Terpaksa Bermalam

2045 Words
Rania terengah-engah lelah, mengamati tempat saat dia tadi terperosok lumpur. Tetapi tas dan kantong teh yang dibelinya tidak ada. Berarti dompet dan ponselnya yang berada di dalam tas juga lenyap! Mentari semakin turun dan tidak ada hasilnya. Saat hendak mencuci kaki, Rania meletakkan semua bawaannya di tepi sungai. Tetapi karena sepatunya hanyut dan dia sibuk mengejarnya, dia lupa sama sekali dengan barang bawaannya. Rania menjatuhkan b****g ke tanah dan menggesek-gesekkan sepatunya dengan kesal seraya menendang-nendang dan menggeleng-gelengkan kepala. Ukh, semua ini karena pria b******k itu!! rutuk Rania, masih menendang-nendang kesal kerikil di hadapannya. Ya! Jika saja bukan karena bertemu Dirga, yang sempat memesonanya dan membuatnya melupakan segala, Rania tidak akan sibuk menenangkan jantung hingga melupakan semua bawaannya itu. Sekarang apa yang harus aku lakukan!? Rania kesal bukan main karena begitu banyak kesialan yang menghinggapinya hari ini. Tangannya berdenyut-denyut kuat karena dia sempat berlari-lari dan mengayunkan tangannya yang terkilir. Sepertinya tangannya semakin bengkak. Dan sudah Rania putuskan, semua kesialan ini, adalah salah Abimanyu Dirga Kamajaya. "Uuukkhhh kalau melihatmu lagi, akan kutendang bokongmu!!!" pekik Rania. "b****g siapa?" "AH!!" Rania sontak menoleh, "Hiiiy!!" mendapati cengiran si Astra yang langsung meringkik keras. Rania menyeret pantatnya di permukaan tanah saking terkejutnya dan menahan tubuhnya dengan kedua tangannya, termasuk tangan kanannya yang terklir. Ia sontak mengaduh lagi, lalu merintih dan berdecak kesal. Gadis itu tampak benar-benar sibuk. Rania lalu mendongak, mendapati Dirga di punggung Astra. Kedua alis tebalnya terangkat dan mata tajamnya mengamati Rania dengan raut sangat heran. Rahang Rania mengeras melihat lelaki yang semenjak tadi dirutukinya. "Apa yang kamu lakukan di sini!!?" bentaknya. "Aku dari tempat kerjaku mau pulang ke pondok," terang Dirga. "Memangnya siapa yang peduli!" Rania membuang wajahnya. Dirga tertegun, mengerutkan dahi. Bukankah tadi Rania yang bertanya kenapa dia ada di sana? Dan, kenapa gadis itu mendadak marah-marah? Terakhir ia meninggalkannya di pondok Rania masih baik-baik saja. Apakah gadis ini mengidap kepribadian ganda, bipolar atau semacamnya? Oh, atau... Dirga mengacungkan tas di pangkuannya. "Kurasa ini milikmu?" Mata Rania membulat melihatnya. "I-itu..." Lega, sekaligus keki. "Kamu mengambilnya!?" Mata Dirga membulat tak percaya atas tuduhan itu. "Aku menemukannya!" Rania bergegas berdiri, "Ukh, aduuh..." rintihnya. Ia lupa, lagi-lagi menggunakan tangan kanannya yang sakit untuk bertumpu. Rautnya memperlihatkan nyeri. "Kamu tidak apa-apa?" Dengan tangkas Dirga turun dari kudanya. Ia bergerak mendekat kepada Rania, meraih tangannya. "Tanganmu bengkak?" "Jangan sentuh aku!" Rania mendorong Dirga menjauh. Dirga tertegun, mengamati Rania. Sejak pertama bertemu, Dirga memang tidak bisa mengerti keanehan Rania. Pertama dia marah-marah, lalu jadi pendiam, malah sering tergagap-gagap kikuk di dekatnya seperti seorang pemalu. Sekarang dia kembali marah-marah. Gadis yang sulit. Rania merenggut paksa tasnya dari tangan Dirga. Saat berusaha memeriksanya, lagi-lagi tangannya yang terkilir terasa berdenyut dan membuat gerakannya lambat. Padahal saat tengah keki seperti ini, bergerak dengan penuh sentakan amarah akan lebih baik. Tetapi yang bisa ia lakukan hanya diam-diam meringis kesakitan setiap dia mengerahkan tenaganya. "Aku tidak mengambil apa pun. Aku menemukannya saat hendak kembali ke kantor tadi," terang Dirga, mengamati Rania yang kesulitan membuka resleting tas. Ia melanjutkan, "Aku bermaksud mengembalikannya saat kembali ke pondok. Aku hendak menghubungimu, tapi ponselku tertinggal. Ternyata kamu sedang ada di sini," paparnya. Rania mendelik sekilas dan masih enggan bicara dengan pria jangkung itu. "Aku hanya membukanya untuk memeriksa identitas pemiliknya," Dirga bicara lagi saat Rania berhasil membuka tas dan memeriksa dompetnya. "Tidak ada yang hilang kan?' Ada. Kepercayaannya. Rania berdecak dan memasukkan kembali dompet itu ke dalam tas. "Terima kasih..." gumamnya setengah hati. Sekesal apa pun, mau tidak mau ajaran orang tuanya sudah melekat: harus berterima kasih atas jasa orang lain sekecil apa pun. "Ayo, kuantar pulang," ajak Dirga, kembali mendekati Astra. "Ukh, tidak usah!" Rania mundur selangkah, melirik Astra lalu pemiliknya. Dia juga tadi datang naik angkot. Memang cukup melelahkan menuruni dan mendaki perkebunan teh menuju jalan raya. "Sudah semakin sore. Ayo, kuantar saja," Dirga menarik tangan kiri Rania. "Lagipula, tangan kananmu sepertinya perlu perawatan." "Tidak usah!!" Rania menghempaskan tangan Dirga. "Aku tahu jalannya. Aku bisa sendiri!" ia mengangkat dagunya kepada pria jangkung yang tengah menatapnya heran itu. Terus terang, Dirga khawatir kepada gadis ini. Sepertinya ada gangguan di kepalanya. Oh, tidak, bukan gila atau sebagainya. Sepertinya Rania tengah berada dalam kegalauan karena suatu hal. Dia muncul sendirian di tempat yang dia tidak tahu, berkeliaran sendiri ke sana kemari, beberapa kali mengalami kecelakaan—jelas pikirannya tidak sedang berada di tempatnya. Ia bahkan melupakan tasnya! Gadis mana yang akan melupakan tas dan isinya dalam waktu yang lama? Bukannya Dirga seorang lelaki yang paling perhatian. Hanya saja, sejak kemunculannya Rania memang cukup mencuri perhatiannya dengan segala kejanggalan dan tingkah lakunya yang aneh. "Kamu bisa kemalaman di jalan. Ayolah, tidak perlu takut. Kamu sudah naik Astra tadi." Bukan Astra yang sedang dihindarinya. "Tidak!" tegas Rania. Ia lalu beranjak meninggalkan Dirga. Dirga hanya terpaku mengamati gadis keras kepala itu. Ia menghela napas, dan kembali ke punggung Astra. Sudahlah, biarkan dia melakukan apa yang diinginkannya. Ia menghentakan kaki, Astra meringkik dan mulai berderap. Rania menghentikan langkahnya, mendelik pada punggung Dirga sambil mencebik. Ia mendengus, memutar badannya dan mulai menuruni perkebunan teh. Dirga benar, senja mulai menguning. Sang surya sudah hendak kembali ke peraduannya. Namun kali ini Rania tidak bisa meresapi keindahan pemandangannya terlalu lama, karena dia harus bersaing dengan matahari. *** Cukup larut Rania tiba kembali di pondok. Menyusuri bukit dengan Astra memang jauh lebih cepat ketimbang harus turun naik bukit dan angkot serta ojeg. Dirga yang sedang duduk-duduk di gazebo sambil menyesap rokok, segera berdiri melihat kedatangan Rania. Sudah bisa ditebak siapa yang ditunggu, walaupun sepertinya gadis yang dinanti itu tidak merasa. Rania menolak melihat Dirga, dia langsung melewatinya ke dalam pondok. Dirga mengamati heran. Sepertinya semua kekhawatirannya tidak beralasan. Gadis itu tampak sehat dari rambut hingga ujung kepala. Kecuali noda tanah di bokongnya yang berbentuk hati besar. Dirga menahan senyumnya karena bayangan konyol Rania berkeliaran seperti itu sepanjang jalan. Lelaki itu mengikuti Rania ke dalam pondok. "Kamu mau makan malam sekarang? Aku akan meminta pegawai—" "Aku sudah makan tadi di bawah," tukas Rania ketus. Ia beranjak ke kamarnya. Sejenak memberikan tatapan judes sebelum menutup pintunya agak keras. Dirga tertegun. Ia bersedekap, menekuri pintu kamar gadis itu. Dia tidak paham, kenapa gadis itu bertingkah seakan Dirga sudah melakukan kesalahan yang sangat besar kepadanya. Apakah menemukan tasnya begitu mengesalkan? Ia sama sekali tidak punya bayangan apa pun yang bisa membuat nona-moody itu tiba-tiba marah kepadanya.. Dirga baru saja hendak beranjak saat pintu kamar Rania kembali terbuka. "Ah!" Rania terperanjat, mendapati sosok jangkung Dirga masih berdiri tidak jauh dari kamarnya. "Apa!?" dia mengangkat dagunya menantang. "Bagaimana tanganmu?" Dirga mengalihkan pandangan pada tangan yang bengkak. "Bukan urusanmu!" semprot Rania, menyenggol keras lengan Dirga dengan bahunya saat beranjak ke kamar mandi. Dirga mengamati koper yang tergeletak di atas tempat tidur. "Kamu mau ke mana?" tanyanya. "Kamu sudah menemukan penginapan baru?" Rania keluar lagi dengan peralatan mandi di tangan. "Pulang!" ketusnya sambil mendelik lalu masuk lagi ke kamar. Dirga menggelengkan kepalanya heran. *** Rania keluar dari kamar dengan tangan kirinya yang sehat menenteng koper besar berat itu susah payah. Ringisan keberatan membuat wajah Rania yang sebetulnya manis itu sama sekali tidak enak dilihat. Sebuah tas terselempang di bahu kanannya, dan tas lainnya tersampir di bahu kirinya, sementara tangan kanannya menggantung tegang di pinggangnya. Dirga tidak menoleh dari layar laptop. Rania mendengus melihat lelaki itu bergeming. Saat ia berusaha membuka pintu pondok, pintu itu sama sekali tak bergerak. "Duuh..." keluh Rania yang kerepotan, memuntur-muntir gagang pintu berusaha membukanya. "Dikunci ya...?" desahnya susah payah. Ia menghembuskan napas kasar, menoleh kepada Dirga. Ia malas sekali sebetulnya bicara kepada lelaki itu seandainya tidak sangat penting. "Kuncinya mana!?" ketusnya. Dirga mengangkat wajahnya yang setenang telaga. "Kamu mau ke mana?" "Pulang!" Lelaki ini sepertinya bodoh hingga harus mengutarakan pertanyaan yang sama berulang-ulang. "Pulang? Ke Jakarta? Kamu tidak lihat jam berapa ini? Sudah hampir jam 8. Jam berapa kamu sampai terminal Ciwidey? Terminal Bandung? Lalu sampai Jakarta?" "Itu bukan urusanmu!" desis Rania. "Cepat buka pintunya!" Apapun alasannya, dia enggan berlama-lama lagi bersama Dirga. Semakin cepat pergi darinya semakin baik. "Tidak," tanggap Dirga datar. "Hah!? Tidak!? Kamu pikir kamu siapa mengatur-ngaturku? Kalau aku mau pulang, artinya aku mau pulang! Buka pintunya atau aku akan berteriak!" ancamnya. Dirga menghela napas berat. Hari ini, dia harus menghadapi dua orang wanita yang membuatnya benar-benar lelah. "Dengar, Ran," Dirga menegakkan punggung dan bicara dengan nada tidak ingin dibantah. "Dipikir seperti apa pun aku ini merugi membiarkanmu tinggal gratis di sini." "Aku juga sudah kehilangan uang!" "Tadi siang kamu masih bilang ingin di sini hingga senin. Kenapa malam-malam begini kamu mendadak mau pulang?" "Apa yang mau kulakukan, itu urusanku!" "Yang pasti, ini pondokku, yang berlaku adalah peraturanku." "Oh, mau bertingkah seperti diktator, Tuan Abimanyu Dirga Kamajaya?" Rania menaikkan kedua alis tidak sudi. "Terserah kamu menganggapnya bagaimana. Aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai penanggung jawab. Diamlah semalam lagi dan besok pagi aku akan mengantarmu sampai terminal Ciwidey. Saat kamu mengirimkan fotoku pada kakakmu, sejak itu aku bertanggung jawab terhadapmu!" "Tidak, aku tidak mau! Aku tidak mau berdekatan dengan seorang pengkhianat! Itu membuatku muak," desis Rania geram. Dirga terhenyak, menatap Rania tajam. "Apa-kamu-bilang...?" Rania baru menyadari bibirnya telah berkata sekehendak hati. Tetapi, dia berada di pihak yang benar. Kenapa dia harus ragu mengutarakan isi hatinya? "Ya! Kamu dan perempuan tadi, Padma!" Seakan tersambar petir, Dirga tidak bisa lebih terkejut lagi. Ia kehilangan kata-kata, sementara Rania masih memaku tatapannya, menunggu jawaban—mungkin bantahan. "Aku tidak tahu kenapa kamu berpikir begitu. Aku dan Padma, kami hanya... sahabat saat kuliah. Dia sekarang adalah tunangan kakakku." Tidak pernah Dirga terdengar tidak yakin seperti saat ini. "Tidak lebih." "Tidak lebih? Jadi saat kamu berpelukan dengannya di kebun belakang itu apa? Adegan sinetron!?" Rania melotot gusar. Dirga terkesiap. Tertangkap basah. Sesal sempat melintas di wajahnya sebelum ia kembali memasang wajahnya dingin. "Kamu tidak tahu apa pun, dan aku tidak ada kewajiban menjelaskan kepadamu." "Ya! Aku tidak tahu dan tidak mau tahu! Kalian menjijikkan! Kamu, dan si Padma itu!" "Jangan bicara macam-macam mengenai Padma!" Dirga menuding penuh ancaman. "Cis! Ya, itu bukan urusanku," Rania tersenyum kecut. "Urusanku hanyalah, aku muak melihat pengkhianatan! Apalagi berdekatan, berada di pondok yang sama dengan seorang pengkhianat! Kalian benar-benar rendah, tahu!?" Gadis ini, bicaranya begitu kuat dan blak-blakan. Baru kali ini Dirga akhirnya benar-benar dicap sebagai pengkhianat. Benar, itu memang salah satu perbuatan paling hina yang bisa dilakukan manusia. "Kamu tidak tahu apa-apa tentang aku dan Padma!!" "Memang! Tapi aku tahu seperti apa sakitnya dikhianati!!" ucap Rania, getir. Matanya terasa sangat panas dan badannya gemetar. Dia ingat kembali seluruh lukanya. "Pengkhianat sepertimu, tidak akan tahu luka sebesar apa yang ditorehkan pada hati orang lain. Apalagi, dia kakakmu, Dirga, KAKAKMU!!" "CUKUP!!" bentak Dirga, rahangnya mengerang dan matanya membara. Dia sudah tahu kesalahannya. Dihakimi demikian membuat sakit tak terperi di hatinya. Keduanya bertatapan dengan pandangan tajam dan nanar. Dirga yang pertama kali menenangkan diri. Dia mengambil napas dalam dan mengalihkan tatapannya pada laporan yang sedang dikerjakannya, lalu bicara tanpa menatap Rania lagi. "Kamu tidak harus setuju dengan perbuatanku untuk tidur di sini. Aku tidak akan mengusikmu dan kamu tidak perlu mengusikku. Tapi jika kamu pergi sekarang dan terjadi sesuatu kepadamu, kamu pikir siapa yang akan direpotkan? Aku! Karena aku yang terakhir bersamamu dalam keadaan hidup!" Tengkuk Rania merinding. Dalam keadaan hidup... apa lelaki ini menakut-nakutinya? "Gunakan logikamu. Lihat keadaanmu. Sendirian, sakit, banyak barang bawaan, menempuh jarak yang jauh, menggunakan angkutan umum, larut malam seperti ini. Apalagi, kamu tinggal bersamaku dan mereka pikir kamu kerabatku. Diamlah semalam. Anggap aku tidak ada dan aku akan menganggapmu tidak ada. Yang pasti, aku tidak akan membukakan pintu itu." Dirga tidak ingin dibantah. Hidung Rania mengembang menahan amarah dan giginya menggeretak. Dia sepertinya semakin tidak menyukai lelaki di hadapannya ini. Tetapi... apa yang dikatakannya memang ada benarnya. Sejenak berpikir, akhirnya Rania berbalik dengan kesal, menyeret barang bawaannya ke kamar "BRAK!!!" Ia menendang keras pintu kamarnya. Dirga mendesis dan mengempaskan napas keras bersamaan dengan punggungnya yang menabrak sandaran sofa. Jari-jari tangannya menyisir rambut hitamnya resah Desisan gelisah terlepas dari bibirnya. Dirga mengamati pintu kamar Rania. Pengkhianat, tadi gadis itu menyebutnya. Rasa sakit yang begitu nyata menusuk hatinya mendengar tudingan yang ditujukan kepadanya. Tiba-tiba dia teringat kepada Raka. Jika dituding pengkhianat saja sudah begini menyakitkan, bagaimana dengan perasaan kakaknya itu yang menjadi korban pengkhianatannya? Dirga mengusap wajahnya galau dan kembali menghempaskan napas resah. Semoga saja, kali ini dia dan Padma benar-benar tetap konsisten terhadap keputusan yang mereka buat. Tepatnya, keputusan yang dia buat. *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD