berusaha sabar.
"Aku mau menginap di sini!" Rania menunjuk cottage dengan tegas. "Sampai lima hari ke depan!"
"Lima hari? Tapi," Dirga mengamati Rania yang bersikukuh. "Sudah saya katakan, cottage ini sedang saya tempati dan memang sedang tidak disewakan."
"Kalau begitu, kenapa tidak kamu saja yang keluar?" Ia mengangkat dagu menantang, mencoba membelalakkan mata agar terlihat lebih sangar seperti antagonis di sinetron.
Alis Dirga terjungkit oleh kekeraskepalaan Rania dan bagaimana gadis itu tidak mau mengerti. "Ini tempat tinggalku." Kali ini Dirga mempertegas suaranya. "Cottage ini hanya disewakan jika aku tidak ada. Jadi, selama aku ada di sini, cottage ini tidak disewakan."
"Aku tidak mau tahu!" timpal Rania. "Mungkin kamu memang bersekongkol—"
"Sudah kukatakan aku bisa mengganti uangmu!" Dirga mulai kehilangan ketenangan karena tuduhan yang tiba-tiba itu.
"Ck!" Rania berdecak, lalu mendengus melipat wajahnya. Sepertinya dia memang sudah ditipu. Tapi tetap saja, dia tidak mau nasibnya terkatung-katung. Sendirian.
Terlebih lagi, dia sudah sangat lelah!
"Dengar ya, aku tidak mau tahu! Apa kamu tidak bisa mengalah? Kamu saja yang keluar mencari penginapan lain, aku sudah membayar—"
"Tapi kami juga tidak menerima uangnya," timpal Dirga. Dia melangkah mendekat. Tubuh jangkungnya terasa mengintimidasi. "Jika kamu menerima uang ganti, kamu tidak rugi apa pun. Justru kami yang mengalami kerugian karena penipuan ini."
Rania maju selangkah, mengepalkan tangan dan mendongak. "Tetap saja! Aku punya bukti bahwa yang meminta uang itu mengatasnamakan penginaphaa... ha! HAA! Hatsyii!!!" Tiba-tiba ia bersin sangat keras. Matanya membulat melihat sebagian air liurnya mendarat di leher pria itu. "Ah! Ya, ampun... maaf, maaf...!"
Dengan cepat Rania mengusap-usap jejak bersinnya di baju dan dagu Dirga. Dia merasa konyol sekarang karena hanya mengenakan celana jasmine denim tiga perempat dengan atasan blus putih polkadot lengan pendek—tanpa jaket atau hanya sekadar cardigan.
"Sudah, sudah, tidak apa-apa, tidak apa... a-pa..." Dirga menggenggam tangan Rania.
Terasa sangat dingin. Perlahan ia menurunkan tangan gadis itu.
Keduanya berpandangan. Seketika gerakan Rania macet. Rasanya semua bagian tubuhnya menjadi kaku hanya karena mata tajam Dirga menatapnya begitu dekat. Berlainan dengan bagian tubuhnya yang lain, jantung Rania malah mengalami percepatan.
"Kamu sendirian?" tanya Dirga dengan nada lebih halus.
Rania mengangguk perlahan, tidak sanggup bicara
Keduanya masih bertatapan. Telapak Dirga yang kukuh masih menghangatkan sebagian lengan Rania yang digenggamnya. Ada yang aneh. Sesuatu membuat Rania merasa tertarik kepada lelaki itu.
Sesuatu.
Rania tidak bisa menjelaskan karena baru kali ini dia bertemu pria yang menurutnya menarik dengan cara yang tidak pernah dirasakannya sebelumnya.
Dan, rasa kedekatan di antara mereka ini...
Rania mengamati Dirga yang tampak tercenung, memikirkan sesuatu.
Mentari semakin merendah di ufuk barat. Malam mulai menjelang. Mencarikan penginapan bagi Rania akan sedikit menyulitkan.
"Baiklah." Dirga melepaskan pergelangann tangan Rania. "Sepertinya kamu kedinginan. Masuklah dulu."
"Baiklah..." Rania dengan cepat menyetujui.
Dirga meraih koper Rania yang besar dan memang berat itu. Sekarang ia bisa membayangkan bagaimana gadis berpipi merona itu membawa-bawa koper besar tersebut sendirian. Lelaki itu mengeluarkan kunci dari saku celana dan membuka pintu.
"Masuklah," ajaknya pada Rania yang membuntuti. Ia meletakkan koper Rania di lantai berkeramik cokelat yang dihiasi karpet abu-abu gelap, dilengkapi satu set sofa hijau model L yang tampak nyaman.
Rania bisa merasakan perubahan suhu yang lumayan hanya dengan memasuki pondok. Setidaknya, angin dingin yang merayapi kulitnya sudah tidak begitu menggigit lagi.
"Apa nanti akan ada lagi yang datang selain kamu?"
"Tidak..." Ragu-ragu Rania mengamati punggung lelaki itu. Dirga pengelola tempat ini. Jadi, tidak mengapa dia mengatakan keadaan sesungguhnya, kan?
Dia tidak akan berada dalam masalah hanya karena ini, bukan?
"Pernah ke daerah sini sebelumnya?" Sekali lagi Rania menggeleng saat Dirga beranjak menuju sebuah pintu yang terkunci dan membukanya. "Coba kamu lihat kamarnya dulu."
Rania mendekat dan mengamati kamar yang Dirga perlihatkan. Kamar berukuran 3x3. Di dalamnya terdapat tempat tidur queensize, sebuah meja yang bisa digunakan untuk bekerja atau berrias dan lemari pakaian. Tidak seluas kamarnya di rumah, tetapi sudah mencukupi kebutuhannya, dilengkapi sebuah jendela besar dengan pemandangan indah.
"Aku sudah melihat semua fasilitas cottage ini sebelum aku memesannya." Rania kembali mendongak kepada Dirga yang berdiri di dekatnya.
"Jadi kamu mau tidur di sini?"
"Tentu saja!"
"Baiklah," putus Dirga kemudian. "Kamu bisa tidur di sini."
"Eh, benar?" Mata Rania membulat riang tidak percaya. "Terus kamu?"
"Aku tidur di sana," Dirga menunjuk pintu kamar yang satunya.
Mata Rania semakin membulat karena terkejut. "HAH!? Jadi, aku, kamu... ki-kita..." telunjuk Rania bergantian menunjuk dadanya sendiri dan Dirga.
"Ada masalah?" tanya Dirga, datar.
***