Dirga mengintip Padma pergi dari sana. Dia menghela napasnya berat, namun lega. Saat dia berbalik, didapatinya Rania memberengut dengan satu alis terangkat kesal kepadanya.
"Apa-apaan itu tadi?"
"Maaf," Dirga melalui Rania. "Suara apa itu?" Ia mengalihkan pandangannya ke arah kamar mandi yang mengeluarkan suara gemuruh.
Rania membalik badannya, menyeru punggung lelaki jangkung itu.
"Hei, kamu sudah melibatkanku! Setidaknya, jelaskan apa yang sebenarnya terjadi."
Dirga kembali berbalik menghadap Rania. "Kupikir kamu tidak mau tahu."
"Ya! Itu, sebelum kamu mengaku-ngaku bahwa kita pacaran! K-kenapa kamu mengatakan kebohongan itu?" tuntut Rania.
Dirga menatap Rania lekat. Lantas matanya bergerak ke sana kemari sebentar sebelum dia berdecak. "Baik. Akan kukatakan. Kamu berhak tahu karena aku sudah memanfaatkanmu."
"Benar. Dan aku tidak suka dimanfaatkan, terutama oleh seorang pengkhianat!"
Dirga mengetatkan rahang. Sangat gusar tiap kali Rania menyebutnya seperti itu.
"Kuakui, aku memang memiliki kedekatan yang tidak seharusnya dengan Padma. Tetapi, ini semua tidak seperti yang kamu kira." Rania masih menatapnya judes. Dirga kembali menjelaskan, "Aku memutuskan untuk mengakhirinya, tetapi Padma masih keberatan. Karena itu, aku membutuhkan alasan untuk menegaskan keputusanku jadi kukatakan aku sudah punya kekasih. Kamulah orangnya. "
"Kenapa harus aku!?" alis Rania berkerut.
Pernah berpikir lelaki di hadaannya seseorang yang menarik adalah satu hal, bersekongkol membohongi orang lain dengannya adalah hal yang berbeda.
"Karena hanya ada kamu, karena kamu tadi tiba-tiba muncul saat aku sedang mengatakan itu semua, jadi aku spontan..."
Mungkin, jika setidaknya Dirga mengatakan karena Rania gadis yang menarik dia tidak akan sekecewa ini. Tetapi karena MUNCUL saat Dirga sedang mengarang soal kekasihnya?
"Bagus kalau benar kamu akan mengakhirinya. Sebenarnya itu semua juga tidak ada hubungannya denganku." Rania berpaling dan beranjak. "Aku mau mandi. Ah, ya," ia memukul dahinya sendiri. "Kerannya lepas, bisa kamu betulkan? Aku mau pulang sekarang."
"Kurasa tidak."
"Kamu tidak bisa membetulkan kerannya? Kalau begitu apa kamu bisa meminta tolong—"
"Kurasa kamu tidak bisa pulang sekarang," tukas Dirga. "Setidaknya, tidak hari ini. Kemarin Mama menghubungiku dan memintaku ke rumah. Karena Padma sudah mengira kamu adalah kekasihku, maka kurasa aku juga harus mengajakmu ke sana."
Rania membulatkan matanya. Waswas. "Apa maksudmu?"
Dirga mendekat, mencengkeram kedua bahu Rania dengan tangannya yang lebar dan kukuh. "Aku minta tolong kepadamu, sampai Kakak, Mama dan Padma pergi ke Singapura, kamu tetaplah jadi kekasihku."
"Apa?" Rania melongo.
"Hanya kamu yang tahu mengenai aku dan Padma. Lagipula, hanya beberapa hari."
"Ya, dan karena aku tahu maka aku tidak mau terlibat dalam pengkhianatan ini lebih dalam!" Rania mengibaskan tangan Dirga dari pundaknya.
"Aku membutuhkanmu, Ran, untuk mengingatkan aku dan Padma bahwa apa yang kami lakukan itu salah."
Rania mendekatkan wajahnya kepada Dirga dan menatapnya tajam. "Hanya diperlukan akal sehat untuk mengetahui pengkhianatan itu salah, Dirga."
Dirga memasang wajah dingin. "Apa kamu pernah punya kekasih, Ran? Jatuh cinta? Apa saat itu kamu menghitung segala sesuatu dengan akal sehat?"
Rania menelan ludahnya. Dia pernah hampir menikah. Dan ia tidak tertarik membicarakan kisah cintanya.
"Aku meminta bantuanmu, agar aku bisa mengakhiri ini semua. Dan sebagai ucapan terima kasihku, jika ada yang kamu butuhkan dariku, katakan saja."
"Aku tidak membutuhkan apa pun darimu," Rania membuang muka, tetapi suaranya melemah. Ia memang tidak bisa menolak jika ada orang yang membutuhkan pertolongannya.
Rania terpekur dalam pemikirannya. Jika benar Dirga sungguh-sungguh ingin menghentikan semua pengkhianatannya, bukankah seharusnya Rania mendukung?
"Aku tidak meminta banyak. Hanya beberapa hari saja. Sebagai balasannya, aku akan membantumu menikmati liburan. Gratis. Dan setelah kamu pulang Senin nanti, mungkin kita tidak harus memperpanjang cerita ini. Aku hanya memerlukan beberapa fotomu di ponselku dan aku bisa bilang kamu sudah pulang ke Jakarta. Setelah Kak Raka ke Singapura, mereka tidak akan ingat lagi soal kamu dan aku."
Rania mengamati Dirga yang tengah membujuknya. Ia menggigit bibirnya risau.
***
Keduanya hampir tidak bicara saat mobil yang dikendarai Dirga menyusuri jalanan aspal Ciwidey. Pada akhirnya Rania memang setuju dengan tawarannya. Dua hari keberadaannya di pondok ini tidak lebih dari sebuah bencana. Ia harap, menerima tawaran Dirga bisa memperbaiki semua kesialannya. Lagipula, dia hanya berpura-pura menjalin kasih dengan Dirga selama dua tiga hari saja. Lalu semua selesai.
Anggap saja, ini pelarian yang dia niatkan sejak awal. Dia menjadikan Dirga pelariannya, dan begitu pun sebaliknya. Dirga menjadikannya sebagai pelarian. Walaupun itu bukan berarti, cara pandangnya terhadap Dirga berubah.
"Jadi, ada yang ingin kamu ketahui?" Dirga memecah hening, rambutnya melambai diayun angin dari arah jendela yang terbuka.
Rania yang sedari tadi masih tidak banyak bicara, menoleh.
"Sudah berapa lama kamu dan dia berselingkuh?"
Pegangan Dirga mengerat di kemudi, begitu juga rahangnya. Yang ingin ia bicarakan adalah objek wisata. Bukan masalahnya. "Kamu tidak akan membiarkannya begitu saja, ya?"
"Kamu yang meminta tolong kepadaku. Jadi, jelaskan semuanya kepadaku agar aku tidak merasa begitu bodoh saat berhadapan dengan perempuan itu. Kamu tahu, diselingkuhi bukan hanya masalah perasaan yang dikhianati, tetapi juga rasa sakit hati saat kamu menyadari gadis yang menjadi selingkuhan kekasihmu mungkin diam-diam sedang menertawakan kebodohanmu," geram Rania getir, diam-diam teringat Aditya, mantan calon suaminya.
Dirga terpaku. Dia tidak pernah menganggap Kakaknya bodoh. Dia selalu merasa sakit dan membenci dirinya sendiri setiap kali melihat Raka.
"Kamu pernah diselingkuhi?" Dirga mulai mencium kemarahan Rania.
Rania menegang, ia yakin air matanya hendak menyeruak.
"Aku tanya, berapa lama kamu bersama dengannya?" suara Rania gemetar, dia memalingkan wajahnya ke jendela.
Sekian detik melewati mereka dalam diam. "Satu tahun."
"Setahun?" Rania menoleh cepat kepada Dirga dan menatap nanar. "Kamu-kamu mengkhianati kakakmu..."
"Berhenti menghakimiku," desis Dirga di antara giginya. "Kamu sama sekali tidak mengerti keadaannya."
"Dan keadaan seperti apa yang mentolerir pengkhianatan?"
"Jadi kamu pernah diselingkuhi? Pernah dikhianati?" serang Dirga.
"Bukan urusanmu!" Rania membuang lagi wajahnya ke jendela.
"Jadi itu masalahnya? Kamu menyamakan aku dengan mantan kekasihmu? Kamu sudah putus dengannya? Atau kamu masih mengharapkannya kembali?"
Rania sudah tidak bisa menahan dirinya sendiri.
"Aku benci sekali orang sepertimu! Berhenti! Aku mau turun sekarang!" Rania gusar.
Dirga tidak menuruti permintaan Rania. Lelaki itu tampak berusaha mengendalikan emosinya sendiri. "Aku minta maaf," ucapnya kemudian, lebih halus. "Tidak seharusnya aku meminta kamu memahami keadaannya. Dan tidak seharusnya aku mengorek lukamu."
"Dan tidak seharusnya aku ada di sini!" desis Rania.
"Aku akan menganggapnya kemurahan hatimu," ucap Dirga. "Setidaknya jika pernikahan Kak Raka dan Padma tidak dibatalkan, pasti Kakakmu akan senang sekali"
Mungkin benar.
Rania ingat sekali kakaknya sangat antusias saat bercerita mengenai hal ini.
Kamajaya. Keluarga konglomerat. Yang ada di sebelahnya juga salah satu pewarisnya yang lain. Rania sempat mengetahui Dirga yang baik, hangat, perhatian, peduli dan ramah dengan caranya sendiri.
Dan, ternyata benar. Biasanya di kalangan konglomerat ada kisah yang lebih ekstrim dari kalangan kebanyakan. Lebih gelap, dan tidak masuk akal.
Kisah adik yang menjadi selingkuhan calon ipar ini salah satunya.
Rania menekuri kuku-kukunya. Dirga tidak tampak seperti seseorang yang suka membuang waktu atau bermain-main. Lantas, kenapa dia menjadi selingkuhan calon istri kakaknya, hingga setahun? Dan apakah dia benar-benar tulus melepaskan Padma untuk Raka? Benarkah demi kakaknya, atau demi dirinya sendiri?
Mungkin Dirga sudah bosan kepada Padma dan ingin melepaskan diri. Ya, alasan sebenarnya bisa jadi sedangkal itu. Ah, entahlah.... Dirga layaknya susunan puzzle yang harus dirangkainya satu demi satu sebelum menyimpulkan gambaran sesungguhnya.
Rania memejamkan mata, menyandarkan kepalanya. Entahlah... sudahlah... aku tidak ingin berpikir lagi. Yang pasti, dia harus memastikan untuk membatasi hati dan pikirannya dari Dirga. Ia tidak mau seorang pengkhianat kembali menyusup ke dalam relung hatinya.
***
Sembari sekali lagi menikmati pemandangan kebun teh yang indah di sekeliling mereka Dirga bercerita mengenai kekayaan alam, kebiasaan dan legenda apa saja yang ada di kawasan wisata itu saat mereka menuju ke objek wisata Situ Patenggang.
"Kamu benar-benar sudah terdengar seperti pemandu wisata profesional," cetus Rania.
"Selain aku sering berada di sini, aku juga sering menjadi pemandu kenalanku yang ingin berkeliling daerah Ciwidey," ungkap Dirga.
Sebelumnya mereka berdua sempat menghabiskan waktu di kawah putih. Sebentar saja, karena mereka tidak boleh menghabiskan waktu terlalu lama di sana karena kandungan belerangnya yang dapat menyebabkan sesak napas dan pingsan.
Di situ patengang, mereka menikmati pemandangan sebuah danau yang sangat indah di tengah kungkungan pesona lainnya. Perkebunan teh, perkebunan strawberry juga hutan cagar budaya yang sekali lagi mempersembahkan keagungan karya Tuhan.
"Kamu mau naik perahu?" ajak Dirga. "Jangan khawatir, aku cukup jago mendayung. Kamu tidak usah takut tidak bisa menepi," Dirga berujar saat melihat keraguan di wajah Rania.
"Baiklah," putus Rania.
Keduanya menyewa sebuah perahu. Tepatnya, Dirga yang menyewa. Selama perjalanan mereka Dirga memang menangani semua perihal pembayaran. Rania berusaha tidak sungkan. Hei, lelaki itu sudah memanfaatkannya dan dia seorang pewaris Kamajaya! Untuk apa Rania merasa sungkan hanya untuk beberapa ratus ribu yang dia keluarkan?
Dirga memutuskan mengayuh sendiri perahu yang mereka sewa dan tumpangi berdua ke tengah danau. Lelaki itu menggulung sweaternya hingga setengah lengan, memperlihatkan otot lengannya yang kokoh, mengayuh dengan gagahnya di hadapan Rania.
Angin sepoi-sepoi menerpa wajah Rania, mentari siang itu mulai terasa menyilaukan. Namun, keberadaan Dirga di antara itu semua, yang sebetulnya membuat Rania menahan napas. Ia mengalihkan tatapan dari Dirga, mengamati air danau berwarna hijau yang tengah mengelilingi mereka. Ia merasa terperangkap. Dalam artian romantis.
"Ada sebuah mitos berkenaan dengan danau ini," ungkap Dirga setelah berhenti mendayung dan kembali memasung tatapan tajam kepada Rania. "Katanya, jika ada sepasang kekasih mengelilingi danau ini, cinta mereka bisa bertahan, langgeng sampai akhir hayatnya."
Rania mengamati Dirga dengan kedua alis terangkat. "Langgeng?"
"Ya, katanya begitu." Dirga mengukir senyum tipis. "Menurutmu bagaimana? Apakah hubungan kita akan bertahan hingga akhir hayat?" matanya memancar jahil.
"Tidak!" sembur Rania gusar. Diam-diam wajahnya merona, namun Ia segera menutupinya dengan tatapan kesal sambil memberengut agar Dirga tidak menyadari rona yang jujur itu. "Jelas-jelas kita bukan sepasang kekasih!"
Dirga hanya menyeringai. Rania begitu mudah digodai. Gadis itu akan langsung salah tingkah lalu berbalik marah-marah. Gadis paling transparan yang pernah Dirga tahu.
"Loh? Bukankah sejak tadi pagi kita sudah resmi?" Dirga menaikkan sebelah alisnya, masih berniat melanjutkan keisengannya.
"Pura-pura! Kamu memanfaatkanku!" Rania semakin merengut sambil mencondongkan tubuhnya memasang wajah kesal. "Jangan dibahas lagi, aku bisa tambah kesal!"
Dirga mengulum senyumnya. "Masih ada lagi." Ia melepaskan tatapannya dari Rania. "Kamu lihat pulau di tengah danau itu? Namanya pulau Sasuka. Juga disebut pulau Asmara." Rania mengamati pulau yang dimaksud. "Dahulu kala, diceritakan ada sepasang kekasih yang tidak bisa bersatu, yakni Ki Santang dan Dewi Rengganis. Ada yang mengatakan bahwa Patenggang ini dibuatkan oleh Ki Santang untuk Dewi Rengganis sebagai bukti cintanya, dengan menyisakan pulau Sasuka serta Batu Cinta tempat mereka bertemu di tengahnya."
"Romantis sekali..." gumam Rania, lebih lunak.
"Sudah kuduga gadis-gadis akan menyukai cerita seperti itu."
"Kamu sendiri, mempercayainya?" tanya Rania.
Dirga melepaskan tawa yang menyenangkan. "Tidak. Walaupun memang banyak pasangan yang sengaja mengelilingi pulau Sasuka dan mengunjungi batu cinta, hingga mengucap janji setia di sana. Aku tidak percaya hal itu. Itu hanya mitos."
"Aku juga tidak," tukas Rania.
"Oh ya? Tapi tadi wajahmu berseri-seri saat mendengar cerita itu."
"Hanya ceritanya saja, mitosnya sendiri aku tidak percaya!"
"Kalau begitu, mau melakukannya denganku?" tantang Dirga.
"Melakukannya denganmu?" Rania mengerutkan alisnya.
"Ya, kita kelilingi pulau Asmara dan kunjungi batu Cinta. Kalau kamu tidak percaya, kamu pasti tidak takut akan berakhir denganku, bukan?" Sudut bibirnya tertarik, matanya jahil.
"Tapi kita bukan pasangan," sanggah Rania.
"Sejak tadi pagi masih pasangan," Dirga berseloroh.
Rania memasang wajah tidak suka. "Memangnya aku akan berpikir ini hubungan yang bisa diperhitungkan? Ini hanya hubungan dua hari!"
"Tetap saja, saat ini kita pasangan." Dirga mencondongkan tubuhnya ke arah Rania. "Jadi? Bagaimana? Katanya tidak percaya mitos, kenapa tidak berani? Kalau aku memang tidak percaya, jadi aku tidak khawatir."
Rania mengerucutkan bibir sebal. "Aku tidak takut! Ayo, apa yang harus kita lakukan!?" Toh pada akhirnya, dalam beberapa hari lagi hubungan mereka akan selesai tanpa benar-benar dimulai.
"Baik," sambut Dirga.
Setelah mengelilingi pulau asmara, Dirga menepikan perahu di tepi pulau dan mereka turun menuju batu cinta. Rania sempat membaca papan keterangan yang ada di sana, memuat apa yang tadi sudah diceritakan Dirga.
"Nah, aku tidak takut, 'kan?" Rania mengangkat dagu saat mereka duduk di sebuah tempat duduk berbentuk batang pohon yang ada di wilayah batu cinta tersebut.
Dirga belum berhenti menantang. "Kalau begitu, mau mengikat sumpah setia di sini?"
"Hah!?" Rania sangat terkejut dengan tawaran Dirga.
Sekali lagi pria itu tertawa, kali ini tawanya terasa menyebalkan.
"Kamu tidak percaya, bukan?"
Rania mengetatkan rahang, menatap Dirga kecut. "Berjanji setia kepadamu? Belum apa-apa kamu sudah melanggarnya!" Perkataan yang sangat menohok.
Lelaki itu yang sedari tadi tampak memiliki kesenangan sendiri menjahili Rania dengan cepat rautnya berubah dingin dan serius. Tampaknya perkataan Rania menyinggungnya.
"Aku tidak pernah melanggar janji apa pun. Itu jika kamu mau tahu," tukasnya dingin.
"Kepada Padma?" kejar Rania.
Padma? Tidak pernah benar-benar ada ikatan di antara mereka, apalagi hingga terucap janji setia. Dirga menghela napas gusar. "Kamu begitu tertarik kepada kami?"
"Kamu sudah melibatkanku!" Entah sejak kapan pernyataan itu menjadi pembenaran bagi Rania untuk mengorek segala sesuatunya.
"Apa yang bisa kamu ketahui sudah kamu ketahui. Sisanya, bukan urusanmu," desis Dirga.
"Jika kalian pernah mengucap janji setia di sini, lalu sekarang kamu memutuskan untuk berpaling, kita tidak perlu repot. Kamu sudah menjadi bukti nyata bahwa mitos itu omong kosong," tukas Rania dengan gaya menyebalkan, menunjuk-nunjuk d**a Dirga berkali-kali.
Dirga menangkap tangan Rania gusar, menggenggamnya sangat erat. Entah apa yang ada dalam pikiran lelaki itu, yang pasti tatapan tajamnya membuat debaran jantung Rania mengalami percepatan yang sangat kacau. Rania kehilangan kata-kata—tidak peduli secepat apa kepalanya bekerja, ia tidak juga menemukan kalimat yang tepat. Tangan Dirga yang mencengkeram kuat dan hangat, juga tatapan matanya yang tak memerangkap, melumpuhkan semua motorik Rania.
"Ponselmu berbunyi," ujar Dirga dengan ketenangan seperti telaga.
Rania memerlukan waktu lebih dari biasanya hanya untuk memahami sebaris kalimat tersebut. Baru saat Dirga melepas tangannya dan mengulangi perkataannya, Rania bisa berreaksi. Gadis itu langsung sibuk mengaduk-ngaduk tasnya.
Sulit mencari sesuatu saat kepala dan jantungmu masih dalam keadaan kacau.
"Duuh... di mana sih..." Rania mengeluarkan satu persatu benda dalam tasnya yang ia tampung di atas pangkuannya.
"Kurasa, ponselnya berada di sini," Dirga menunjuk bagian depan tasnya.
Benar. Memang di sana ia biasa meletakkannya. Dengan kikuk Rania membuka resleting bagian depan tas dan mendapati ponselnya di sana.
"H-halo!?" Tanpa melihat siapa yang menghubungi, Rania menerima panggilan.
"Syukurlah! Kemana saja Ran?" sapa yang di seberang sana.
Ya ampun, ini Galuh! Sahabatnya sejak kuliah. Gadis itu pasti akan membicarakan—
"Besok kamu pasti datang ke reuni, kan?"
"Tidak bisa!" sahut Rania cepat, ia membalik badannya membelakangi Dirga.
Lelaki itu dengan santai meraih sebuah kartu yang ada di atas pangkuan Rania dan membacanya saksama. Sesekali terdengar suara tertahan Rania.
"Pokoknya aku tidak bisa janji. Aku masih liburan. Seru sekali di sini walaupun a-ada sedikit kecelakaan. Pokoknya, aku tidak akan bisa kembali sebelum Senin."
"Ya ampun, Ran! Kamu bisa meneruskan liburanmu kali lain!" paksa Galuh. "Siapa tahu kamu bertemu Panca. Kamu ingat ? Dia juga dulu mengejar-ngejarmu—"
Rania memutar matanya. "Gal? Galuh? Galuh? Duh, Maaf, suaramu tidak terdengar... Di sini ramai sekali! Nanti kuhubungi lagi! Bye!" Dengan taktik klasik Rania mengakhiri percakapan. "Fiuuh..." ia mengembuskan udara dari bibirnya, hingga poninya tertiup.
"Kamu ada acara reuni?" Dirga masih membaca undangan di tangannya. "Besok?"
Rania terkejut, saat menyadari entah sejak kapan undangan reuni itu berada di tangan Digra.
"Kembalikan!!" Rania merampas undangan itu dari tangan Dirga, dan melesakkannya ke dalam tas. Dirga masih mengamatinya lekat. "Apa?" sewotnya.
Dirga tersenyum lagi—senyum jahil yang sudah mulai Rania hapal.
"Jadi karena itu? Itu yang menyebabkanmu berada di sini sekarang?" Mata Dirga berkilat seakan-akan ia baru saja menemukan harta karun.
"Bukan urusanmu!" Rania mendelik. "Aku memang tidak berniat datang ke reuni itu."
"Bisa kulihat," Dirga meregangkan tubuhnya lalu bersedekap. "Kamu merencanakan dengan saksama untuk berlibur hingga hari Senin walaupun kamu jelas-jelas tidak punya rencana apa-apa di sini. Jadi, ada apa? Tidak punya teman?"
"Asal tahu saja, aku mahasiswi yang aktif dan populer," Rania menegaskan angkuh.
"Oh, lalu? Takut bertemu mantan kekasihmu?" sindir Dirga. Rania menolak menjawab dan mendelik kepada Dirga. Ia beranjak berdiri "Pergi denganku saja, bagaimana?" tawar Dirga tiba-tiba.
Langkah Rania terhenti. Ia menoleh dan memicingkan matanya.
"Aku serius." Gaya Dirga masih tenang. "Jika kamu tidak datang ke sana karena menghindari seseorang yang kamu tidak suka, atau gengsi bertemu mantan kekasihmu yang mungkin sudah punya pasangan, aku mau menemanimu."
Mengajak Dirga? Rania menilai lelaki itu. Secara penampilan, tentu Dirga tidak memalukan, membanggakan malah. Jika seandainya saja Dirga memang kekasihnya, Rania akan sangat bahagia menenteng pria itu di sampingnya.
Latar belakangnya? Tidak kalah menakjubkan. Jika Rania bersama Dirga, tentu dia tidak harus merasa jengah saat bertemu Adit dan Sasti.
Tidak. Tidak.
Bertemu Adit dan Sasti-lah yang membuatnya enggan. Perasaan emosional itu masih muncul di perut dan kepalanya kala dia teringat keduanya. Ia yakin, selain sakit hati karena dikhianati, kebersamaan keduanya bukan masalah. Dia sudah mengikhlaskan Adit pergi.
Jujur Rania merasa seakan ia menjadi orang yang kalah jika teman-temannya tahu ia bahkan sengaja menyusun rencana untuk menghindari kedua makhluk itu. Dan, kenapa dia yang harus menyusahkan diri sementara dialah yang telah dikhianati?
Rania menimbang ragu. Ia tidak menyadari jarak Dirga sudah begitu dekat hingga dia mendapati d**a bidang pria itu sudah menghalangi seluruh pandangannya. Rania mendongak.
Didapatinya rupa tenang dan tampan itu di hadapannya.
"Nanti malam kita pergi ke rumahku, dan kamu menolongku. Besok, kita pergi ke acara reunimu, dan aku akan menolongmu," Dirga mengulurkan tangan. "Jadi, kita saling membantu. Tidak ada utang, tidak ada yang dirugikan."
Rania menggigit bibirnya. Datang ke acara reuni. Menghadapi orang-orang yang mungkin mengolok atau mengasihaninya. Tetapi... jika tidak sekarang, kapan dia akan menghadapinya? Mungkin, jika bersama Dirga, jika ada Dirga... Dia bisa.
Rania mencari keberanian dari sorot lelaki di hadapannya
Ia lantas mengamati telapak Dirga yang terulur kepadanya. Rania menjabat tangan itu.
"Baiklah. Aku terima tawaranmu."
"Bagus," sambut Dirga mantap. "Dengan begitu sekarang kita ini mitra."
"Mitra," Rania menyetujui.
Baiklah. Sekarang jelas sudah apa hubungannya dan Dirga. Ia akan berusaha tidak menghiraukan masalah Dirga dan Padma. Ia hanya mitranya untuk berpura-pura menjadi kekasih. Begitu juga Dirga.
Sudahlah, tidak apa-apa, Rania, hanya 1-2 hari saja, dan semuanya akan selesai. Masalah Dirga, juga masalahnya. Hanya satu dua hari saja.
"Nah, Mitra, jadi bagaimana? Kamu berani bersumpah setia di sini?" tantang Dirga yang mulai menemukan kesenangannya sendiri menggodai Rania.
"Kenapa tidak berani?" Rania balik menantang. "Tapi aku tidak mau melakukannya sendiri, seperti orang bodoh! Apalagi kepadamu. Kecuali kamu juga melakukannya."
Dirga tertawa. Tawa lain yang baru Rania dengar setelah menertawakan ketakutan Rania pada Astra sebelumnya. "Ya, lakukan saja. Nanti aku akan melakukannya juga."
"Tidak! Kamu terlebih dahulu. Kamu punya kemungkinan mengkhianati sumpah lebih besar dariku," tandas Rania tanpa ampun, menghilangkan garis senyum di wajah Dirga yang langsung mendingin.
"Baiklah," suara maskulin lelaki itu terdengar meyakinkan.
Dirga meraih kedua tangan Rania dan menggenggamnya.
"Aku bersumpah setia kepadamu, Karaniya Parameswari sampai kapan pun." Ia lalu menunggu Rania mengucapkan janji yang sama. "Giliranmu."
Gadis itu mendongak menatap Dirga dengan perasaan kacau. Rasanya menyenangkan mendengar perkataan lelaki itu barusan, walaupun dia tahu itu hanyalah sebuah sumpah yang akan terlanggar. "Giliranmu," Dirga mengingatkan.
"Ah, a-aku..." Rania berucap perlahan, dengan perasaan linglung. "Aku bersumpah setia kepadamu, Abimanyu Dirga Kamajaya sampai kapan pun." Ia terdengar tidak meyakini ucapannya sendiri.
"Wah..." Dirga mendongak, mengamati langit dan sekelilingnya. "Kupikir jika sumpah semacam ini diucapkan, akan ada badai, angin ribut atau apa," selorohnya.
"Dasar!" decak Rania, sekali lagi disambut tawa Dirga yang rendah dan renyah.
***