Pintu ruang rapat itu terbuka keras, membentur dinding hingga gema suaranya memantul ke seluruh ruangan. Semua kepala refleks menoleh ke arah sumber suara, dan seketika udara di ruangan itu berubah—dari formal dan tenang menjadi tegang, sarat amarah yang menekan. Dua sosok wanita melangkah masuk tanpa permisi. Yang pertama—Marina, si handbody, istri kedua dari Iqbal, dengan balutan gaun biru tua dan perhiasan berkilau mencolok di lehernya. Langkahnya mantap, dagunya terangkat tinggi, menebar aroma parfum mahal dan aura keangkuhan. Di sisinya, Kenanga, gadis muda dengan setelan putih gading, berdiri penuh percaya diri—matanya menatap tajam ke arah meja utama tempat Bramasta, Kalinda, dan Kalendra duduk. “Apa-apaan ini?” suara Marina melengking, menggema hingga membuat beberapa dewan direk

