Saatnya Berakhir

1200 Words
"Aku tahu Kakak berencana berobat lagi ke Singapura," Dirga berujar pada Padma yang tengah terisak di sampingnya. "Dan aku setuju kamu harus menemaninya. Kamu adalah semangatnya, Padma..." Lelaki itu menyentuh bahu gadis yang baru saja mengatakan tidak ingin berpisah dengannya itu. Padma menatap nanar. "Tapi... aku ingin bekerja membantumu," mohonnya. "Padma..." Dirga mendesah lelah. "Sudah kubilang, jangan memikirkanku lagi." "Apa kamu sudah berhenti memikirkanku?" suara Padma gemetar. Dirga mengeratkan rahangnya. "Ya." "Bohong!" Seru Padma. "Aku tahu kamu memiliki perasaan yang sama denganku." Padma memeluk Dirga erat. "Kumohon... Katakan kamu juga mencintaiku..." isaknya. Dirga membatu. Bibirnya terkatup rekat. Rania melewati rimbunan tanaman perdu serta pepohonan yang memenuhi bagian kebun belakang. Ada semacam patio di belakang pondok dengan beberapa meja dan tempat duduk bambu. Dari kejauhan dia bisa melihat sosok Dirga. Ia hendak memanggil, namun sesuatu terasa mengusiknya. Alis Rania bertaut, ia menelengkan kepala agar perdu tidak menghalangi pandangannya. Ponsel Dirga sudah berhenti berbunyi. Rania melihat sosok di samping Dirga. Bukan. Tepatnya, sosok yang menempel kepada Dirga: Padma. Gadis itu menyurukkan wajahnya di d**a Dirga. Mereka berpelukan. Erat. Rania terkesiap. Tubuhnya sontak membeku namun jantungnya berontak. Tidak mungkin... Dia tunangan kakakku. Rania memucat teringat ucapan Dirga, sangat mual. Seketika tubuhnya gemetar. Ia segera berputar pergi kembali ke pondok, merasakan dirinya mendadak demam sekaligus menggigil—panas dingin. Mungkin karena tangan yang terkilir mulai membengkak atau karena alasan lain. Dirga dan tunangan kakaknya? Bagaimana bisa? Hatinya berdenyut nyeri teringat adegan itu lagi. Ia ingat saat semalam sempat mengintip Dirga bersama Padma. Ia pikir keduanya memang terlihat mesra. Dan... ternyata... mereka berselingkuh. Dia menjatuhkan tubuhnya yang lemas dan mual di atas sofa. Ia sempat mengira Dirga berbeda. Dia bahkan sempat merasa kagum dan... Sekarang mengingat dirinya pernah terpesona kepada sosok Dirga membuat Rania jijik sendiri. Dia harus segera pergi. Ia tidak mau berada di dekat seorang pengkhianat seperti Dirga. Ia begitu marah dengan kenyataan yang dilihatnya. Pengkhianatan di depan matanya! Rania begitu kecewa, hingga air mata berderaian. Rasa sakit yang emosional di perutnya semakin kuat. Ia meletakkan ponsel Dirga di tempatnya, lalu beranjak ke kamar, meraih koper untuk membereskan barang-barangnya. Benar-benar tidak tahu diri! Memuakkan!! rutuk Rania penuh amarah. Bagaimana bisa dia mengkhianati Kakaknya sendiri? Dengan tunangannya!? Dia pria paling memuakkan yang pernah kutahu! Rania mengeratkan rahang. Susah payah ia membuka kopernya. Tangan yang terkilir sama sekali tidak berguna. Sedikit tenaga saja sudah mengundang nyeri yang sangat. Setidaknya, ia bergerak secepat yang ia bisa. Ia akan pergi segera. Namun tiba-tiba, dia teringat sesuatu. Tas yang dia pakai untuk jalan-jalan pagi ini, tidak ada! Rania panik, sepertinya dia sudah meninggalkan tas itu di suatu tempat. Dengan gusar gadis itu keluar lagi dari cottage. *** Dirga menjauhkan Padma satu lengan darinya. "Semuanya harus berakhir. Kamu sudah memutuskan. Kamu memilih Kakak..." lirihnya. "Ini harus dihentikan." "Tapi aku ingin bersamamu." Sekali lagi Padma menghiba. "Tidak bisa," suara Dirga menegas. "Mungkin butuh waktu lama bagi kita hingga semuanya kembali seperti semula. Tetapi akan lebih mudah jika kita menjaga jarak, dan bisa dimulai dengan kamu mengikuti Kakak ke Singapura untuk menjaganya di sana." "Tidak!" Padma gemetar. "A-aku akan mengatakan kepada Mas Raka..." "Kalau kamu menyakitinya!" Dirga menatap getir, rahangnya mengetat. "Kalau kamu menyakitinya, aku tidak akan pernah memaafkanmu!" "Jadi kamu lebih memilih aku yang tersakiti?" Padma terluka. "Aku tidak memikirkan hal ini sehari dua hari. Setahun, aku sampai pada keputusan ini. Aku yakin Kakak bisa membahagiakanmu. Jika kita memaksakan kehendak, terlalu banyak yang akan terluka. Kita akan meremukkan hati orang-orang yang kita sayangi." Dirga menyentuh pipi Padma yang basah, mengusap air matanya. "Aku tidak akan bisa menyakiti mereka. Aku yakin kamu juga begitu." "Kamu tidak mengerti..." Padma terisak, menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangan. "Aku tidak bisa mencintai Mas Raka seutuhnya. Saat melihat sisi wajahnya yang mirip denganmu, rasanya aku berharap dia itu kamu. Aku hanya... dalam kepalaku, dalam hatiku, aku hanya mencintaimu." "Terlambat," Dirga gusar. "Berkali-kali kukatakan, seandainya kamu memutuskan hubunganmu dengan Kakak, aku tetap tidak akan bisa terus bersamamu!" Ia mengepalkan tangannya yang gemetar. "Pulanglah. Pergi dengan Kakak ke Singapura. Atau..." "Atau...?" raut Padma waswas, merasakan ancaman yang menggantung. Dirga menoleh dan menatap Padma tegas. "Aku yang akan pergi keluar negeri." Mata Padma melebar. "Tidak... kamu... kamu tidak mungkin serius..." "Aku serius. Seserius itu aku ingin mengakhiri semua ini. Aku... kepadamu..." Dirga tidak pernah bisa mengucapkannya. "Sebesar apa pun perasaan itu, sekarang semuanya salah. Mungkin awalnya perasaan kita tidak salah, tetapi waktu yang telah membuatnya salah. Karena sekarang kamu sudah milik orang lain. Yang kita lakukan tidak lebih dari mengkhianati orang-orang yang kita cintai." Dirga berpaling. "Pulanglah. Semuanya harus berakhir." Dirga bisa merasakan tangan gadis itu gemetar, tetapi Dirga tidak lagi memandangnya. Dirga tertunduk, menyerah pada takdir kisah kasih mereka. Ia tidak akan mengangkat wajahnya, tidak akan menatap Padma. Karena jika dia melihatnya... "Sekali saja, katakan kamu mencintaiku..." mohon Padma, melirih di tengah air matanya. "Sekali saja..." pintanya. Dirga tahu dia akan goyah dengan keputusannya jika kalimat itu terucap. "Tolong pergilah, Padma..." pinta Dirga, mengeraskan rautnya sebagaimana hatinya. "Bahagiakanlah Kakak... Kumohon." Padma menelan ludah. Sulit, gumpalan kesedihan itu terlalu keras mencekik lehernya. Ia tidak mengira kedatangannya adalah untuk kehilangan Dirga. Semalam, Dirga sudah mengatakan hal yang sama. Tetapi biasanya Dirga akan luluh keesokan harinya. Tetapi hari ini, Padma tahu Dirga telah bersikukuh dengan keputusannya mengakhiri hubungan mereka. "Biarkan aku memelukmu sekali lagi saja," pinta Padma menghapus air matanya. Dirga bergeming. Padma berdiri dan memeluk pundak kokoh Dirga, menyandarkan kepala lelaki itu ke dadanya. Dirga bisa merasakan debaran jantung Padma, dan pelukan hangat gadis itu. Ia ingat, hari di mana mereka berdua terikat. Hari itu juga... debaran Padma, kehangatannya, aroma tubuhnya... Seperti hari ini. Saat itu Dirga dan Padma baru saja pulang dari pembubaran panitia orientasi mahasiswa. Saat sedang menyeberang jalan, tiba-tiba sebuah mobil oleng ke arah mereka. Dirga mendorong Padma. Mobil itu menghantam Dirga sangat keras. "Dirgaaa!!!" Padma histeris, menghampiri Dirga sambil terus berseru minta tolong. Ia lalu memeluk erat Dirga yang sedang tergeletak. "Dirga, bertahanlah... bertahanlah..." Dirga di ambang kesadarannya. Semua menyepi, semua melambat. Hanya detakan jantung Padma, pelukannya dan aromanya yang Dirga ingat serta suaranya yang meminta Dirga bertahan—lamat-lamat mengisi gendang telinganya. Padma menemani Dirga di dalam ambulan, serta di rumah sakit. Saat Dirga tersadar, ia melihat gadis itu terbaring di sampingnya. Padma menyumbangkan darah untuknya. Sejak hari itu, darah Padma mengalir dalam darahnya. Pemikiran yang romantis, meski diperlukan kejadian tragis untuk mewujudkannya. Mereka sudah 'bersama'. Dengan naif Dirga berpikir mereka akan selamanya begitu walau tanpa cinta berbentuk kata. Namun sekarang sudah saatnya bangun dari mimpi. Asa cinta mereka harus diakhiri. Mempertahankan harapan kosong hanya akan membuat mimpi menjadi usang, bukan mewujudkannya. "Kamu harus pergi," Dirga memutuskan untuk Padma, memecahkan hening antara mereka. Ucapan lelaki itu yang kesekian kali, membuat pelukan Padma semakin erat. Lantas telapak Padma yang lembut mengusap rambut Dirga, memamerkan sebuah luka di dahi kanannya. Luka yang pernah Dirga dapatkan demi melindungi seorang Padma. Padma menundukkan wajahnya, berusaha mendekatkan bibirnya ke luka itu. Dirga melepaskan diri. Gerakan Padma terhenti. "Aku harus kembali lagi ke kantor," tukasnya tanpa memandang Padma. Padma menjatuhkan tangan lunglai. Melipat bibirnya pilu. Sepertinya kelemahan hatinya dulu sudah membuat dia kehilangan Dirga. Tanpa bicara Padma melangkah pergi. Dirga masih berusaha tidak memandang, bahkan hanya sekadar punggungnya. Ia berharap dengan begitu, sisa-sisa Padma benar-benar bisa menghilang darinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD