Seperti orang konyol yang dicampakkan. Bisa-bisanya Alin terus memanggil Sona dan lagi-lagi tidak ada jawaban. Alin tahu Sona memang hampir tidak pernah meresponsnya, tapi kali ini jujur saja Alin ingin melemparkan piring di hadapannya jika saja ia tidak ingat bahwa tujuannya memanggil pria itu untuk mengucapkan terima kasih.
Alin merasa jika Sona mengikuti lomba judes dan cuek, pria itu kemungkinan besar akan menang juara satu. Entah orangtuanya ngidam apa apa dulu sehingga terciptalah pria sejenis Sona.
"Aku mau bilang makasih buat yang tadi siang. Aku bersyukur banget Mas Sona mau menolongku," kata Alin seramah mungkin.
Masih tidak ada jawaban. Jangankan menjawab, menoleh saja tidak.
"Aku cuma mau bilang itu aja, sih. Soalnya tadi siang nggak sempat, keburu pergi Mas Sonanya. Sekali lagi terima kasih ya, Mas."
“Baiklah ... mari anggap Sona bisu,” batin Alin.
Jika bukan bisu, mari anggap Sona patung atau batu sekalian. Memangnya apa susahnya merespons pembicaraan orang, sih? Haruskah Alin menganggapnya tuli juga?
Lagi pula yang penting Alin sudah berterima kasih. Terlepas dari pria itu tidak menjawabnya, tetap saja Alin yakin Sona mendengarnya.
Untungnya kini Bayu sudah kembali, setidaknya kekesalan Alin sedikit teralihkan.
"Wah, kamu belum makan? Nungguin aku, ya?" tanya Bayu penuh percaya diri, padahal Alin tidak kepikiran sama sekali untuk menunggu pria itu. Jika saja tidak 'berbicara sendiri' barusan, pasti Alin sudah menyantap satenya.
Bayu lalu duduk. "Selamat makan, Alin."
Tentu saja Alin hanya tersenyum kikuk. Ia tidak menyangka makan bersama pria-pria berkepribadian yang bertolak belakang.
Selama beberapa saat mereka fokus dengan makanannya, Sona pun tampak mulai makan karena pesanannya juga sudah matang.
"Oh ya, Lin ... aku minta nomor kamu dong," pinta Bayu seraya menyodorkan ponselnya pada Alin.
Tentu saja Alin tidak mungkin bertanya, 'buat apa?' atau 'nomorku cuma satu, kok diminta?' Sumpah demi apa pun Alin tidak mungkin mengatakan itu semua. Alin pun tidak punya alasan untuk menolak. Jika nanti ternyata Bayu dirasa mengganggu atau membuatnya tidak nyaman, Alin hanya perlu mengabaikan atau mungkin memblokirnya saja, bukan?
Setelah nomor Alin tersimpan, Bayu tersenyum. Ia tidak lupa menelepon Alin, "Itu nomorku. Save juga, ya," kata Bayu lagi.
"Oh ya, aku masih simpan foto-foto zaman sekolah dulu loh. Entah foto yang seangkatan, senior bahkan junior. Termasuk kamu yang langganan jadi MC setiap acara-acara sekolah," jelas Bayu seolah dirinya dengan Alin sudah sangat akrab.
Ya, Alin merasa pria yang satu ini tipe orang yang mudah akrab. Bayu cenderung pandai mengakrabkan diri, padahal Alin sebetulnya tidak terlalu mudah akrab dengan orang baru.
"Ya ampun, jangan bilang foto-foto aib, Kak," balas Alin sambil menatap layar ponselnya untuk menyimpan nomor Bayu yang baru saja meneleponnya.
"Mau lihat?" tawar Bayu.
Setelah menyimpan nomor Bayu, bersamaan dengan itu Alin mendapatkan pesan masuk dari Dewi. Kakak iparnya itu ingin mengajaknya ke swalayan.
Benar, Alin memang ingin membeli beberapa hal yang dibutuhkannya. Tapi ia tidak ingin bersama Dewi. Ia lebih baik pergi sendiri atau tidak pergi sama sekali jika ternyata harus bersama Dewi.
"Kalau mau lihat, aku bisa tunjukkin," tambah Bayu.
Mendengar perkataan Bayu, Alin seakan mendapatkan angin segar. Ia memang butuh alasan untuk menolak ajakan Dewi, dan melihat foto-foto itu bukankah bisa menjadi salah satu alasan? Alin hanya tidak ingin terlalu kentara tidak menyukai Dewi. Ia sebisa mungkin harus meminimalisir peperangan.
"Bo-boleh," jawab Alin setengah ragu dan setengah yakin.
"Wah, maunya kapan? Sekarang juga bisa, sih. Selesai makan, kamu mampir aja ke rumahku."
"Gimana kalau cari tempat lain. Di depan ada kafe atau taman, kan?"
"Aku ngerti kamu takut aku berbuat jahat, ya?" kekeh Bayu. "Maksudnya di gazebo depan rumahku. Aku nggak akan minta kamu masuk ke rumah, kok. Lagian orangtuaku lagi nggak ada di rumah. Bisa-bisa aku diomelin kalau bawa masuk perempuan saat rumah sepi," sambungnya sambil membuka segel minuman dalam botol untuk Alin.
"Oh ... ya udah oke," jawab Alin sambil membalas pesan Dewi bahwa dirinya tidak bisa ikut pergi. "Ngomong-ngomong thanks udah dibukain ya, Kak."
Tanpa terasa, baik Alin maupun Bayu sudah menghabiskan makanan mereka masing-masing. "Kalau gitu, aku telepon temen-temen dulu, ya."
"Loh, Kak Bayu udah ada janji sama temen? Kalau begitu lihat fotonya kapan-kapan aja, Kak."
"Cuma tongkrongan biasa, nggak hadir hari ini ... kan bisa lain waktu," balas Bayu. "Sebentar ya, Lin." Saat ini Bayu mulai menempelkan ponsel ke telinganya. Pria itu bahkan agak menjauh agar bisa berbicara lebih nyaman.
Sedangkan Alin kini beranjak untuk membayar pesanannya. Ia jadi teringat kemarin Sona sudah mentraktirnya tanpa bilang-bilang. Alin jadi berinisiatif untuk membalasnya dengan melakukan hal yang sama. Selain itu, Sona juga sudah membantunya tadi siang. Jadi, anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih.
Sejenak, Alin menoleh pada Sona yang tampaknya sudah menghabiskan makanannya. Pria itu masih duduk dan saat ini sedang minum. Itu sebabnya Alin harus cepat-cepat membayarnya sebelum Sona menghampiri tukang sate.
"Pak, sekalian bayarin Mas Sona ya," ucap Alin pelan, jangan sampai pria judes itu mendengarnya.
"Oh, boleh." Tukang sate itu tersenyum lalu menyebutkan nominal yang harus Alin bayar.
Alin merasa lega setelah selesai membayarnya dan mendapatkan uang kembalian. Sebelum pergi, ia ingin menoleh pada Sona sebentar, memastikan pria itu masih duduk seperti semula.
"Lo ngapain?" tanya Sona saat Alin memutar tubuhnya.
Bukan pertanyaan yang membuat Alin terkejut bukan main, melainkan rupanya pria itu sudah berada di belakangnya, entah sejak kapan. Dan kali ini mereka berdiri berhadapan. Jangan bilang Sona tahu apa yang Alin lakukan. Alin bagaikan orang yang tertangkap basah, padahal apa yang dilakukannya bukanlah sesuatu yang kriminal.
Tunggu, Sona itu hantu atau apa? Kenapa Alin tidak mendengar langkah kaki pria itu? Kenapa Sona sudah tiba-tiba di belakang Alin?
"A-anggap aja ini ucapan terima kasih dari aku, Mas," jawab Alin gugup. "Terima kasih tentang tadi siang. Tolong terima tanpa protes, ya."
"Lo serius mau berterima kasih?" tanya Sona kemudian.
Alin mengangguk.
"Bukan gitu caranya."
"Eh? Terus gimana, Mas?"
"Ikut gue!" kata Sona sambil bergegas pergi.
"Hah?"
Tunggu ... ikut ke mana?
Harusnya Alin menolak, terlebih ia sudah mengatakan akan melihat foto masa sekolah di tempat Bayu. Alin sendiri heran, kenapa ia harus melakukan ini hanya untuk berterima kasih? Padahal tidak ada kewajiban baginya untuk menuruti perkataan Sona.
Anehnya, Alin seakan terhipnotis dan terus mengikuti langkah Sona.
Ya, saat ini kaki Alin terus melangkah mengikuti pria judes itu, meski sebenarnya ia tidak tahu ke mana Sona akan membawanya.
Astaga … salahkah yang Alin lakukan sekarang?