Berawal di Sini

1029 Words
Dua Minggu Kemudian Jogja, 2013 Rania mengamati pemandangan malam Jogja di hadapannya. Sudah hampir dua minggu berlalu sejak kejadian pahit itu menimpanya. Rania ingat sekali betapa terpukul dirinya dan betapa malu keluarganya menjelaskan pada tamu yang datang bahwa pernikahan dibatalkan. Ibunya tak henti-hentinya menangis, bahkan sempat histeris dan membua kehebohan. Rania sendiri hanya sanggup terdiam lemas di kamarnya. Tidak makan. Tidak berperasaan. Ponselnya langsung dipenuhi berbagai pesan dan panggilan tak terjawab. Rania tahu semua bersimpati kepadanya. Tapi dia sedang tidak butuh itu. Dia butuh sendirian. Dia butuh berduka, menangisi diri, dan tenggelam dalam kesedihannya. Dua hari setelah pernikahannya gagal, gadis itu akhirnya memutuskan untuk pergi. Menyepi. Hanya meninggalkan pesan seadanya pada keluarganya. Minta waktu membereskan hatinya, menemukan dirinya lagi. Gadis itu lantas menghabiskan cuti bulan madunya berpetualang di Jogja. Di sinilah dia sekarang, berjalan-jalan di tempat-tempat wisata yang ramai. Berusaha keras mengalihkan pikirannya dari semua hal yang membebaninya. Rania bisa melihat kehidupan banyak orang, menikmati berbagai seni budaya warisan leluhur yang masih terpelihara dengan baik. Tidak lupa ia juga mengunjungi objek wisata dan istana.  Semua itu Rania lakukan sendirian di siang hari, sambil mengabaikan semua panggilan dan pertanyaan juga rasa kasihan yang mampir di ponselnya. Hingga akhirnya dia pulang ke hotel di malam hari. Merasakan kembali kesakitan dan kesepian itu menggerogoti hati dsan pikirannya. Rania tidak bisa melakukan apa pun selain menangis lagi. Bahkan saat pagi menjelang dan Rania membuka matanya, tetesan airmata itu yang pertama kali mengalir tanpa diminta.Seakan-akan baru saja terjadi, ia bisa mengingat semua rekaman itu dengan jelas di benaknya. kembali berputar tanpa ampun dan tak bisa dihentikan. Perutnya akan bereaksi, sesuatu mengganjal bergerak naik ke dada dan tenggorokanya, mendesak, menyesak. Lantas air matanya kian deras. Tetapi setidaknya, semakin hari, perasaannya kian ringan. Meskipun kemudian, selama dia mengabaikan kehidupannya di Jakarta, Rania harus membayarnya cukup mahal. "Rania, pulang... Ibu sakit." Itu adalah pesan yang dikirimkan kakaknya, berulang-ulang ke ponselnya dan sempat tertangkap matanya. Rania terpekur, menyadari bahwa bukan hanya dia saja yang sakit. bahwa dia seharusnya memperlihatkan betapa kuat dan tegar dirinya, sehingga tragedi itu tidak lagi memakan korban selain dirinya. Setelah memutuskan bahwa dia sudah cukup kuat untuk mencoba memulai lagi, Rania membuka email kantornya. Sebuah pemberitahuan muncul di sana. Email dari HRD perusahaannya. Rania menghilang tidak ada kabar, lebih lima hari dari cuti yang diambilnya. Pelariannya berbuah pemecatan. *** Jakarta, 2013   “Apa kamu marah dengan keputusanku?” Padma sempat memberanikan diri bertanya kepada Dirga. Keduanya berada di sebuah café milik Dirga dan temannya yang terletak di daerah Kemang. Itu adalah kesempatan pertama yang mereka miliki untuk berduaan setelah ia kembali dari Australia. “Kenapa aku harus marah?” tanggap Dirga datar. Kontradiktif dengan ucapannya, kesan hangat sama sekali tidak tampak dari lelaki yang tengah menyesap rokoknya itu. Dirga bukan perokok berat, hanya ada dua hal yang membuatnya merokok, kedinginan di alam terbuka dan perasaan resah. Jelas saat itu Padma bisa melihat alasan mana yang membuat Dirga merokok. “K-karena kupikir… kita, sudah lama dekat dan… mungkin… kamu marah karena, karena aku tidak mengatakan apa-apa mengenai lamaran Mas Raka dan—“ “Kakak juga tidak mengatakan bahwa dia menyimpan perasaan terhadapmu. Aku tidak marah kepadanya, jadi, aku juga tidak harus marah kepadamu,” ucapnya sinis. Ia mematikan rokoknya dengan kejam dan beranjak. “Kurasa sudah cukup bicaranya, aku harus pergi.” “Dirga, tunggu! Dirga!” Padma menyusul lelaki jangkung itu ke tempat parkir. Padma menghambur, menahan lengan Dirga yang tengah mengenakan helm, hendak menaiki motornya. “Dirga, tolong! Jangan pergi dulu!” Padma tidak tahan Dirga mendiamkannya, apalagi hendak meninggalkannya begitu saja. “Dirga…” lirihnya. Gadis itu merasakan matanya panas dan berkaca-kaca, lalu airmatanya jatuh begitu saja. Air mata kejujuran yang mengatakan betapa dia takut kehilangan lelaki itu. Dirga tertegun, mengamati Padma lekat dengan tatapan terkejut. Gadis itu menangis lagi karenanya? Di luar tampilannya yang mengesankan sikap tidak acuh, Dirga sebetulnya tidak pernah sanggup melihat airmata wanita, terutama ibunya dan… Padma. Padma sempat magang di perusahaan keluarga Dirga saat menyelesaikan kuliah. Gadis itu juga sempat bekerja di sebuah perusahaan kecil di Bandung sebelum kembali ke Jakarta. Raka sendiri yang meminta Padma untuk menjadi sekretarisnya. Sekarang sudah hampir dua tahun gadis itu bekerja sebagai sekretaris Raka yang merupakan Direktur Keuangan di salah satu perusahaan Kamajaya yang bergerak di bidang agrobisnis. Dan rupanya, menjalin kedekatan tak biasa juga dengan putra sulung Kamajaya itu. “Dirga, aku tahu… Aku tahu aku salah tidak pernah terbuka mengenai kedekatanku dengan Mas Raka. Tapi aku—aku juga tidak mengira Mas Raka begitu serius kepadaku. Dia sangat baik, sangat perhatian… Aku tidak bisa mencari alasan untuk menolaknya. Aku tidak sanggup menyakiti perasaannya, apalagi Mas Raka juga dekat dengan ibu,” isak Padma yang berhati halus. Dirga menunduk, menendang getir kerikil di ujung sepatunya. “Selain itu, kamu—dan aku… kita, kita tidak pernah membicarakan masalah ini sebelumnya. Aku tidak tahu bahwa keputusanku itu akan menyakitimu—“ “Memang tidak,” sanggah Dirga, berusaha tegas, tetapi dusta. “Tapi itu menyakitiku…” lirih Padma, menatap Dirga penuh permohonan. “Saat melihatmu di bandara, aku langsung tahu aku sudah membuat kesalahan. Yang aku cintai bukan Mas Raka,” suara Padma yang halus kali ini terdengar serak. Dirga bisa merasakan jantungnya berdebar kuat karena cara Padma menatap dan berucap. Sesuatu yang Dirga tidak begitu pahami terasa memenuhi dadanya dan mengisi kepalanya, hingga ia hampir tidak sanggup berpikir. “Yang kucintai itu kamu, Dirga. Jika aku teringat bahwa aku akan kehilangan kamu, aku—a-aku…” Dadanya sesak oleh sesal dan kepedihan. Tidak sanggup lagi bicara. Perlahan gadis itu mendekat dan menyurukkan wajahnya di dada bidang Dirga. Lelaki itu masih bungkam. Seluruh kata tertelan rasa terkejutnya. Akhirnya kata itu terucap di antara mereka: Cinta. Kata-kata yang mungkin telah lama mengendap dan tumbuh di hati keduanya namun tidak pernah mereka ungkapkan. Sekarang dia tahu, dia terlalu naif. Dirga selalu berpikir bahwa kata-kata bukan hal penting, saat perbuatan telah mengungkapkan semua. Karena itulah ia yang tidak begitu pandai mengungkapkan perasaan berupa kata tidak pernah melontarkannya kepada Padma. Dan karena sebuah kata yang terlambat diucapkan, Padma akhirnya menjadi tunangan Raka, kakaknya. Hanya perbuatan yang dapat Dirga gunakan menyampaikan isi hati. Lelaki itu menurunkan helmnya, dan balas memeluk Padma. Memulai pengkhianatan mereka. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD