Dirga mengenakan kaos dan celana trainingnya. Hari Sabtu waktunya berjalan-jalan dengan Astra untuk bersantai. Ia meregangkan tangannya yang panjang. Sejenak ia menoleh ke kamar Rania yang masih senyap. Sebetulnya, dia masih mengkhawatirkannya.
Tetapi jika orangnya saja tidak mau dipedulikan, untuk apa Dirga khawatir? Lagipula sepertinya gadis itu cukup kuat untuk tidak mengaku ia kesakitan walaupun semalaman Dirga sempat mendengar gadis itu diam-diam mengaduh dan merintih.
Ponselnya memanggil. Dirga meraihnya, dan melihat nama Padma di sana. Meragu.
Haruskah dia mengangkatnya, atau...
Tapi apapun hubungan mereka, dia tidak bisa mengabaikan Padma begitu saja. Dia khawatir ada sesuatu yang penting yang harus gadis itu sampaikan.
"Halo?"
"Dirga, tolong keluarlah sekarang, ada yang ingin kubicarakan."
Ada apa Padma datang sepagi ini? Apakah ada sesuatu yang sangat penting?
Sedikit tergesa-gesa Dirga keluar dari pondok. Ia melihat gadis beparas ayu itu tengah menunggu di gazebo. Angin dingin pagi itu mengibarkan rambut sepunggung Padma yang tidak begitu tebal namun halus terawat.
"Padma, ada apa?" tanya Dirga khawatir. Padma berdiri dari duduknya.
"Aku sudah memutuskan," Padma menatap Dirga lurus. "Kita pergi saja, bagaimana?"
Dirga berusaha mencerna perkataan Padma yang tiba-tiba. "Pergi...?"
"Pergi, keluar negeri, ke mana saja." Dicengkeramnya lengan Dirga. "Aku ikut denganmu. Kita kawin lari atau..."
"Padma!" Dirga menyela tegas, menyadarkan gadis itu yang meracau. "Apa yang kamu bicarakan? Pergi? Kawin lari?" Ia tidak mengira gadis yang kemayu itu bisa datang dengan ide gila seperti ini. "Kamu ini bicara apa!? Kita tidak bisa melakukannya, Padma, tidak bisa!"
"Tapi aku, tidak bisa kehilanganmu! Aku gelisah semalaman. Dan kurasa ini jalan yang terbaik. Bawa aku, ke mana saja, aku—"
"Padma!!" Dirga menggoyang bahu gadis itu keras, berharap kesadarannya segera kembali. "Jangan bicara macam-macam lagi. Sudah berakhir, kamu dan aku, kita, sudah tidak mungkin lagi. Kamu harus menerimanya."
"Tidak, tidak... aku yakin, cinta kita—"
"Tidak seharusnya ada," Dirga melengkapi.
"T-tapi..." Padma masih berharap. "Aku tidak mungkin bisa melupakanmu."
Dirga melepaskan tangan Padma darinya, melangkah menjauh dan berpaling.
"Kamu harus melupakanku."
Padma menggeleng panik. "Tidak! Dirga, aku—"
"Dengar, Padma, bagiku, kamu... kamu sekarang, adalah tunangan kakakku. Mau, tidak mau, kamu calon kakak iparku. Dan aku sendiri, sekarang..." Dirga menelan ludahnya. Kembali berbalik menatap Padma lekat. "Ada seseorang, bersamaku."
Padma terenyak menatap nanar. "Sese-orang... b-bersama?"
"Ya. kamu mengerti maksudku," Dirga berusaha tidak melepaskan pandangannya agar gadis itu yakin. "Aku sudah punya seorang kekasih."
Padma terperangah, lantas menggeleng lagi tidak percaya sambil tersenyum pahit.
"Kamu pasti bohong—kamu, kamu tidak pernah punya kekasih."
"Ya, sekarang ada," sahut Dirga cepat. "belum lama. Dia... gadis yang baik. Aku ingin mencoba menjalin hubungan dengannya dan dia... Aku tidak ingin menyakiti hatinya."
Alis Padma berkedut, pucat. Ia mengamati Dirga, mencari kebohongan di sana.
Rania meringis dan mengaduh. Saat bangun tidur tangannya malah semakin kesakitan.
Dengan suasana hati buruk ia beranjak ke kamar mandi. Pondoknya sepi, entah ke mana Dirga. Ah, dia tidak peduli ke mana lelaki pengkhianat itu!
Tetapi ketidakpeduliannya tidak lama, karena saat dia berusaha menyalakan keran air, kerannya sulit digerakkan. Rania berusaha memutar keran itu menggunakan tangannya yang sehat dan masih tidak berhasil. Rania menahan napas dan mengerahkan tenaga sekuatnya. Kerannya terlepas dan airnya menyembur. Rania terpekik panik.
Ia berusaha memasangkan kerannya lagi tetapi air itu malah muncrat semakin banyak membasahi sekujur tubuhnya. Rania melompat-lompat menghindari semburan air. Ia melepaskan kerannya dan beranjak keluar kamar mandi. Diamatinya pakaiannya yang basah dan membuat suasana hatinya semakin kesal.
Sepertinya dia ditakdirkan begini sial berada di pondok ini.
Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari Dirga. Lelaki itu tidak ada di kamarnya. Rania beranjak keluar. Melihat punggung tegak serta perawakan jangkung itu, Rania sudah tahu lelaki yang dicarinya ada di gazebo.
"Dirga!!" panggilnya seraya berhambur menghampiri, hendak mengadukan perihal keran menyebalkan itu.
Dirga menoleh, dan saat itu Rania melihat siapa yang sedang bicara dengannya. Si gadis berkulit kuning langsat yang ayu, Padma. Rania segera membeku, langkahnya terhenti.
"Nah, ini dia, gadis yang kubicarakan," Dirga bicara kepada Padma perihal Rania.
Rania mengamati Dirga bingung. Mereka... membicarakannya? Apakah Dirga memberitahu perempuan itu bahwa dia sudah tahu mengenai hubungan gelap mereka?
"Ran, kemarilah," Dirga dengan hangat mengulurkan tangannya.
Apalagi yang bisa Rania lakukan? Tidak mungkin dia berbalik dan kabur. Maka melangkahlah ia mendekat. Dengan tubuh menggigil akibat kombinasi pakaian basah dan angin pagi buta. Dan kenapa? Kenapa Tuhan? setiap kali dia berhadapan dengan Padma, dia selalu dalam keadaan kuyup dan konyol?
Dia belum mandi sementara perempuan itu laksana dewi fajar.
Sebelum Rania benar-benar sadar, dia sudah berada di samping Dirga. Bahunya terlonjak saat Dirga melingkarkan tangannya yang hangat di bahu Rania yang membutuhkan.
"Aku belum memperkenalkan kalian dengan resmi. Rania, ini Padma, calon iparku. Dia tunangan Kakakku. Kami sudah berteman sejak kuliah dulu," terang Dirga.
Jadi, lelaki ini akan berusaha meluruskan masalah, atau apa? Kenapa dia tidak sekalian saja mengadakan konferensi pers?
"H-halo," sapa Rania. Apa mereka harus berkenalan
"Dan Padma, ini Karaniya," Dirga mengetatkan pelukannya. "Kekasihku."
"Ha!?" Padma dan Rania mengeluarkan reaksi yang serupa. Pundak Rania bahkan terlonjak keras. Kerongkongannya mendadak kering.
"Dia ini adiknya pemilik WO yang akan ikut menangani pernikahanmu dan Kakak."
Padma menatap Dirga dengan terpukul. "Kamu bilang dia..."
"Maaf, aku bohong," Dirga mengusap bahu Rania. "Sebetulnya kami belum berniat mengungkap soal hubungan kami."
Hubungan apa? Rania sangat bingung. Bukankah Dirga dan Padma yang sepasang kekasih gelap? Kenapa sekarang pokok pembicaran beralih kepadanya?
Dia tidak tahu harus berreaksi bagaimana. Dan entah mengapa, dia memilih mengikuti Dirga. Mungkin karena ia terlalu terkejut hingga seluruh sarafnya belum bisa berreaksi dengan baik, atau karena dekapan hangat Dirga yang sangat membantu keadaan Rania yang tengah menggigil saat ini. Menghangatkan, sekaligus menumpulkan otaknya.
Atau semata karena dia merasa... lelaki ini tengah membutuhkannya.
"Sejak... kapan?" Padma berusaha tampak tenang walaupun gagal. Suaranya bergetar.
"Semalam," terang Dirga, ia menatap Rania dan berkata lembut. "Aku memintanya jadi kekasihku dan dia menerimanya."
Anggap aku tidak ada dan aku akan menganggapmu tidak ada. Apakah itu jenis pernyataan cinta yang baru? Rania bersuara. "Ah, a-aku..."
"Tanganmu masih sakit?" Dirga mengusap tangan Rania yang membengkak biru. "Sudah kubilang kamu seharusnya membebatnya saat hendak tidur."
Rania menelan ludahnya. Belaian hangat itu membuatnya membatu.
"Padma, terima kasih sudah datang ke sini. Katakan kepada Mama nanti sore kami datang ke Cipaganti. Hari ini aku akan mengantar Rania menikmati liburannya dulu."
"Begitu..." gumam Padma perlahan, mengamati Rania yang tampak kikuk.
"Kurasa kami harus kembali. Tangan Rania sedang sakit, kami harus merawatnya dulu agar tidak semakin bengkak. Benar, 'kan, Ran?"
Mata Rania bergerak bingung. "Mmmung... kin...?"
"Kurasa kamu kedinginan," Dirga setengah tersenyum mendekap Rania semakin hangat. Dan... "HUP!!" dalam hitungan detik Rania sudah berpindah ke atas gendongan Dirga dan lengan kokohnya.
"Kyaah! Dirga!!" Rania berseru kaget, namun sebelah lengannya spontan melingkar di pinggang Dirga. Ternyata alam bawah sadarnya terlalu menikmati kehangatan lelaki itu.
"Sampai nanti Padma," Dirga tidak menunggu lagi. Dia segera balik badan sambil mengetatkan dekapan hangatnya pada Rania, tanpa merisaukan pakaiannya yang basah.
Padma mengamati keduanya. Ada apa ini? Dirga, dan gadis itu...
Ia telah mengenal Dirga bertahun-tahun. Dirga bukan lelaki seperti itu. Kecuali... Rania telah merayunya. Padma yakin sekali hati Dirga masih untuknya.
Tiba-tiba Padma teringat bahwa kemarin dia melihat Dirga membawa gadis itu menunggangi Astra. Mereka berkuda berdua. Padma mengepalkan tangannya. Hatinya sakit. Hancur.
Sementara dia memikirkan cara agar bisa bersama dengan Dirga, pria itu memutuskan bersama gadis lain dengan mudahnya? Padma menggigit bibirnya resah. Atau jangan-jangan... Gadis itu hanya pelariannya?
Padma tidak mau percaya Dirga begitu saja berpaling darinya.
***