Pertemuan Keluarga

2527 Words
Rania masih tidak habis pikir, bagaimana dia sekarang bisa duduk di samping Dirga, untuk mengunjungi keluarga lelaki itu. Saat Rania memutuskan kabur ke Bandung, ia tidak mengira keputusannya akan berakhir seperti ini. Ia benar-benar tidak percaya ke mana semua kekacauan ini mengarah. Baru tiga hari dia mengenal Dirga dan sekarang Rania akan menghadiri pertemuan keluarganya. Mobil Dirga memasuki pekarangan sebuah rumah besar bergaya kolonial. Pegawai yang membukakan pagar mengatakan bahwa semua sudah menunggu Dirga. Jantung Rania berdegup keras dan tangannya yang bengkak berdenyut lagi. Ia tidak percaya, sekarang dia harus berhadapan dengan calon mertuanya—ukh, bukan calon mertua. Tapi, orang tua kekasihnya—uhmm... juga bukan kekasihnya! Tetapi kenapa dia harus terseret-seret dalam perasaan gugup yang membuat perutnya mengejang karena akan berhadapan dengan orang tua dari lelaki asing yang baru dikenalnya? "Tenang saja. Cukup menjadi dirimu apa adanya, kalaupun mereka tidak menyukaimu, apa resikonya?" bisik Dirga saat lengan kokohnya melingkar di pinggang Rania. Ya. Apa resikonya? Toh, tetap saja, ini hubungan palsu yang tidak berawal dari mana pun dan tidak akan beranjak ke mana pun. "Dirga!" sambutan hangat Bu Kamajaya terdengar. Wanita anggun dengan kulit yang halus terawat. Untuk usia pertengahan awal 50-an, Bu Kamajaya terlihat sangat cantik. Perhatiannya beralih kepada Rania yang diperkenalkan putranya itu. Gadis itu mencium tangan Bu Kamajaya seperti yang Dirga lakukan sebelumnya. "Teman Dirga?" Bu Kamajaya mengurai senyum ramah. Dirga melingkarkan lagi tangannya dan menyentuh bahu Rania mesra. "Teman dekat." Air muka Bu Kamajaya tampak terkejut, lalu berubah cerah. "Kekasihmu!?" Dirga menoleh sejenak kepada Rania dan kembali tersenyum hangat. "Wah! Kabar bagus! Akhirnya Dirga punya pacar! Wah! Pasti yang lain juga tidak sabar mendengarkan cerita kalian," tukasnya riang. Ternyata Bu Kamajaya wanita yang hangat dan ramah. Ia bahkan jauh dari bayangan Rania tentang wanita kelas atas yang selalu mendongak dengan rambut sasak super tinggi dan kipas yang selalu berkibar di dekat wajahnya. Rania cukup lega dengan sambutan hangat itu. Memasuki ruang makan, dengan riang Bu Kamajaya mengabarkan—dengan suara cukup keras—bahwa Dirga datang dengan kekasihnya. Rania tersenyum sehangat yang dia bisa. Bayu Kamajaya berusia menjelang 60 tahun. Agak pendiam—atau mungkin karena Rania belum terlalu mengenalnya, dan tampak berwibawa. Sekarang Rania bisa tahu dari mana Dirga memperoleh karismanya. Raka Bumi Kamajaya duduk di atas kursi roda modern dengan penggerak roda di sandaran lengannya. Raka sebetulnya pria tampan. Tetapi wajahnya sangat tirus dan redup. Sekarang Rania tahu, Raka-lah putra Kamajaya yang sedang sakit itu. Anak sulung itu juga pria yang hangat, tampak dari senyum yang coba disuguhkannya di tengah air muka yang pucat itu, juga tatapan matanya. "Akhirnya, Dirga membawa kekasihnya juga," Raka masih sempat menggoda. "Kami sempat mengira Dirga akan menghabiskan waktunya dengan teh, cabe, jagung—" "Astra, Kanaka, Tirta... Kucing, burung, ikan..." imbuh Bu Kamajaya. Anggota keluarga itu tertawa, termasuk Dirga. Rania bisa menangkap bahwa pria di sampingnya ini memiliki kecintaan pada alam dan makhluk hidup. Karena itulah dia memiliki sifat penyayang dan lembut di balik sosoknya yang gagah maskulin. "Dan ini..." Dirga memperkenalkan Rania kepada Padma yang mengulurkan tangannya. Kedua kalinya hari ini. "Padma, tunangan Kak Raka." Rania berujar, "Kita sudah bertemu, 'kan? Di Ciwidey?" Kesenyapan sesaat. Hawa panik yang menyeruak tiba-tiba dari Padma dan Dirga membuat Rania menyadari ia melontarkan pernyataan yang salah. "Kamu ke Ciwidey, Padma?" tanya Raka dari atas kursi rodanya. "Oh, ya," timpal Dirga. "Tadi pagi, aku meminta tolong Padma membawakan flashdisk yang ada padanya. Aku lupa kamu dan Padma sudah berkenalan," ia berkata kepada Rania, dengan lirikan penuh kode. Rania tidak berkata apa-apa lagi dan duduk di kursi yang Dirga tarik untuknya. Dirga duduk di sampingnya, Padma duduk di hadapannya dan Raka duduk di samping Padma. Hubungan Dirga dan Rania menjadi topik hangat. Rania tidak banyak bicara dan membiarkan Dirga mengambil alih semua tugas menjelaskan perihal 'hubungan' mereka. Dirga mengatakan kali pertama bertemu Rania di Jakarta dan kerap berkomunikasi. Kebetulan Rania menyewa cottage di Ciwidey—tanpa menyebut masalah tinggal bersama. "Jadi kamu menyewa cottage kami?" tanya Bu Kamajaya. "Semoga kamu merasa puas." "Pelayanannya sangat memuaskan," Rania memberi pengakuan. "Rania juga adik pemilik WO yang hendak menangani pernikahan Kak Raka dan Padma. Dia mengelola toko bunga yang biasa mensuplai kebutuhan WO kakaknya." "Oh... toko bunga, pantas saja Dirga menyukaimu. Aku tidak mengira kebersamaan yang intens dalam beberapa hari bisa membuat Dirga jatuh hati kepadamu," cetus Raka. "Ya... masalah hati siapa yang tahu, bukan?" Bu Kamajaya tersenyum. Rania balas tersenyum. Suasana makan malam cukup menyenangkan walaupun ia tidak nyaman jika melihat Padma di hadapannya dan Dirga di sampingnya, dan melihat keadaan Raka yang rapuh. Ada rasa muak dalam dirinya karena menyadari situasi sesungguhnya. Ia bersimpati kepada Raka. Tega sekali kedua orang itu mengkhianatinya. Rania lalu mengamati Bayu beberapa kali. Sepertinya, Bayu kurang berkenan dengan kehadirannya. "Ma, nanti setelah makan aku dan Rania mau jalan-jalan sebentar." "Wah... akhirnya Dirga malam mingguan," goda Raka jahil. Dirga tertawa. Rendah dan menyenangkan. Rania meyakini Dirga memang memiliki hubungan hangat dengan keluarganya dari cara mereka berinteraksi. Lantas, kenapa? Kenapa Dirga tega mengkhianati Raka? Sebuah fakta yang sangat menohok. Dirga lalu menjelaskan bahwa Rania berencana menghadiri acara reuni di kampusnya dan akan mencari pakaian untuk menghadirinya, karena gadis itu belum membawanya. Mereka khawatir jika besok pulang dulu ke rumah Rania, tidak akan sempat. "Kalau begitu nanti Rania tidur di sini?" tanya Mama. Hampir saja Rania tersedak mendengarnya. "Tidak, Ma, Rania katanya tidur di hotel saja," terang Dirga. "Loh... kok tidur di hotel? Di sini saja banyak kamar kosong. Biar nanti Mama minta Bi Yem bersihkan kamarnya dulu," tukas Nyonya Puspa. "Bagaimana, Ran?" Entah kenapa lelaki itu selalu terdengar begitu tulus dan perhatian. Padma mengamati Dirga dari balik alisnya. Menahan iri dan cemburu pada sasaran perhatian Dirga. Rania mengamati Padma. Menyadari mungkin itu alasan dari perhatian Dirga. Lelaki itu sengaja bersikap hangat hanya karena ada Padma di hadapan mereka. Akhirnya Rania mengangguk. "Ya... kalau tidak merepotkan." "Tentu tidak," sambut Bu Kamajaya. Ia lalu menoleh pada putra bungsunya. "Nanti, sekalian antarkan juga Padma ke rumahnya, ya?" Rania yang menekuri makanannya melirik kepada Dirga. Lelaki itu hanya mengiyakan singkat. Rania benar-benar gerah berada di tengah-tengah suasana seperti ini. Sebagai pihak yang tahu segalanya namun berpura-pura tidak tahu apa-apa, sungguh membuatnya gelisah. Ia merasa bersalah, sudah membohongi orang-orang itu mengenai hubungannya dan Dirga *** Setelah makan malam, Raka diantar Padma kembali ke kamarnya, sementara Rania, membawakan piring ke dapur. Walaupun sudah dilarang, gadis itu bersikukuh. "Padahal tidak perlu repot-repot," ujar Dirga, saat Rania meletakkan piring ke wastafel dan dibantu olehnya. "Aku sungkan kalau diam saja. Tidak biasa serba dilayani begitu," ujar Rania, yang hanya disambut senyum tipis Dirga. "Kalian hanya berdua?" "Tidak, masih ada adik perempuanku, Aghni. Kebetulan dia sedang jalan-jalan dengan temannya. Dia masih SMA. Nanti kapan-kapan kukenalkan." Rania tertegun, "Nanti? Tidak ada nanti-nanti! Memangnya kita mau pura-pura berapa lama?" tukasnya. Gadis itu berusaha memutar mengelilingi Dirga, namun tanpa sengaja kakinya malah terantuk kaki meja. Rania terpekik, limbung ke depan. Gadis itu menutup matanya ngeri, namun lengan kokoh Dirga menangkap pinggangnya dan berhasil menahannya jatuh. "Hah... hah...!" Rania terengah-engah dalam pelukan lelaki itu. "Kamu tak apa-apa?" tanya Dirga tanpa melepaskan pelukannya. "Kali lain hati-hati, rasanya aku tidak pernah bertemu gadis seceroboh kamu," akunya, sarat khawatir. Rania tidak berkata apa-apa, mendadak kehilangan kata-kata. Ia hanya bersandar pada lengan kukuh itu sambil berusaha mengembalikan keseimbangannya. "Te-terima kasih," ucapnya, mendongak dan bertatapan dengan kekasihnya. Susah payah gadis itu berusaha menelan ludahnya, saat tatapan Dirga tak juga beranjak darinya. Hingga tiba-tiba, Dirga menangkap sosok di ambang pintu dapur. Dia tampak terkejut, dan menjaraki dirinya dari Rania. Gadis itu menoleh, mengarah ke arah yang sama. Di sana ada Padma, wajahnya agak pucat mengamati pemandangan sepasang kekasih baru itu. Dia terlihat kikuk, matanya panas dan terasa berkaca-kaca. "M-maaf, aku tidak tahu kalau kalian... ada di sini..." ucapnya, gemetar. Padma menatap Dirga perih, lalu berbalik pergi. Rania memutar tatapannya pada Dirga. Sepertinya, pria itu ingin menahan Padma, tetapi urung. "Kamu mau mengejarnya?" tanya gadis itu tajam. Dirga menelan ludahnya, menatap Rania, lalu menggeleng. "Ayo, kuantar beli baju buat reuni besok," ajaknya, lalu beranjak meninggalkan Rania. Gadis itu menggigit bibirnya tipis dengan perasaan tidak menentu. *** Sepanjang perjalanan mengantar Padma, mereka bertiga tidak banyak bicara. Sesekali Dirga bicara kepada Rania tentang berbagai hal. Mengenai pembangunan yang dilakukan walikota Bandung, misalnya. Kebiasaan para mahasiswa yang ramai-ramai mengamen dan sebagainya. Rania—masih canggung dengan keberadaan Padma, tidak banyak menanggapi. Dia malah merasa risih harus pura-pura tidak menyadari apa yang ada di antara Padma dan Dirga. "Omong-omong—" Belum selesai Dirga bicara, tiba-tiba, sebuah motor yang melaju tanpa menggunakan lampu muncul dari belokan. "Dirga, Awaaaasss!!!" seru Rania yang duduk di samping Dirga. Dirga terperanjat, spontan menginjak rem. Rania juga terkejut dan sempat terpekik, demikian pula Padma. Mobil itu berdecit, mengerem mendadak. Ketiga penumpangnya terhenyak ke depan. Pengemudi motor itu berlalu tanpa menghiraukan dosanya. Sontak Dirga menoleh. "Padma!! Kamu tidak apa-apa!?" Terdengar sarat khawatir. Padma yang masih terkejut tampak menunduk syok. Dirga menyentuh dahi wanita itu. "Kepalamu tidak apa-apa? Ada yang terbentur?" Ia terdengar lebih panik dari biasanya. Padma menggeleng. "T-tidak, aku tidak apa-apa." Wajah piasnya menatap Dirga. Rania termangu mengamati pemandangan itu. Dirga yang khawatir, mengusap dahi Padma yang duduk di kursi belakang. Dan wanita itu, mengamati Dirga penuh harap. Rahang Rania mengetat. Perasaannya campur aduk. Kesal, pahit, muak. Tidak berapa lama Dirga tersadar. Gerakan tangannya terhenti. Ia menarik tangannya dari Padma. "Baguslah jika kamu tidak apa-apa..." perkataannya hampir menggumam. Saat Dirga berbalik, barulah kali ini tatapannya mendarat kepada Rania. "Kamu baik-baik saja?" Rania merasakan hatinya tertusuk saat tatapan mereka bertemu. Entah ia bisa menyembunyikan rasa nyeri di matanya atau tidak. "Tanganmu, sakit tidak?" Dirga menyentuh lengan Rania. Rania mengejat, menarik lengannya dalam sekali sentak dari Dirga. "Aku baik-baik saja." Sama sekali tidak ramah. Rania tahu seharusnya dia tidak bersikap begitu. Dia tahu seharusnya dia berpura-pura tidak tahu. Tetapi dia tidak bisa! Perhatian dan rasa sayang Dirga kepada gadis yang duduk di jok belakang sangat nyata, dan itu terasa mengaduk-aduk perutnya. Kenapa rasanya sesakit ini? Berada di dekat pasangan ini membuatnya sangat muak. *** "Mau mampir dulu?" ajak Padma dengan ramah saat tiba di rumahnya. "Kami buru-buru, kali lain saja," Dirga menimpali basa basi itu. Padma tersenyum, mengucapkan kata terima kasih dengan lembut dan melambaikan tangan, mengantar keduanya—mungkin hanya Dirga—dengan matanya, hingga menghilang. "BUG!!" Rania memukul lengan Dirga yang liat. Lelaki itu terlonjak, "Apa-apaan sih kamu!?" "Kamu yang apa-apaan!?" bentak Rania meninggikan suaranya dan melotot marah. "Bagaimana bisa kamu bersikap mesra kepadanya sementara aku ada di sini!?" "Hah!? Aku tidak bersikap mesra!" bantah Dirga. "Tidak-bersikap-mesra!?" Rania melotot kesal. "Yang tadi apa? Mengusap dahinya seperti itu!" Ia menghempaskan punggung ke sandaran jok dan kembali menggerundel. "Untuk apa kamu memintaku berpura-pura menjadi kekasihmu, kalau kamu bersikap seperti tadi? Kamu tidak mengacuhkanku, dan malah lebih memedulikannya! Yang benar saja! Kamu tidak memikirkan harga diriku? Aku sangat tersinggung kamu mempermalukanku terang-terangan di depannya. A-aku... aku ini ceritanya kekasihmu!! Tidak bisakah kamu menghargaiku!?" "Ya. Tapi kita hanya berpura-pura, kenapa kamu benar-benar marah? Kamu cemburu?" "CEMBURU!? Kamu ngigo ya!? Aku hanya minta kamu menghargaiku! Dia—Padma, mengira aku kekasihmu! Tetapi jelas kamu lebih mengkhawatirkan dia ketimbang aku." Perkataan Rania terputus, saat tiba-tiba tenggorokannya tercekat. "Kamu sudah mempermalukanku," tandas Rania, gemetar, mengatur suaranya benar-benar agar perasaannya tidak tampak lebih dari sekadar rasa kecewa. Dirga menelan ludah. Dia memang spontan berreaksi seperti itu. Ia tahu, dengan peran yang mereka jalankan sekarang, tidak seharusnya Dirga tidak menghiraukan Rania. "Aku khawatir, karena Padma duduk di belakang dan tidak memakai sabuk pengaman." "Sudah diam!" tukas Rania judes. Belum sehari, pertengkaran sudah berkali-kali menghiasi hubungan palsu mereka. Dirga menghela napas. Rania memang berhak marah. Gadis itu sudah mau terseret masalahnya, namun Dirga malah melakukan sesuatu yang membuatnya jengah. "Baiklah, aku minta maaf." "Kalau aku tidak marah, kamu pasti tidak sadar, kan!?" Rania berdecak, masih tidak puas. Dirga menghempaskan napas tidak sabar. "Jadi maumu apa?" "Tidak ada!" Dirga mengeratkan rahang. Tidak pernah ia berjumpa gadis sesulit Rania. Selalu saja uring-uringan, seakan-akan ia yang baru mengenalnya, sudah mempunyai dosa besar kepadanya. Suasana di antara mereka berdua menegang seiring waktu berlalu. Lama tidak ada yang buka suara. Keduanya bersikukuh dengan diamnya mereka. Lampu merah. Ban mobil Dirga berhenti berputar. Walaupun telah beranjak malam, suasana di jalanan Bandung masih meriah diisi nyanyian pengamen, gelak tawa gerombolan anak muda, juga para penjaja bunga. "Kak, bunganya, kak?" tawar seorang gadis penjaja bunga pada Dirga. Di keranjangnya terdapat bunga-bunga mawar potong yang dikemas per tangkai. Dirga mengamati bunga-bunga itu sejenak lalu membeli dua tangkai dan membayar lebih. "Terima kasih, Kak!" ucap gadis itu riang. "Mudah-mudahan hubungannya awet, ya, Kak!" serunya sebelum beranjak. Rania cukup tersentuh dengan kebaikan Dirga. Ya, dia tahu Dirga lelaki baik. Hanya saja, jika "DIRGA" sudah ditambah "PADMA", itu menjadi kombinasi paling menyebalkan. Dirga meletakkan dua tangkai bunga mawar itu di pangkuan Rania. Lampu hijau. Mobil kembali melaju. Rania tercenung, mengamati kedua kuntum bunga itu. Mawar Kuning. Rania menoleh kepada Dirga. Apa lelaki itu tahu arti dari Mawar Kuning? "Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud mempermalukan atau menyinggungmu tadi. Aku akan lebih mawas diri saat ada kamu dan dia." Kamu. Dan dia... Seharusnya tidak ada 'dia' setelah 'kamu'. Rania menelan ludahnya. Permintaan maaf. Awal yang baru. Itulah sebagian arti Mawar Kuning. Rania meraih bunga di pangkuannya, meletakkannya di dashboard. "Perlu lebih dari ini," tukasnya. Kedua alis Dirga terlonjak. Gadis ini memang tidak segan-segan dan benar-benar sulit. Lampu merah. Mobil Dirga berhenti lagi. "Selamat malam, Kak..." sapa dua orang pengamen sambil mengangguk. Keduanya mulai bernyanyi lagu ciptaan mereka saat Dirga tidak mengusirnya. "Kang, bisa lagu yang lain? Saya berikan ini, kalau lagunya bisa membuat dia senyum dan tidak marah lagi," potong Dirga, menunjukkan nominal uang yang cukup besar. Pengamen itu mengamati Rania yang sedang cemberut dan tampak mendelik saat mendengar perkataan Dirga. "Oh, ada, ada, Kang," tukasnya semangat. Kedua pengamen itu mulai bernyanyi. "Lama sudah tak kulihat kamu yang dulu kumau... Kadang ingat kadang tidak bagaimana dirimu... Teh, senyum dong teh." Pengamen itu merayu. Masih berwajah kesal, Rania melirik kepada Dirga. Lelaki itu balas menatapnya. "Kau cantik hari ini... Dan aku suka... Kau lain sekali... Dan aku suka. Teh, senyum dong teeeh..." bujuk pengamen itu lagi. Hati Rania mencelos. Perasaan marahnya goyah, meluntur. Ia melirik kepada Dirga yang tampak menikmati nyanyian mereka. Akhirnya Rania tersenyum juga. Antara terpaksa karena tidak tega kepada pengamennya, juga karena memang sudah terbujuk. "Nah, tetehnya sudah senyum..." cetus pengamen itu senang. Dirga ikut tersenyum lebar. "Terima kasih Kang, semoga sukses." Ia memberikan selembar uang, memotong nyanyian mereka. "Sama-sama Kang, sukses juga sama tetehnya," timpal mereka, yang disambut tawa renyah Dirga. Pipi Rania menghangat. Lelaki itu meraih kembali kedua tangkai bunga mawar kuning di atas dashboard dan menyodorkannya kepada Rania. Gadis itu mengamati bunga mawar kuning tersebut, lalu wajah Dirga yang tidak banyak berekspresi. Tidak menghiba, atau menyesal, tetapi sorot matanya tampak tulus. Rania bisa melihat, Dirga memang tidak bermaksud menyinggungnya. Gadis itu menjulurkan tangannya menerima bunga mawar itu. Permintaan maaf Dirga. "Jangan diulangi!" tegas Rania, menekankan dengan menggerakkan mawarnya ke arah Dirga. Senyuman samar lelaki itu adalah balasannya. Lampu kuning. Lampu hijau. Dirga menjalankan mobilnya perlahan. Keduanya kembali menyusuri keriuhan kota Bandung di malam minggu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD