Undangan Reuni

1182 Words
Setahun Kemudian   Dengan cekatan Rania memeriksa bunga yang berada di dalam mobil box, lalu memberi tanda bunga-bunga itu siap dikirimkan. Mobil box bertulisan Maharani Florist itu meluncur pergi. Ia lalu menghubungi Renjana yang sedang sibuk mempersiapkan resepsi pernikahan yang akan diselenggarakan besok. “Lili dan Mawar Putih sudah meluncur.”. “Oke, Ran. Nanti makan malam, yuk, ada seafood baru yang enak. Mumpung anak-anak lagi ikut Mama jalan-jalan,” ajak Renjana, yang langsung disetujui adiknya. Rania menutup sambungan sambil menghela napas lega. Menyediakan 50 lusin bunga lili dan 50 lusin mawar putih impor bukan perkara gampang. Apalagi pengantin perempuannya mudah sekali berubah pikiran. Rania beranjak mengamati aneka bunga segar yang terpajang di toko bunga miliknya. Salah seorang pegawai tampak tengah membungkus tangkai-tangkai mawar dan memberinya pita untuk dijajakkan oleh para pedagang eceran. Setelah memerintahkan pegawainya untuk menyemprot bunga-bunga agar tetap segar, Rania dengan cepat meraih tas di atas meja, hendak pergi ke bank sebelum terlanjur tutup. Sesuatu terjatuh saat Rania menarik tasnya. Gadis itu tertegun, membungkuk meraihnya. Kartu undangan reuni. Seketika perut Rania mulas melihatnya. Ia tidak berlama-lama memandangi dan segera memasukkan kartu itu ke dalam tas.   ***    “Pelan-pelan, Kak…” Dirga membantu kakaknya duduk di tempat tidur yang telah disiapkan. Raka mengidap sakit jantung. Sudah beberapa kali ia menjalani operasi dan belakangan tiba-tiba kondisinya melemah lagi. Dokter menyarankan Raka beristirahat total di lingkungan yang lebih sejuk dan asri. Akhirnya, Raka memilih beristirahat di Bandung. Lemah Raka menggerutu pahit tentang kondisinya. Belum genap tiga puluh tahun tetapi sudah seperti manula. Napasnya berat padahal dia hanya diam di atas kursi roda. “Mas jangan bicara begitu,” Padma berusaha membesarkan hati calon suaminya. “Nanti Mas pasti bisa pulih seperti dulu.” Lembut ia mengusap tangan Raka. Pria itu membalas dengan decakan lemah. Dirga mengamati pemandangan itu, menelan ludahnya pahit. “Biar aku ambilkan air untuk obat.” Beranjak langkahnya menuju dapur. Sejenak hanya terdengar suara air mengalir dari dispenser, saat sebuah teguran lemah lembut menyebutnya dari belakang. “Dirga…” Dirga menoleh, mendapati sosok Padma yang matanya selalu teduh, kali ini tampak risau. Sosok langsing berparas ayu itu mendekat. Dirga mengalihkan pandangannya kembali pada gelas di tangannya. “Biar aku saja yang bawakan airnya.” Padma meraih gelas di tangan Dirga, menggenggam punggung telapak lelaki itu. Hanya sepersekian detik berlalu dalam ketegangan. “Biar aku saja!” Dirga mengentakkan tangannya, bermaksud segera beranjak. Padma dengan cepat menarik bagian belakang kaos lelaki 183 cm itu. “Dirga!” Dengan cepat gadis itu memeluk Dirga dan terisak di punggung tegap calon adik iparnya. Dirga mengembuskan napas gusar. Hatinya tersayat pengkhianatannya sendiri. Dia bukan membenci Padma, melainkan dirinya. Hal yang wajar jika seorang Padma lebih bertumpu pada kepastian, sehingga lebih memilih Raka setahun yang lalu. Tetapi, hatinya yang tidak kunjung melupakan gadis itu, bahkan malah berkomplot mengkhianati kakaknya, adalah sisi Dirga yang paling dia benci dari dirinya sendiri. “Padma, lepas!” desis Dirga tegas. “Kenapa kamu bersikap dingin belakangan?” desak Padma tanpa melepas pelukannya. “Kumohon, beri tahu aku. Apa kesalahanku?” “Tidak ada,” tukas Dirga dingin. “Kamu tidak pernah salah. Semua salahku. Sekarang, lepaskan. Kakak sudah menunggu.” Dirga melepas paksa lengan Padma dari pinggangnya dan melangkah pergi. ***   “Kamu tahu grup Kamajaya?” Renjana yang mengurus wedding organizer keluarga mereka bercerita mengenai calon klien baru. “Rencananya pernikahan diselenggarakan enam bulan lagi dan pestanya akan diadakan besar-besaran.” Rania merasa sering mendengar walaupun tidak memperhatikan siapa tepatnya mereka. “Putranya hendak menikah. Katanya perempuannya dari kalangan biasa saja. Pasti seperti kejatuhan bulan bisa menikah dengan pewaris Kamajaya.” Renjana melahap potongan lobster yang akhirnya berhasil dia bebaskan dari cangkang keras dan tebal. “Wah, Kakak benar-benar harus berterima kasih sama Yoga yang sudah berniat menggandeng WO kita.” Rania tidak banyak menanggapi. Masalah pernikahan masih membuatnya alergi. Itu sebabnya ia tidak ikut terlibat dengan usaha WO keluarganya. Jika saja Rania bukan pecinta bunga dan harus meneruskan usaha toko bunga neneknya—yang memang salah satunya tidak lepas dari acara pernikahan, mungkin Rania sudah memilih usaha lain. “Kamu juga harus membantuku, Ran,” Renjana yang ceriwis bicara lagi setelah menelan potongan kenyal nikmat daging lobster. “Mereka ingin ada bunga khusus di pesta itu. Teratai merah.” “Teratai merah?” Rania mengibaskan rambut ikalnya yang hitam pekat. “Padma?” “Ya, itulah,” Renjana menggerakkan garpu tidak acuh. “Kamu bisa membantu, ‘kan? Sepertinya keberadaan teratai merah itu sangat penting, karena pihak mereka menekankan berkali-kali ingin ada teratai… padma itu!” Rania mengangguk-angguk seraya berpikir dalam, kemana dia harus mencari pemasoknya. Baru kali ini dirinya mendapat pesanan bunga teratai merah untuk pernikahan. Kakaknya yang lima tahun lebih tua itu tampak bersemangat dengan pesta pernikahan yang digadang-gadang akan jadi salah satu proyek terbesarnya. “Tapi katanya, calon pengantin prianya sakit-sakitan, sudah beberapa kali dioperasi dan sekarang sedang sakit lagi.” Renjana kembali bercerita. “Omong-omong, apa kamu benar-benar sudah merasa puas, hanya bekerja di toko bunga?” gadis itu menatap prihatin. “Ayolah Ran… sudah setahun, apa kamu masih trauma dengan pernikahan?” “Baru setahun,” koreksi Rania. Ia menghabiskan waktu lebih dari empat tahun menjalin kasih bersama Aditya sebelum lelaki itu mengkhianatinya di ujung perjalanan cinta mereka. “Tidak semua lelaki seperti Adit. Ada banyak lelaki yang setia.” Renjana meyakinkan. Rania tutup mulut. Tindakan yang menyatakan banyak hal. Dia enggan membicarakan dan membahas masalah itu, dan Renjana mengerti. “Yah, kamu masih muda,” sebuah senyum maklum terukir di wajah Renjana. “Kamu akan berubah pikiran setelah bertemu pria yang tepat.” “Hm,” tanggap Rania pendek. Setelah tragedi pernikahannya, Rania kerap kabur dari lelaki manapun yang mendekatinya. Bahkan, ia masih membuang jauh-jauh bayangan pernikahan dari benaknya. Herannya, setelah tahu Rania gagal menikah, tidak sedikit bekas teman kuliah dan rekan kerja yang coba menghubunginya. Padahal, gadis itu tahu benar tidak sedikit dari mereka yang sudah berpasangan. Ukh! Dia benci laki-laki pengkhianat. “Omong-omong, kamu mau datang ke reuni?” Renjana mengalihkan pembicaraan. Rania agak tersentak dengan topik barunya. “Oh, itu… Aku mau liburan ke Bandung. Sudah lama aku merencanakannya dan aku sudah booking penginapan.” Ia memasang senyum penuh harap agar kakaknya tidak curiga dan bertanya macam-macam. “Bandung? Kamu mau kabur?” Renjana memberikan tatapan kenapa-tidak-bilang-bilang kepada Rania. “Memangnya mereka juga datang?” Suaranya  lebih perlahan dan hati-hati. Rania bermaksud memasang wajah terkejut dan pura-pura tidak tahu maksud perkataan kakaknya, tetapi gagal. Hanya wajah datar namun salah tingkah yang bisa ditampakkannya.  “Aku sudah lama merencanakan dan sangat menantikan liburan ini, Kak,” bohong Rania. “Sudah lama aku tidak berlibur. Lagipula, tidak ada yang menarik di reuni.” Semua temannya sudah tahu Rania gagal menikah. Dicampakkan pada hari pernikahan. Dengan hati dan wajah seperti apa ia harus menghadapi mereka? Membayangkannya saja kedua kaki Rania terasa lumpuh. Apalagi, jika sampai bertemu Adit dan Sasti di sana. Sendirian. Mimpi buruk. Selama ini Rania berusaha keras menganggap kehidupannya baik-baik saja dan ‘normal’. Datang ke pesta reuni itu, akan membuat semua puzzle kenormalan yang belum selesai dia susun itu luruh berantakan lagi. Tidak. Dia tidak sanggup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD