CEO Gila maksimal

1109 Words
Padahal semalam dia sudah mencoba segalanya. Video paling ekstrem. Obat perangsang dosis tinggi. Bahkan stimulasi manual dari wanita profesional yang ia bayar mahal. Tapi nihil, tubuhnya tetap dingin. Namun hanya dengan Tiara berdiri di depannya, hanya dengan tatapan sebal dan muak itu, tubuhnya langsung bereaksi. Ia benar-benar berdiri tegak sampai maksimal. Tiara menatap Abimana penuh tanya. “Kalau tidak ada hal penting lagi, saya mau kembali ke ruangan saya.” Abimana menahan nafas dalam-dalam, mencoba menahan sesuatu yang jelas-jelas tak lagi bisa disangkal. Ia berdiri, langkahnya mendekati Tiara. “Berhenti,” ucapnya datar namun padat. Tiara diam. Langkahnya tertahan. Pria itu kini berdiri sangat dekat dengannya. Napas mereka nyaris bertabrakan. Abimana menatap Tiara tajam, matanya gelap dan penuh pertanyaan. “Kamu yakin tidak mau membantu saya, Tiara?” Tiara mengerjap. “Maksud Anda?” “Masalah saya,” bisik Abimana. “Kondisi saya. Kamu tahu apa yang saya maksud.” Tiara bergeming. Jantungnya berdetak kacau. Apa pria ini benar-benar seserius itu menawarkan hal gila itu lagi? “Tidak,” jawab Tiara mantap, walau suaranya sedikit gemetar. “Saya bukan terapis. Bukan juga alat pelampiasan. Saya Cuma sekretaris.” “Sekretaris yang bisa membangkitkan sesuatu dalam diri saya, yang bahkan dokter pun tak bisa lakukan,” balas Abimana lirih. Tiara menggeleng pelan. Ia menatap pria itu dalam diam, lalu memutar tubuhnya. “Saya tetap pada keputusan saya. Saya hanya ingin resign. Itu saja.” Ia melangkah pergi. Meninggalkan Abimana dengan tubuh yang masih memanas, dan kepala yang dipenuhi kebingungan serta hasrat yang menyesakkan. Sial. Ini bukan sekadar ketertarikan. Ini obsesi yang mulai tak masuk akal. Abimana menatap punggung Tiara yang menjauh. Pintu tertutup tanpa suara, tapi dentingnya seakan menampar pikirannya sendiri. Ia memutar badan, berjalan menuju rak buku di sudut ruangan. Tangannya menyentuh bagian tertentu dari rak kayu mahoni itu. Sebuah suara klik terdengar pelan, lalu panel rahasia terbuka, memperlihatkan lorong sempit yang hanya bisa diakses oleh orang dalam. Ia melangkah masuk tanpa ragu. Lorong itu membawanya ke ruang bawah tanah tersembunyi, jauh dari mata siapa pun yang mengenalnya sebagai CEO Naratama Grup. Lampu otomatis menyala ketika ia melewati pintu baja. Di dalamnya, suasana sangat berbeda. Dinding beton tanpa cat, rak senjata berderet rapi, layar pemantau yang menampilkan aktivitas dari berbagai titik kota, dan meja panjang yang dipenuhi dokumen rahasia bertanda “classified”. Seorang pria bertubuh tegap segera berdiri memberi hormat. “Laporan terbaru sudah masuk. Kontainer dari Batam berhasil diloloskan. Tidak ada masalah di pelabuhan.” Abimana menerima map dari tangan pria itu, membukanya cepat lalu menandatangani selembar dokumen. “Pastikan uangnya dicuci lewat perusahaan logistik cabang Surabaya,” katanya tenang. “Siap, Tuan.” Ia menutup map, lalu memalingkan wajah ke layar utama yang menampilkan wajah Tiara di lorong kantor. Wanita itu baru saja kembali ke mejanya, duduk dengan bahu menghela berat dan tatapan kosong ke layar komputer. Abimana tak berkedip menatapnya. Wajah itu yang mampu membuat tubuhnya bereaksi tanpa logika. Wajah yang menjadi celah bagi kelemahannya sendiri. “Batasi akses Tiara ke ruang eksekutif. Jangan biarkan dia tahu terlalu banyak,” ucapnya pelan namun penuh makna. “Dia sudah curiga?” tanya pria itu. Abimana tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. “Belum. Tapi instingnya tajam. Dan saya terlalu ingin mempertahankan dia untuk mengambil risiko.” Ia berbalik, berjalan kembali ke rak buku yang menjadi pintu masuk lorong rahasia. Sebelum keluar, ia menambahkan, “Kalau sesuatu terjadi pada dia, saya sendiri yang akan membakar seluruh jaringan ini.” ** Tiara kembali ke ruangannya sambil mengumpat pelan. Suasana hatinya sudah rusak total sejak pagi, dan ulah Abimana barusan hanya memperparahnya. Ia duduk dengan napas memburu, mencoba menenangkan diri. Tawaran gila yang terlontar dari mulut pria itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Membantunya mengatasi disfungsi ereksi? Gila. Gila banget. “Saya bukan obat kuat, dasar bos sinting,” gumamnya sambil membuka laptop. Ia mencoba kembali fokus pada hal paling mendesak dalam hidupnya saat ini mencari tempat tinggal baru. Jari-jarinya bergerak cepat membuka berbagai situs penyewaan apartemen. Ia menyeleksi satu per satu, tapi semuanya membuat kepalanya semakin berat. Entah harganya terlalu mahal, terlalu jauh dari kantor, atau lingkungan yang tampak meragukan. “Yang ini penuh.” “Yang itu terlalu sempit.” “Yang ini ... sial, kenapa bisa semahal itu?” Ia mencengkeram rambutnya frustasi. Tidak ada satu pun tempat yang cocok. Tiga hari bukan waktu lama, dan jika dia tidak menemukan tempat tinggal secepatnya, dia benar-benar akan terlantar. Saat ia menghela napas keras, langkah kaki itu lagi-lagi terdengar. Abimana. Tanpa mengetuk, tanpa permisi, langsung masuk ke ruangannya. Mata pria itu tajam mengarah ke layar laptopnya. Tiara langsung menutup layar dengan reflek cepat. Tapi itu telat. “Kamu mau pindah?” tanya Abimana dengan nada datar yang tetap menyebalkan. Tiara melotot. “Bapak ngapain ngurusin urusan pribadi saya?” “Saya ini bos kamu,” jawab Abimana santai. “Dan kamu dilarang untuk mengintervensi saya dalam hal apa pun.” Tiara menghela napas berat. “Lucu ya, Bapak yang doyan intervensi saya tiap hari malah nyuruh saya jangan intervensi Bapak.” Abimana menatapnya beberapa detik tanpa ekspresi. Tapi dari sorot matanya, jelas pria itu sedang memproses sesuatu. Kemudian, tanpa aba-aba, dia bicara lagi. Kali ini lebih rendah, lebih halus, tapi jauh lebih berbahaya. “Tiara, kamu bisa tinggal di rumah saya kalau kamu mau.” Tiara membeku. Otaknya seolah me-restart sistem hanya untuk memastikan dia tak salah dengar. “Apa?” suaranya naik satu oktaf. Abimana mengangguk kecil. “Kamu butuh tempat tinggal. Rumah saya luas. Ada kamar kosong. Dan kamu sekretaris pribadi saya, kamu butuh akses cepat kalau ada tugas mendadak.” Tiara mengangkat kedua tangannya. “Stop. Bapak pikir saya ini apaan? Peliharaan? Sekretaris plus-plus? Nggak, Pak. Jangan gila!" Abimana mendekat satu langkah. “Saya serius.” “Saya juga serius menolak,” potong Tiara cepat. “Saya masih punya harga diri.” “Padahal kamu butuh tempat tinggal.” Tiara mendengus. “Saya lebih rela tidur di stasiun ketimbang tinggal serumah sama Bapak.” “Terserah,” ucap Abimana sambil berbalik pergi. Tapi sebelum pintu tertutup, ia menambahkan, “kalau kamu berubah pikiran, kamar di lantai tiga sebelah barat sudah kosong. Kamu tahu alamat rumah saya.” Pintu tertutup rapat. Tiara ternganga. Napasnya pendek. Jantungnya berdebar bukan karena kagum atau terpesona, tapi karena keseluruhan situasi ini sudah melampaui batas kewarasan. “CEO gila! gila maksimal ini sih," gumamnya pelan. Dan parahnya, di balik semua kemarahannya, ada satu bagian kecil dalam pikirannya yang bertanya-tanya. Seandainya dia memang kepepet, apakah itu satu-satunya pilihan. “Nggak! Siapa yang mau gila berkelanjutan. Bisa-bisa gue beneran jadi nggak waras kalau deket-deket dia terus. Tinggal selama beberapa jam di kantor sama dia aja udah bikin gue frustrasi, apalagi tinggal serumah?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD