Pria Itu Bahkan Tak Bisa Ereksi

1541 Words
Napas Tiara tercekat. “Apa?” “Pasal empat belas kontrak kerja. Kamu tanda tangan di atasnya, bukan? Harusnya kamu tahu.” Tiara nyaris limbung. Ia memang tahu ada penalti, tapi tak menyangka nominalnya sebesar itu. Lima miliar? Dari mana ia bisa dapat uang sebanyak itu? Bahkan saldo rekeningnya tak cukup untuk membayar satu persennya. “Kalau saya tidak sanggup bayar?” gumamnya pelan. “Maka kamu tetap bekerja di sini. Di bawah saya.” “Gila, benar-benar nggak waras nih orang,” bisik Tiara, lebih kepada dirinya sendiri. “Selama kamu tidak sanggup membayar penalti, kamu terikat. Dan saya tidak akan menandatangani pengunduran diri kamu.” Tiara menatap tajam. “Jadi ini semua jebakan?” “Bukan jebakan. Ini perjanjian legal. Kamu sendiri yang tanda tangan.” Tiara menghela napas. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi karena marah. Ia baru sadar betapa kuat cengkeraman pria ini atas dirinya. Bahkan ketika ia ingin keluar, masih saja ada tali tak terlihat yang menyeretnya kembali ke dalam lingkaran penuh tekanan. Tiara masih berdiri di depan meja ketika suara notifikasi terdengar dari ponsel di saku jas Abimana. Ia mengambilnya dan membaca cepat isi pesan yang masuk. Seketika ekspresinya berubah. Matanya menajam, rahangnya mengeras. “Kamu keluar dari ruangan saya sekarang,” ucapnya datar namun sarat tekanan. Tiara mengangkat alis, merasa ada yang tidak biasa. “Sekarang? Kenapa?” tanyanya pelan. "Kita belum selesai bicarara, Pak—" "Keluar." "Tapi, Pak..." Abimana tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke arahnya. Tatapan itu membuat Tiara memilih mundur. Sesuatu dalam sikap pria itu membuatnya merasa tidak aman berada di sana lebih lama. Begitu pintu tertutup, Abimana membuka laci kecil di sisi kanan meja. Ia menempelkan sidik jari ke kotak hitam di dalamnya. Kotak itu terbuka, memperlihatkan pistol otomatis, amplop berisi dokumen, dan ponsel satelit berlapis baja. Ia mengambil ponsel dan menekan tombol panggilan cepat. Suara berat dari ujung sana langsung merespons. “Target sudah bergerak ke arah selatan. Kode R17 dikonfirmasi.” “Saya butuh dua jam. Kirim tim ke lokasi biasa. Pastikan tidak ada yang tertinggal,” jawab Abimana singkat. Setelah menutup sambungan, ia melepas jasnya. Di balik kemeja, terdapat lapisan pelindung tipis berwarna hitam. Tangannya bergerak teratur saat mengambil sebuah map bersegel dan memasukkannya ke dalam koper kecil. Di luar ruangan, Tiara berdiri mematung. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan detak jantungnya. Ada yang berbeda dengan pria itu. Ia merasa seperti baru saja mengintip lapisan lain dari sosok Abimana yang selama ini tersembunyi. Bukan hanya sebagai CEO. Tapi sesuatu yang jauh lebih besar. Lebih gelap. "Kenapa dia tadi kayak gitu? Kayak lagi nyembunyiin sesuatu?" "Jangan-jangan dia itu agen gelap, yang suka menyelundupkan barang ilegal?" gumamnya mulai berspekulasi sendiri. "Hentikan, Tiara, lo udah gila, jangan bikin tambah gila dengan fantasi gila lo itu." ** Tiara terduduk di dalam taksi dengan pandangan kosong. Suara jalanan, klakson kendaraan, bahkan ocehan sopir di kursi depan, semuanya hanya terdengar sebagai dengungan samar di telinganya. Rasanya seperti jiwanya tertinggal di ruang kerja Abimana, bersama kenyataan gila yang barusan menamparnya. Lima miliar atau tetap jadi sekretarisnya. Belum lagi ada hal yang mencurigakan dari CEO gila itu, rasanya ia punya sisi misterius yang tak bisa dibaca olehnya sama sekali. Setibanya di apartemen, ia berharap bisa tidur, menangis, atau sekadar berbaring dan merenung. Tapi belum sempat membuka pintu unit, seorang staf pengelola apartemen mendatanginya. “Maaf, Mbak Tiara. Kami dapat pemberitahuan mendadak dari pemilik unit. Apartemen ini akan dijual. Mbak diminta segera mengosongkan dalam tiga hari.” Tiara menoleh cepat. “Apa? Sewa saya masih sampai bulan depan!” “Kami tahu. Ini bukan karena keterlambatan sewa. Tapi keputusan pribadi dari pemilik. Katanya, sangat mendesak.” Tiara menahan napas. Kepalanya seperti dihantam dari segala arah. Tiga hari lagi ia akan kehilangan satu-satunya tempat berlindung, sementara ia juga tidak bisa keluar dari pekerjaan tanpa lima miliar yang mustahil ia miliki. Ia masuk ke unitnya dalam diam. Sepatu masih terpakai, tas masih tergantung di bahu. Pandangannya kosong menatap jendela, sementara seluruh tubuhnya nyaris tak bergerak. Saat akhirnya ia merosot ke lantai, punggungnya bersandar ke dinding dingin, tubuhnya mulai gemetar. “Aku ikut gila,” bisiknya. Tangisnya tumpah, bukan karena lemah. Tapi karena seluruh realita yang ia jalani, kini terasa seperti jebakan tanpa celah. Ponselnya berdering. Nama Vanila muncul di layar. Tiara buru-buru menyeka air mata di pipinya dan menarik napas panjang sebelum menjawab. “Vanila.” “Tiara gimana kabar lo?” “Baik,” ucap Tiara bergetar tapi ia berusaha terdengar normal “Lo gimana, Van? Bayi kecil gue gimana?” “Semua baik-baik aja, tapi gue minta maaf belum bisa pulang cepat ada urusan mendadak banget di Amerika gue harus selesain semua dulu.” Nada bicara Vanila terdengar lemah, ia menyesal. “Ngapain minta maaf. Gue dukung apa pun yang lo pilih asal lo bahagia itu cukup buat gue” Vanila diam sejenak lalu bertanya pelan “Lo baik-baik aja kan suara lo kayak serak” “Gue cuma capek sedikit. Nggak apa-apa sumpah. Lo kok bisa telepon gue. Bukannya lo harusnya sama baby, kan?” “Baby udah tidur, Ra. Dia dijagain sama Mas Adrian.” “Oh, lucu banget, ya, Van. Sebenarnya gue pengen banget unyel-unyel bayi lo, beneran.” “Gue juga. Tapi mau gimana lagi, gue belum bisa balik.” “Sori, ya, Van. Gue harusnya yang samperin lo ke sana.” “Nggak, Ra, lo kan harus kerja. Gue nggak mau karna gue jadi lo korbanin karir lo.” Tiara menghela napas, dia benci berbicara tentang pekerjaan. “Kalau gitu istirahat ya jangan dipaksain. Lo kalau butuh gue tinggal bilang, jangan dipendam sendiri. Serius kan lo gapapa?” “Iya. Serius gue gapapa. Makasih ya Van. Hati-hati di sana, gue selalu dukung lo.” Setelah panggilan itu berakhir Tiara menatap layar ponselnya beberapa detik sebelum akhirnya menunduk dan menangis lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Kedua tangannya menutup wajah sambil memaki pelan “Sialan lo Abimana! Emang b******k! Sialan semua yang ada di hidup gue sejak lo muncul. Gila lo! Lo bikin semuanya berantakan!” ** Pagi itu, Tiara kembali masuk kantor dengan mata sembab dan hati sekarat. Kepalanya penuh dengan kalkulasi. Tempat tinggal baru, biaya pindahan, uang muka sewa, dan semua beban hidup yang tak henti menghantam. Tiga hari. Itu batas waktu yang ia punya sebelum harus angkat kaki dari apartemennya. Dia duduk di meja kerjanya, mencoba terlihat normal sambil menatap layar komputer yang kosong. Kopi yang ia teguk tak membantu meringankan kantuk dan letih yang menempel di kelopak matanya. Satu-satunya alasan dia masih duduk di sana pagi ini adalah lima miliar yang tak sanggup ia bayar. Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. Abimana muncul di balik ambang pintu tanpa ekspresi. Ia menatap Tiara datar, lalu menghampirinya langsung tanpa basa-basi. “Kamu masih bisa duduk santai di sini? Ayo ke ruangan saya sekarang,” ucapnya ketus. Tiara menahan napas. Rahangnya mengeras seketika. Pria itu benar-benar menyebalkan. Tanpa salam, tanpa basa-basi, langsung menyuruh seperti majikan memperlakukan b***k. Ia bangkit dari duduknya dan mengikuti Abimana ke ruangannya dengan langkah terpaksa. Dalam hatinya, ia ingin sekali memaki, meludah, dan keluar selamanya dari kantor sialan ini. Tapi ia hanya menggigit bibir dan menahan diri. Abimana berjalan mendahuluinya, membuka pintu ruangan tanpa mempersilakan, lalu duduk di kursinya seolah baru saja memanggil pelayan. Tiara masuk dan berdiri tegak di hadapannya. “Kamu telat dua belas menit,” katanya sambil membuka laptop. Tiara nyaris menjawab, tapi ia memilih diam. “Kalau kamu pikir statusmu berubah setelah kejadian kemarin, kamu salah. Kamu tetap sekretaris saya dengan perjanjian kerja yang jelas. Dan kamu tetap bekerja sesuai kontrak.” Tiara menahan napas sambil menatap pria itu lekat. Tubuh tinggi, rahang kokoh, d**a bidang di balik kemeja putih yang disetrika rapi. Penampilan sempurna. Tapi hanya di luar. Dalam hati, Tiara ingin menjerit. Dia benar-benar gila. Semua orang di kantor ini tergila-gila padanya. Entah karena wajah, atau tubuh yang katanya bisa bikin wanita lemah lutut. Padahal, pria itu bahkan tak bisa ereksi. Tiara nyaris tertawa. Sial. Benar-benar sialan!! Yang menyedihkan itu justru dia. Bukan Abimana. Bukan pria berdarah dingin yang kini duduk di hadapannya sambil terus memberi perintah dengan suara tanpa emosi. Tapi dia. Perempuan yang terjebak antara keinginan keluar dan realita yang menghantamnya. “Mulai hari ini kamu akan dampingi saya ke semua pertemuan luar kantor. Termasuk ke Surabaya minggu depan. Ada keluhan klien yang harus kita bereskan langsung,” ujar Abimana lagi. Tiara langsung menatap tajam. “Saya nggak pernah tanda tangan untuk tugas luar kota.” Abimana menunduk sedikit, menatapnya seperti singa yang baru tergelitik. “Kamu memang nggak pernah tanda tangan untuk semuanya. Tapi kamu juga nggak pernah baca pasal dua puluh. Tugas lapangan adalah bagian dari tanggung jawab sekretaris khusus. Dua tahun kerja, apa saja isi kepala kamu, Tiara. Kenapa begini saja masih harus saya jelaskan?” Tiara mencengkeram rok kerjanya erat. Ia ingin melemparkan meja ke kepala pria itu, ingin membalikkan ruangan dan teriak sekeras mungkin. Tapi ia hanya menjawab pendek. “Baik.” Abimana menatap Tiara yang berdiri dengan wajah terpaksa di hadapannya. Tatapan mata perempuan itu seperti pisau menusuk tapi tak berdaya. Dan entah mengapa, justru ekspresi seperti itu yang membakar sesuatu dalam tubuh Abimana. Ia menggeram pelan, rahangnya mengeras, napasnya memberat. Sial. Dia bisa merasakannya, tegangan itu muncul lagi. Di balik celana kerjanya, tubuhnya bereaksi tanpa bisa dia kendalikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD