Sadar kalau Sona tidak mungkin mendengar apa pun yang Alin ucapkan, Alin kembali bergumam, "Dasar sok ganteng! Bisa-bisanya ada manusia sejudes ini."
Kembali, Alin menoleh pada Sona dengan pandangan sinis. Sementara Sona tampak sibuk menatap monitor dengan kepala sedikit bergerak teratur, khas orang yang sedang mendengarkan musik.
"Kalau Mbak Dewi nggak ngajak pergi bareng ... aku pasti nggak akan nge-iya-in ajakan Kak Bayu tadi. Kurang kerjaan banget. Bahkan, aku nggak akan terjebak di tempat pria judes ini," gumam Alin lagi dengan nada kesalnya. Ia lalu mulai membereskan rak buku milik Sona sambil bermonolog sepuas hati karena sadar betul Sona tidak mungkin mendengar ucapannya. Bebicara begini sepertinya akan membuat Alin merasa lega. Ia perlu meluapkan kekesalannya sampai plong.
Tunggu, jika Alin perhatikan ... buku-buku di rak ini didominasi oleh novel-novel karya Scarlett Faulia, salah satu penulis populer di negeri ini. Tak jarang, para penggemarnya menyebut SF (Singkatan dari Scarlett Faulia) dengan sebutan Ratu Romantis saking romantisnya tokoh dan cerita yang ditulis SF. Sampai sini Alin jadi menyimpulkan kalau Sona adalah salah satu penggemar Scarlett Faulia.
"Enggak nyangka, dari segi muka sama sekali nggak kelihatan suka baca. Eh ternyata koleksi bukunya sebanyak ini," gumam Alin lagi.
"Jadi ingat Mbak Dewi. Nenek lampir itu juga suka banget baca novel." Bahkan, kemarin juga Alin yang dibaca Dewi juga merupakan karya Scarlett Faulia.
Sambil terus menata puluhan bahkan ratusan novel-novel itu, Alin kembali berbicara sendiri, "Ah, kenapa aku jadi ingat tentang kesukaan Mbak Dewi? Kurang kerjaan banget. Apa? Mas Rio minta aku menghargai upaya Mbak Dewi buat akur? Helooo, aku yakin itu cuma modus doang. Aslinya dia itu masih menganggap aku musuh bebuyutan."
"Damai? Astaga, nggak sesederhana itu. Permasalahan antara kami nggak sepele. Coba pikir, siapa yang bisa terima sama perlakuan Mbak Dewi dulu?" Alin seolah mengajak bicara novel-novel yang tengah dibereskannya.
"Jadi gini ... dulu Mbak Dewi itu pernah ngelabrak aku dan bilang kalau aku ngerebut pacarnya. Gilanya, dia kayak orang nggak waras, bisa-bisanya mempermalukan aku di depan semua orang. Dia cetak foto aku dalam selebaran ditambah tulisan 'wanita ganjen perebut pacar orang'. Psycho-nya lagi ... dia bagi-bagiin selebaran itu di depan gerbang sekolah aku. Oke, saat itu aku masih SMA, dan Mbak Dewi udah kuliah. Tapi harusnya otak dia udah terbentuk, kan? Kok bisa-bisanya ngelakuin hal gila kayak gitu?" Alin mengatakannya dengan nada kesal bercampur emosi. Ah, membahas masa lalu dirinya dengan sang kakak ipar memang tidak pernah bisa kalau tanpa emosi.
"Enggak cuma sampai di situ. Di depan banyak orang, Mbak Dewi beserta geng-nya ngelabrak aku. Di depan banyak orang juga, dia mengancam kalau hidupku nggak akan tenang selamanya."
"Dia berlebihan banget, kan? Padahal ya, aku sama sekali nggak ngerebut pacar dia. Malah sebaliknya, pacar dia yang deketin aku dan itu pun aku tolak. Dasar orang gila. Dia beneran psycho!"
"Setelah kejadian pelabrakan dan penyebaran selebaran konyol itu, aku sampai sekarang nggak akan pernah lupa sama apa yang terjadi di antara kami. Dia bikin aku tekenal dalam sekejap. Memalukan."
"Mau tahu apa yang lebih konyol? Beberapa tahun kemudian Mbak Dewi datang ke rumah, dengan Mas Rio memperkenalkan nenek lampir itu sebagai calon istrinya. Tentu aku nggak setuju. Sialnya Mas Rio bucin banget sama Mbak Dewi sampai mengesampingkan fakta kalau Mbak Dewi pernah melakukan hal gila yang sulit aku maafkan."
"Mas Rio berdalih kalau itu cuma masa lalu. Masa remaja yang layak dimaklumi. Helo? Dia udah bikin aku malu banget. Memaafkan aja susah, apalagi melupakan? Susah banget!"
Sampai sekarang Alin memang kesal jika ada orang yang menganggap sepele permasalahan dirinya dengan sang kakak ipar. Sungguh, Alin ingin bertukar posisi dengan yang berani menyepelekannya. Rasakan sendiri betapa malunya berada di posisi Alin dulu.
"Ah, kalau dipikir-pikir ... ancaman Mbak Dewi beneran jadi kenyataan. Hidup aku beneran nggak tenang sampai detik ini. Bisa-bisanya nenek lampir itu jadi kakak iparku. Dia berhasil bikin aku menderita dengan menjadi adik iparnya. Apalagi sekarang harus tinggal serumah."
"Sial. Kayaknya aku juga jadi terbiasa manggil nenek lampir itu dengan sebutan Mbak."
"Kenapa juga aku tiba-tiba mengenang masa lalu? Apa aku udah gila sekarang? Bisa-bisanya cerita ke buku-buku. Semenyedihkan itukah aku sampai curhat pun ke benda mati?"
Alin secepatnya menggeleng. "Baiklah, mari lanjut beresin ini. Lebih cepat beres, lebih cepat pulang dan terbebas dari kakek lampir itu."
Ya, setelahnya Alin benar-benar fokus membereskan buku-buku di rak milik Sona.
Waktu terus berlalu. Satu jam kemudian Alin sudah selesai dengan siksaan berkedok cara berterima kasih yang dijalaninya. Ia benar-benar bisa pulang sekarang.
Sebelum keluar, Alin menoleh pada Sona yang posisinya masih seperti tadi. Alin rasa dirinya tidak perlu izin dulu. Lagi pula untuk apa? Lebih baik secepatnya ia meninggalkan tempat ini.
"Udah selesai?" Suara Sona yang tiba-tiba membuat Alin agak terkejut.
Alin yang baru saja hendak pergi tentu menoleh pada Sona yang kini sedang berjalan menghampirinya. Mau tidak mau Alin mengurungkan niatnya untuk melangkah.
"Kelihatannya?" jawab Alin kemudian.
"Oh, jadi lo mau langsung kabur gitu aja?"
"Maksudnya apa? Kenapa nggak boleh pergi? Jadi aku harus di sini aja gitu? Atau Mas Sona mau ngasih tugas lain?" Kesabaran Alin perlahan terkikis. Sudah bagus ia tidak meledak sejak tadi.
Alih-alih menjawab, Sona malah melepas earphone-nya lalu semakin mendekat pada Alin. Berjalan melewati tempat Alin berdiri, rupanya pria itu sedang memeriksa rak bukunya.
Selama beberapa saat Sona tampak meneliti. Sampai pada akhirnya ia berkata, "Oke, lumayan. Meskipun kurang rapi."
Sebenarnya itu pujian atau kritik, sih? Alin tidak habis pikir.
"Sekarang aku mau pulang. Udah clear ya sekarang, aku nggak punya utang terima kasih lagi." Setelah mengatakan itu, Alin langsung bergegas meninggalkan Sona.
Baru beberapa langkah berjalan keluar ruangan itu, sebelum menuruni tangga, Alin kembali menoleh ke belakang. Bukan tanpa alasan, Alin merasa Sona mengikutinya. Dan benar saja, pria itu kini berjalan di belakangnya.
"Mas Sona kenapa ngikutin aku? Urusan kita udah selesai, kan?"
"PeDe banget. Gue mau ke minimarket."
"Hah? Mau ngapain?"
"Kenapa lo mau tahu?"
"Bukannya gitu, tadi siang Mas Sona, kan, udah ke sana. Kenapa sekarang ke sana lagi? Bahkan ini udah malam."
"Ternyata lo banyak mau tahu urusan gue ya?"
"Astaga. Ya udah terserah." Tanpa menunggu respons jawaban Sona, Alin cepat-cepat menuruni tangga.
Alin tidak tahu seberapa cepat langkah Sona karena secepat apa pun Alin melangkah, Sona selalu berada di belakangnya.
"Alin...." Ucapan Sona membuat Alin menghentikan langkahnya, padahal ia sudah hendak keluar gerbang. Boleh dibilang, ini pertama kalinya Sona menyebutkan namanya. Jujur, Alin merasa ada aneh yang tidak bisa dijelaskan.
Saking herannya, Alin sampai tidak menjawab. Jangankan menjawab, menoleh pun tidak dilakukannya.
"Thanks ya udah beresin rak buku gue," sambung Sona.
Kalau sudah begini, Alin merasa Sona memiliki kepribadian ganda. Ya, mana sifat galak dan judesnya yang selama ini ditampilkan? Bahkan sekitar lima menit yang lalu ... Sona masih bertahan dengan sifat menyebalkannya. Kenapa sekarang tiba-tiba berterima kasih?
Tanpa menjawab, karena rasanya aneh jika harus merespons dengan kalimat 'sama-sama' atau 'terima kasih kembali', Alin pun bergegas pergi meninggalkan area depan rumah Sona.
Namun, saat berjalan menuju rumah Rio, tiba-tiba Alin dikejutkan dengan suara seseorang yang memanggil namanya. Bukan ... kali ini bukan Sona yang memanggilnya, melainkan suara pria lain yang rasanya tidak asing di telinga.
Benar saja dugaan Alin, pria yang memanggilnya adalah Bayu. Terpaksa Alin memutar tubuhnya untuk menoleh pada pria yang mengaku sebagai seniornya di sekolah dulu itu.
"Kamu dari mana?" tanya Bayu yang kini sudah berhadapan dengan Alin.
Alin harus menjawab apa? Kenapa rasanya aneh jika dirinya berkata jujur?
"Oh, nggak usah dijawab kalau kamu keberatan," sambung Bayu seolah peka. "Ngomong-ngomong besok ada acara nggak?"
"Kenapa?" jawab Alin canggung.
"Mau ngajakin jalan-jalan, itu pun kalau kamu senggang dan mau."
"Ke mana?"
"Ke mana aja, kamu baru di sini dan aku bisa ajak kamu ke tempat-tempat menarik. Gimana?"
"Alin." Belum sempat Alin menjawab, suara Sona kembali terdengar dan kali ini pria itu memanggil Alin lagi.
Spontan Alin menoleh.
"Gue mau ngomong."
"Ngomong? Ngomong apa lagi, Mas?"
"Gue rasa jangan di sini."
"Astaga, tinggal bilang aja. Apa susahnya? Lagian mau ngomong apa lagi, sih? Aku rasa kita udah nggak punya urusan lagi."
"Gue tahu. Ya, gue tahu kacaunya hubungan lo sama kakak ipar lo."
Tentu saja Alin terkejut. Ia bahkan sampai melebarkan penglihatannya.
Alin berusaha tenang. "Maksud Mas Sona apa ngomong begitu?"
"Gue tahu kalau lo sama...."
"Oke, jangan di sini ngomongnya," potong Alin.
Sedangkan Bayu tampak dipenuhi kebingungan dengan pembicaraan antara dua orang di hadapannya.
"Gue, kan, tadi udah bilang, sebaiknya jangan di sini ngomongnya."
"Maaf Kak Bayu, aku duluan." Tanpa ba-bi-bu lagi, Alin langsung menarik Sona ke tempat yang lebih sepi, meninggalkan Bayu yang kini menunjukkan tatapan bingung.
"Tolong jelasin apa maksud Mas Sona," pinta Alin saat dirinya dengan Sona sudah menjauh dari Bayu.
"Gue sebenarnya tadi dengar. Saat lo ngomong sendiri selayaknya orang gila ... gue dengar. Semuanya."
"Apa?" Tentu saja Alin syok.
Ya, rupanya Sona tidak benar-benar mendengarkan musik. Sebaliknya, Sona malah mendengarkan setiap kata demi kata yang Alin lontarkan.
Astaga, kenapa perasaan Alin mendadak tidak enak?