Sekretaris & Rahasia CEO ⚠️
“Uhh… ahhh… yes… harder… ahhh!”
Suara desahan basah dan erangan penuh nafsu itu keluar jelas dari speaker, menembus pintu tertutup rapat ruang CEO Naratama Grup. Tiara yang baru saja melangkah mendekat langsung berhenti. Napasnya tertahan, telinganya menangkap suara ranjang berderit cepat, hentakan tubuh yang brutal, dan suara kulit beradu keras berulang kali.
Nada perempuan itu melengking, terputus-putus di antara teriakan dan napas terengah. Ada suara lelaki berat dan dalam yang menggeram kasar.
Tiara memejamkan mata, keningnya berkerut. Suara erangan semakin liar, irama hentakan yang makin cepat. Udara di luar ruangan ikut panas, seperti setiap detiknya mendorong tubuh perempuan itu makin tenggelam ke dalam kenikmatan yang kejam.
Di dalam ruangan, Abimana Narendra Tama, pria yang dikenal sebagai CEO dingin, kejam, misterius itu, duduk dengan ekspresi datar. Tatapannya tertuju pada layar laptop di depannya. Di layar itu, tampak adegan menjijikkan antara sepasang manusia yang sedang bermain dengan liar. Suaranya menggema, membuat suasana semakin ganjil. Tidak ada rasa bersalah di wajah pria itu. Sama sekali tidak.
“s**t!” Tiara mengumpat pelan.
“Dasar gila!” Ia memejamkan mata sebentar, menutup pintu dengan rapat, menarik napas dalam, lalu menegakkan tubuh dan melangkah mendekat ke meja kerja bosnya. Langkahnya mantap, meski jantungnya masih tak karuan.
"Pak Abimana."
“Sejak kapan saya izinkan kamu masuk tanpa mengetuk pintu dulu?” Suara Abimana terdengar tajam. Tatapannya masih tertuju pada layar, tak sekalipun melihat Tiara.
“Saya kira Anda dalam bahaya, Pak. Saya dengar suara aneh. Anda menonton video—”
“Bukan urusan kamu, Tiara. Keluar sebelum saya—"
"Saya apa, Pak? Bapak mau memecat saya, gapapa Pak." Tiara mengangguk cepat.
"Keluar atau saya akan beri kamu pelajaran."
Tiara tertawa singkat. Suaranya sumbang, menahan gejolak antara kesal dan bingung. “Anda mengancam saksi mata, Pak?”
Nama Abimana Narendra Tama sudah tak asing di dunia bisnis properti. Dalam dua tahun terakhir, ia dikenal sebagai pewaris tunggal Naratama Grup, perusahaan yang dulu sempat bangkrut. Sejak kedua orang tuanya meninggal dunia, hanya dia yang tersisa, dan kini dialah satu-satunya orang yang membawa kembali nama besar itu ke puncak.
Tampan, berpostur tinggi atletis, dan memiliki pesona magnetis meski seringkali terlihat beku dan nyaris tak berperasaan. Banyak wanita tergila-gila padanya. Tapi tidak bagi Tiara. Ia adalah sekretaris pribadi Abimana sejak awal perusahaan itu dibangun kembali. Ia sudah melihat sisi terburuk bosnya, dan ikut berdiri bersama pria itu dari titik nol.
“Keluar,” ulang Abimana, kali ini sambil menghela napas panjang.
“Tidak mau!” jawab Tiara dengan nada keras. “Saya punya rahasia Anda. Anda tidak bisa seenaknya memperlakukan saya begitu saja.”
Dia tahu, tindakannya gila. Tapi memang begitu cara pikirnya. Tak heran jika beberapa klien Abimana menjuluki Tiara sebagai sekretaris gila. Namun, Tiara tidak peduli. Hari ini, ia ingin menyudahi semuanya.
Abimana berdiri, tatapannya tajam menembus wajah Tiara. “Kamu mengganggu aktivitas saya, Tiara. Keluar sekarang!"
Dengan tenang, Tiara membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah benda kecil berwarna hitam. “Bapak tau, saya udah kesekian kalinya mengajukan resign, dan bapak sudah mengabaikan itu terus menerus."
Pistol itu mengkilap saat terkena cahaya lampu ruangan. Benda itu tampak dingin di genggaman tangan Tiara.
“Apa itu?” tanya Abimana. “Kamu pikir bisa mengancam saya dengan senjata?”
Tiara tersenyum kecil, sinis dan penuh provokasi. Ia melangkah mendekat dan menodongkan pistol itu tepat di depan wajah pria yang telah membuatnya menderita selama dua tahun.
“Orang-orang bilang Anda itu dingin, tak tersentuh, dan mungkin tidak normal. Tapi siapa sangka, saya menangkap Anda basah-basah menonton video begituan di jam kerja?”
“Letakkan benda itu, Tiara.” Suara Abimana berubah datar. Matanya kini tertuju penuh pada senjata itu.
“Angkat tangan Anda, Bos,” perintah Tiara, menarik napas panjang. “Saya serius.” Tiara tak lagi takut, dia hanya ingin pengajuan resign diterima oleh CEO gila itu.
Abimana mengangkat kedua tangannya, ekspresinya masih tetap tenang. Tiara bisa melihat kilasan ketegangan di balik sikap dinginnya, dan ia menikmatinya. Untuk pertama kalinya, pria itu tampak tertekan di hadapannya.
“Anda gugup, ya?” gumam Tiara. “Begitulah perasaan saya selama dua tahun ini. Jadi sekarang, tanda tangani surat resign saya atau saya tembak.”
Abimana tidak langsung merespons. Ia hanya menatap Tiara dalam diam, lalu tiba-tiba tertawa kecil. Tawa yang tak terduga, membuat Tiara mengernyit bingung.
“Kenapa tertawa?” tanyanya curiga.
“Kalau saya tidak menandatangani surat resign kamu, lalu apa yang akan kamu lakukan, Tiara?” ucap Abimana, suaranya mulai mengendur tapi tetap tegas.
Tiara menggertakkan gigi. “Tanda tangani. Atau saya tembak Anda di tempat ini juga!”
“Kamu yakin berani?”
“Sangat yakin. Saya lebih baik masuk penjara daripada terus jadi sekretaris yang diperlakukan seperti budak.”
“Menarik juga,” gumam Abimana. “Kalau kamu memang b***k. Tapi budakku. Bagaimana menurutmu?”
“Bapak bicara apa sih?” Tiara mulai kehilangan kendali. “Kalau bercanda, saya tembak beneran. Jangan anggap saya sedang main-main!”
“Oke. Tembak saja.”
Tiara mengencangkan genggamannya. Ia tak menduga pria itu begitu santai di ujung ancaman.
“Pak, tanda tangani suratnya! Saya janji tidak akan menyebarkan fakta bahwa Anda suka nonton video tak senonoh di ruangan kerja sendiri.”
“Nonton video seperti itu bukan kriminal. Sebarkan saja kalau kamu berani.”
“Pak, tolong jangan buat saya—”
“Tiara,” potong Abimana. “Pilih satu dari dua. Tetap jadi sekretaris saya karena saya tetap menolak pengajuan resign kamu, atau bantu saya mengatasi gangguan disfungsi ereksi yang saya alami.”
Tiara membelalak. “Apa maksud Anda? Disfungsi apa?” Ia mungkin gila dan mengira salah mendengar.
Abimana tidak menjawab. Ia mengambil selembar kertas dari laci, lalu melemparkannya ke arah Tiara.
Tiara menatap kertas itu curiga. Perlahan ia meraihnya dan membaca isi halaman itu.
Surat diagnosis awal mengenai gangguan disfungsi ereksi non-organik. Tidak ditemukan kelainan fisik. Pasien tidak menunjukkan respons seksual meskipun diberi stimulasi visual maupun manual.
Matanya membulat. Tenggorokannya terasa kering.
“Ini…”
Abimana mengangguk. “Saya hanya bereaksi saat kamu dekat. Saya ingin tahu apakah kamu bisa membantu saya lebih jauh.”
Tiara terdiam. Pistol mainan yang ia genggam sejak tadi terjatuh ke lantai. Matanya langsung tertuju pada bagian celana Abimana. Ia benar-benar gila karna itu cukup jelas terlihat. "Dasar dia benar-benar," ucapnya amat pelan.
Abimana menatapnya dalam. “Saya bisa membayar mahal untuk jasa kamu.”
Lalu ia menyerahkan selembar cek. “Itu uang muka. Pikirkan baik-baik.”
Tiara menunduk. Matanya membesar melihat angka tertera. “Satu miliar?”
“Hanya nilai kecil. Tapi saya rasa itu besar bagi kamu.”
Tangannya refleks gemetar. Angka itu bisa mengubah hidupnya. Sewa apartemen yang menunggak, cicilan kartu kredit yang menggila karena kebutuhan darurat, semuanya bisa lunas seketika.
Sesaat ia tergoda. Tapi kemudian, pandangannya kembali naik menatap pria itu.
Tidak. Dia tidak boleh tergiur meski itu memang sangat menggiurkan.
Jika ia menerima cek itu, artinya ia ikut gila. Sama gila seperti pria yang kini berdiri di hadapannya dengan santai seolah sedang menawarkan camilan, bukan perjanjian absurd beraroma nafsu. Tidak ada yang menjamin keamanannya jika ia menerima tawaran gila dari Abimana.
Tiara meletakkan cek itu kembali ke meja. Sorot matanya sudah bulat. Jelas dia tak mau menerima tawaran sinting dari orang gila itu.
“Saya tetap resign, Pak!”
Abimana mendengus pelan, nyaris seperti tertawa sinis. “Yakin?”
“Yakin!!"
“Baik.” Pria itu menyilangkan tangan. “Tapi kamu lupa isi kontrakmu. Kalau resign sebelum masa kerja berakhir, kamu wajib bayar penalti.”
Tiara mengerutkan dahi. “Penalti?”
“Lima miliar.”