Bab 8 - Tetanggaku Semuanya Pria!

1225 Words
Alin benar-benar menurut untuk tidak banyak bicara. Meski begitu, ia fokus mendengarkan arahan Sona. Ia yakin ini kali pertama dan terakhir keliru atau nyasar. Ya, setelah ini semua itu tidak akan terjadi lagi karena ia sudah menghafal setiap detailnya, sesuai arahan Sona. Alin bahkan merasa konyol. Padahal jalan menuju rumah Rio tidak serumit itu. Bisa-bisanya ia tadi kesulitan menemukannya. Seperti orang linglung. Saat ini motor yang Alin kendarai semakin dekat dengan rumah mereka. Dari kejauhan, baik Alin maupun Sona melihat Nino sedang menggotong paket besar milik Alin. Rupanya Nino berusaha membawa benda berat itu dari rumahnya menuju ke depan rumah Rio. Ah, betapa baiknya Nino. Alin bahkan tidak meminta Nino untuk menggotongnya, tapi pria itu berinisiatif sendiri membantunya. Hal itu semakin memperjelas perbedaan karakter antara Nino dan Sona. Kadang Alin berpikir, Sona itu punya masalah apa, sih, dalam hidupnya? Terlepas dari sifatnya begitu ... tetap saja tidak wajar bagi Sona untuk memperlakukan Alin seperti ini. Bukankah aneh Sona memperlakukan Alin seakan musuh bebuyutan padahal baru saling mengenal. Kenal pun lantaran Alin sempat salah rumah. Jika tidak, jelas mereka tidak akan mengenal satu sama lain. Menghentikan motornya tepat di depan rumah Rio, Alin dan Sona langsung disambut dengan wajah tanda tanya Nino. Pria itu baru saja meletakkan paket Alin di depan gerbang rumah Rio. Sedangkan Sona langsung bergegas turun meninggalkan Alin dan Nino tanpa sepatah kata pun. Ya, Sona langsung menuju rumahnya, padahal Alin belum sempat berterima kasih. Nino pun tampak tidak heran adiknya bersikap seperti itu. "Makasih ya, Mas Nino. Maaf juga jadi repotin gini. Paketnya pasti berat," kata Alin sambil membuka gerbang lebar-lebar. "Bukan masalah. Saya nggak keberatan, kok." Nino kembali menggotong paket itu, membawanya memasuki gerbang. Bersamaan dengan itu, Alin pun memasukkan motornya. "Ngomong-ngomong kalian dari mana? Kenapa tiba-tiba boncengan?" tanya Nino kemudian. Setelah memasukkan motor ke garasi, Alin cepat-cepat membuka pintu rumah yang semula dikunci. Sambil Nino menggotong paket menuju kamar Alin di lantai dua, selama itu pula Alin menceritakan hal konyol yang baru saja dialaminya sekaligus jawaban atas pertanyaan Nino barusan. Tentu saja Nino tertawa. "Jadi itu alasannya kamu tadi nelepon saya?" tanyanya usai meletakkan paket itu di kamar Alin. Mereka kini kembali menuruni tangga menuju lantai satu. "Itu pasti nomormu, kan? Tadi saya sempat menyamakan dengan nomor yang tertera di paket," lanjutnya. "Iya, Mas. Habisnya aku nggak tahu harus hubungi siapa lagi." "Sebelumnya terima kasih udah menjadikan saya orang yang kamu cari saat mendapati kesulitan, hanya saja saya minta maaf ... tadi saya lagi di jalan menuju pulang dan ponselnya ada di tas, pakai mode diam," jelas Nino. "Eng-nggak apa-apa kok, Mas. Aku justru berterima kasih Mas Nino udah bantu bawain paketnya menuju lantai atas, padahal berat banget." "Sebenarnya saat sampai di rumah ... saya telepon balik kamu, tapi nggak diangkat." Alin tentu saja terkejut. "Oh ya? Maaf kalau gitu, ponsel aku pun di tas dan di-silent." Alin jadi berpikir, mungkinkah jika tadi ia sabar sedikit lagi dan tidak perlu menelepon Sona, pasti Ninolah yang akan menjemputnya. Bukan Sona. Ah ... kalau itu terjadi, Alin pasti tidak akan mendapatkan omelan sekaligus berhadapan dengan si judes Sona. Namun, terlepas dari itu Alin seharusnya berterima kasih. Sejudes atau semenyebalkan apa pun Sona, tidaklah mengubah fakta bahwa pria itu baru saja menolongnya. "Jangan minta maaf, bukan salah kamu, Alin." Alin tersenyum kikuk. "Sekali lagi terima kasih ya, Mas Nino." "Kalau begitu saya pamit dulu, ya. Saya baru banget pulang kerja, pengen mandi. Sejujurnya saya pulang lebih awal hari ini." Alin mengantar Nino sampai depan, sekaligus hendak mengunci gerbang dari dalam juga. Tiba-tiba Alin jadi kepikiran ... bagaimana cara berterima kasih pada Sona? Haruskah ia mengirimi pria itu pesan di nomor yang tadi? *** Usai membongkar paket sekaligus membereskannya, tidak terasa hari sudah menjelang malam. Alin melakukan itu mulai jam empat sore, dan sekarang sudah pukul tujuh malam. Alin mulai merasa lapar. Sebenarnya tadi Dewi sempat bolak-balik beberapa kali untuk menawarkan makanan untuknya, tapi Alin terlalu sibuk sehingga terus menolak. Selain itu, ia masih canggung jika harus makan berdua dengan kakak iparnya mengingat Rio belum pulang. Entah sampai kapan kecanggungan ini akan hilang. Mungkinkah sampai masa lalu bisa dihapuskan? Dalam kata lain mustahil, bukan? Alin tiba-tiba teringat sesuatu. Bukankah kemarin tukang sate berhenti di depan sekitar jam segini? Alin secepatnya menuju balkon dan senyuman tampak mengembang di bibirnya saat mendapati yang diharapkannya benar-benar ada. Selain karena lapar dan sate adalah makanan yang disukainya, jika kebetulan ada Sona di sana, Alin akan sekalian mengucapkan terima kasih pada pria itu. Semenyebalkan apa pun Sona, tetap saja tidak menghapus fakta bahwa hari ini pria itu sudah menjadi pahlawannya. Dalam hitungan detik, Alin sudah menyerbu jaket dan dompetnya. Tidak lupa ponselnya ikut masuk kantong. Alin berjalan menuruni tangga menuju lantai bawah, sepertinya Dewi sedang di kamar, syukurlah kalau begitu sehingga Alin tidak perlu repot-repot menjawab pertanyaan Dewi yang sudah pasti akan bertanya, 'mau ke mana, Lin?' Saat menyeberang menuju tempat tukang sate berhenti, dari kejauhan tampak seorang pria yang sepertinya sedang memesan sate juga. Anehnya pria itu tampak tidak asing, tapi yang jelas bukan Sona maupun Nino. Tepatnya di mana Alin pernah bertemu pria itu? Sampai pada akhirnya, Alin sudah tiba dan langsung memesan satenya untuk dimakan di sini. Bersamaan dengan itu, pria yang tampak tidak asing menoleh pada Alin yang baru saja hendak bergabung untuk duduk di kursi paling ujung, agak jauh dari pria itu. "Alin?" Astaga ... Alin baru ingat. Pria ini adalah Bayu, pria yang mengaku pernah menjadi kakak kelasnya. "Ya ampun, baru aja aku kepikiran buat datang ke rumah kamu." "Eh? Mau ngapain?" Karena tidak enak, Alin akhirnya memutuskan duduk di kursi hadapan pria itu. "Aku tadi menyesal, nggak sempat minta nomor ponsel kamu," terang Bayu. "Kabar baiknya kita ketemu lagi di sini. Tapi nggak masalah, sih. Toh, tempat tinggal kita deketan." "Deketan?" Tentu saja Alin tidak tahu karena tadi siang ia sedikit pun tidak menyimak yang Bayu katakan. "Loh, aku udah bilang tadi siang. Rumahku depan-depanan sama nomor 20, sedangkan tempat tinggal kamu nomor 21." Bayu mengulangi penjelasannya. "Lihat ... itu rumahku, dan itu tempat tinggal kamu," tegasnya kemudian. Sontak Alin terkejut. Tidak menyangka ia begitu cepat mengenal orang-orang di lingkungan sini. Parahnya lagi, semuanya pria. Pembicaraan mereka terhenti saat tukang sate itu meletakkan pesanan Bayu di meja, sedangkan pesanan Alin pastinya masih belum jadi. "Ya ampun, aku lupa sesuatu." Bayu sontak berdiri, membuat Alin mendongak penasaran. "Aku lupa matiin keran kamar mandi, dan di rumah lagi nggak ada siapa-siapa," jelas Bayu meskipun Alin tidak bertanya. "Aku pulang sebentar, ya," pamitnya kemudian. Bayu bahkan sempat berbicara sebentar pada tukang sate bahwa pria itu tidak bermaksud kabur meninggalkan pesanannya. Lagi pula pria itu sudah lebih dulu membayarnya saat memesan tadi. Setelah Bayu pergi, sate Alin pun siap untuk disantap. Alin yang semula fokus pada piringnya, mengira bahwa Bayu hanya memerlukan beberapa detik untuk pulang ke rumah lalu kembali lagi. Bagaimana tidak, Bayu baru saja pergi, sekarang sudah kembali lagi. Bukankah aneh? Hal yang lebih aneh lagi, suara pergerakan kursi yang terdengar rupanya bukan yang ada di hadapan Alin, melainkan kursi paling ujung yang sempat hendak Alin duduki tadi. Tunggu ... berarti itu bukan Bayu! Alin sontak menoleh, ternyata Sonalah yang sudah duduk manis di sana. Alin tidak tahu sebenarnya Sona tadi sedang memesan sate, bahkan saat Bayu belum pulang ke rumahnya untuk mematikan keran air. Melihat Sona yang sedang sibuk memainkan ponselnya, Alin pun memberanikan diri memanggil nama pria itu. "Mas Sona...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD