Meyra mengerjapkan mata dan melihat sosok Gilbert sedang berdiri menjulang di hadapannya. Lutut pria itu tampak kembali menyenggol lutut Meyra yang menjuntai dari ranjang ke lantai berkarpet tebal.
"Sleeping ugly, wake up! Buruan ganti baju, waktunya makan." Ucapnya dan memilih duduk di sofa yang ada di kamar. "Kayaknya Nathan pulang malam, jadi rindumu belum akan kesampaian." Ucapnya santai dan memilih menyalakan TV. Mencari saluran yang menarik.
Meyra mencari kopernya yang tadi hanya ia buka untuk mencari pakaian dalam dan pakaian ganti seadanya. Tapi kopernya sepertinya menghilang begitu saja. "Aku meminta Aunt Jody membereskan pakaianmu." Gilbert menunjuk kepada lemari yang ada di sisi lain tempat tidurnya. Bukan lemari tepatnya, tapi dinding yang dibuat menjorok yang dipasangi pintu kayu. Meyra membukanya dan melihat pakaiannya yang memang tidak banyak itu sudah tertata rapi beserta dengan sepatu dan lainnya.
"Thanks." Ucapnya dan kemudian kembali mengambil sesuatu dari lemari dan berjalan ke kamar mandi. Ia keluar dengan mengenakan celana jeans selutut dan kaos pendek berukuran besar. "Makan apa kita?" Tanyanya sambil mengikat rambut panjangnya menjadi kuciran ekor kuda.
"Yang pasti bukan salad, karena kamu bukan kambing." Ledeknya karena tahu kalau Meyra tidak suka salad. Dia bukannya tidak suka makan sayuran, hanya saja, membayangkan memakan makanan yang didominasi sayuran membuatnya merasa...
Mereka turun ke lantai bawah, tidak ke meja makan karena rasanya terlalu formal. Gilbert lebih memilih untuk duduk dan menyajikan makanan di meja bar. "Aku sengaja membeli rice coocker baru dan beras khusus untukmu." Tunjuknya pada rice coocker mini yang ada di dekat lemari es berpintu ganda.
Meyra mendengus. "Jangan bilang khusus buat aku ya, aku juga tahu kalo kamu itu doyan nasi!" Ucapnya seraya membuka laci dan mengambil piring. Aunt Jody tampaknya belajar memasak masakan Indonesia. Di atas meja bar ada ayam yang dibumbu kecap dengan acar timun dan satu botol saus sambal instan. Keduanya lahap makan sambil sesekali bergurau dan membahas apa yang akan mereka lakukan besok.
Karena niatan awalnya untuk melihat reaksi Nathaniel belum terlaksana. Jadi mau tak mau, acara besok harus diganti dengan mengenal kota yang akan ditinggalinya selama empat tahun ke depannya. Atau mungkin lebih jika Meyra memilih melanjutkan S2 disana. Atau mungkin jika ia menikah dengan Nathan? Senyum penuh harap mengembang di wajah chubby nya.
Keesokan harinya Meyra diajak berkeliling oleh Gilbert. Mengelilingi kota tempatnya akan tinggal. Mengunjungi kampus tempat ia akan belajar. Bersantai di taman kota dengan es krim di genggaman. Dan masih banyak hal lainnya.
Meyra tahu bahwa semalam Nathan pulang. Hanya saja ia tidak sadar kapan pria itu kembali dan kapan pria itu pergi. Ia hanya tahu bahwa pria itu pulang dari keranjang cucian kotor yang dibawa Aunt Jody saat ia dan Gilbert duduk menikmati sarapan yang sebenarnya sudah terlambat.
Tentu saja Nathan tidak akan repot-repot menunggunya bangun dan menyapanya. Bahkan kesan menghindar sangat terlihat jelas tanpa perlu Gilbert ikut mengomentarinya.
Sore hari mereka habiskan untuk makan di sebuah kedai yang ada di pinggir jalan. Hot dog jumbo dan segelas cola menjadi teman berbincang mereka sebelum akhirnya kembali ke rumah. Dan ketika melihat mobil berwarna hitam terparkir di garasi, Meyra tahu. Inilah saatnya.
Dengan jantung yang berdebar kencang, ia berjalan mengikuti Gilbert. Meyra adalah gadis yang penuh optimisme, dia yakin selama dia berjuang, tidak ada yang tidak mungkin, meski ia tahu tangan Tuhan sangatlah berperan aktif dalam setiap perjuangan dan doanya. Akan tetapi, optimisme nya hilang jika itu berhubungan dengan satu nama. Nathaniel.
Dengan Nathaniel, Meyra selalu memikirkan sisi terburuknya. Nathaniel yang dingin. Nathaniel yang tidak mencintainya. Nathaniel yang tidak peduli padanya. Namun meski bagaimanapun, Nathaniel tetap pria yang dipujanya. Sekian tahun rasa itu tak pernah berubah, malah berkembang semakin besar hingga menyesakkan dadanya.
"Hai, Gil." Suara mendayu menyapa mereka saat Gilbert dan Meyra membuka pintu. Sesosok wanita cantik dengan hidung mancung, kulit putih dan rambut coklat lebat melambaikan tangan ke arah mereka. Tubuh langsingnya terbalut gaun hitam yang tampak begitu melekat, membentuk tubuh indahnya yang tampak seperti gitar spanyol. Istilah itu yang selalu digunakan pria untuk menilai kemolekan tubuh wanita bukan?
"Loretta, apa kabar?" Sapa Gilbert dengan ramah dan mencium sebelah pipi gadis itu. Loretta. Satu nama yang menjadi saingannya. Ya, Gilbert pernah menyebut nama wanita itu. Wanita yang saat ini sedang dekat dengan Nathan. Wanita yang secara fisik merupakan kebalikan dari Meyra. Namun itu bukan sesuatu yang membuat Meyra menyerah. "Perkenalkan, Meyra Anindya Hakim." Ucapnya meraih bahu Meyra dan membawanya kehadapan gadis cantik itu.
"She's beautiful." Puji gadis itu tulus. "You're girlfriend?" Tanyanya dengan antusias.
"Almost be." Jawab Meyra datar. "On process." Jawabnya dengan senyum mengembang. Dia tidak ingin gadis itu tahu bahwa dirinya sedang mengejar pria yang saat ini sedang dekat dengannya, bukan? Loretta menatap Gilbert penuh tanya, dengan santai Gilbert hanya mengangkat bahu.
"Just trust her." Jawabnya datar. "Dimana Nathan? Kalian ada acara?" Tanyanya penuh selidik.
"Dia di ruang kerja, sedang menghubungi seseorang. Dia bilang ada undangan dari koleganya, jadi kami akan makan malam disana." Tuturnya tanpa melebih-lebihkan. "Apa kalian tinggal bersama?" Tampaknya gadis itu benar-benar penasaran akan kehadiran Meyra.
"Ya, tentu saja. Dia tinggal disini bersama kami. Mengingat Nathan jarang ada di rumah, kehadirannya sangat berarti." Gilbert mengusap bahunya dan merangkulnya dengan lebih kuat, mengikuti permainan Meyra.
"Senang sekali, semoga kita sering bertemu." Ucap gadis itu antusias.
"Sering-seringlah berkunjung, kalian bisa jadi teman dekat. Kebetulan Mey belum punya teman disini."
"Kalau begitu," gadis itu mengulurkan jemarinya yang dihias kutek merah muda indah dan bertabur hiasan. "Aku akan dengan senang hati menjadi teman pertamamu di kota ini. Jangan sungkan untuk meminta tolong padaku. Selama bisa, aku akan selalu membantumu." Tangan Meyra yang ukurannya lebih kecil menyambut tangan Loretta. Loretta bukan musuhnya, tulisnya dalam hati. Dia hanya gadis cantik dan manis yang memiliki posisi khusus di hati pria yang dicintainya.
Dan pria yang disebutnya itu akhirnya terlihat. Mengenakan tuxedo berwarna hitam dengan dasi kupu-kupu terpasang rapi di lehernya. Pakaian itu menonjolkan bahu lebar dan d**a bidangnya. Pinggang ramping dan kaki panjangnya terbalut celana berwarna senada. Meyra mendongak, meneliti kembali pria itu. Rambut hitam lebatnya tersisir dengan rapi. Jambang dan kumis tipisnya semakin menegaskan rahangnya. Alis tebal dan melengkung indah membingkai matanya yang memiliki tatapan tajam dengan bola mata berwarna biru gelap.
Dia, Nathaniel, pria 28 tahun yang ia puja selama 10 tahun ini tampak begitu gagah dengan setelannya. Lebih dewasa dari waktu terakhir ia melihatnya. Guratan halus di dahinya menunjukkan bahwa pria itu terlalu banyak menggunakan otaknya.
Tidak ada senyum di wajahnya. Hanya ekspresi dingin dengan tatapan tajam. Namun, itu tidak melemahkan Meyra. Tidak menghilangkan rasa cinta dan merubahnya jadi benci. Sikap itu hanya menunjukkan pada Meyra bahwa kehadirannya disini memengaruhi pria itu. Membuatnya terusik. Meskipun bukan karena senang ataupun bahagia. Ia tahu bahwa kehadirannya hanya akan menambah luka pria itu. Luka karena kehadirannya sebagai pengganggu yang akan mengusik ketenangan hidup pria itu. Luka karena keberadaannya hanya akan mengingatkannya pada wanita yang dicintainya di masa lalu. Atau mungkin cinta itu masih ada sampai saat ini?
Katakan saja dia keras kepala. Ia masokis. Bertahan meskipun hatinya terluka. Namun satu yang saat ini ia tanamkan dalam hatinya. Ia tidak akan pergi dari pria itu kecuali pria itu mengatakannya dengan mulutnya sendiri.
"Hai, Nath. Lama tidak bertemu." Sapa Meyra dengan ramah. Meskipun hatinya dipenuhi gejolak. Keinginannya untuk berlari dan memeluk pria itu sangatlah besar. Namun remasan di bahunya seolah mengingatkannya bahwa itu tidak boleh ia lakukan.
"Ya, berapa lama kita tidak bertemu? Enam tahun?" Tanya pria itu dengan alis terangkat. Tangannya memeluk pinggang Loretta dengan mesra. Rasa cemburu menyesakkan dadanya. Namun Meyra berusaha menyembunyikan perasaannya dengan tampang datarnya. Dan pertanyaan Nathan mengenai waktu pertemuan mereka, pria itu salah. Salah, Nathan. Pertemuan terakhir kita adalah tiga tahun lalu. Saat kau mengungkapkan perasaanmu pada kakakku. Tapi kau tidak pernah menyadari itu.
"Ya, enam tahun." Jawab Meyra datar. Meskipun setiap harinya ia selalu mendapatkan foto kiriman dari Gilbert. Tapi itu adalah rahasia kecil antara dirinya dan Gilbert.
"Aku tidak tahu kalau Gilbert punya kekasih secantik dia." Suara Loretta mencairkan suasana dingin di antara mereka.
"Kekasih?" Kening Nathan tampak berkerut. Matanya menatap Gilbert dan Meyra bergantian.
"Ya, hampir. Atau kalimat tepatnya, bisa jadi." Jawab Meyra dengan tenang.
"Bisa jadi? Apa maksudnya itu?"
"Ayolah, Nath. Aku masih muda. Dan aku baru saja datang kesini. Siapa yang tahu diluar sana ada pria yang lebih baik, lebih tampan, dan lebih mapan dari Gilbert." Ucapnya kembali mengulang apa yang dikatakan Gilbert tempo lalu.
Gilbert mengacak rambutnya dengan senyuman. "Nikmati masa mudamu, Princess." Ucapnya lembut dan mengecup sisi kepala Meyra.
"Oohhh... So sweet." Ucap Loretta dengan mata berbinar bahagia. Namun tatapan Nathan pada mereka tidak seantusias Loretta.
"Kita berangkat, sebelum terlambat." Nathan meraih tubuh langsing Loretta, melewati Gilbert dan Meyra. Tak sekalipun pria itu menoleh padanya.
Saat suara deru mesin terdengar, saat itulah Meyra menopang tubuhnya pada sofa terdekat. Kakinya terasa lemas seketika. Keringat dingin entah bagaimana muncul di pelipisnya. Gilbert mendesah pelan melihatnya. Namun tak urung membantu mendudukkannya di sofa lalu mengambilkannya air putih.
Meyra meneguk habis air putih di tangannya sampai tak tersisa. Gilbert duduk di sofa single yang paling dekat dengannya. Kedua tangannya terangkum di atas lutut dan menyangga kepalanya. "Perangmu baru saja dimulai, dan lihat kondisimu?" Ucapnya dengan nada mengejek. Meyra menatapnya tajam. Jika saja matanya mengeluarkan laser, maka tubuh Gilbert entah akan berbentuk seperti apa sekarang.
Pria itu tertawa senang. Tubuhnya yang kini bersandar di sofa bergerak seiring tawanya. Ingin sekali Meyra melemparkan gelas di tangannya ke kepala Gilbert. Namun sesaat setelah dipikirkannya, ia mengurungkan niatnya. Ia masih membutuhkan otak Gilbert untuk membantunya. Jika otak itu rusak, ia akan menyesal sendiri karena tidak akan ada orang lain yang bisa menolongnya.
Gelak tawa itu akhirnya berhenti. Gilbert mengusap sudut matanya yang berair. Ia memandang Meyra dengan lekat. "Bersiaplah, Princess. Perjuangan kita baru dimulai. Dan jika kau terluka di pertengahannya, salahkan saja hatimu. Siapa suruh perasaanmu padanya tak pernah berubah."
Pria itu menepuk kedua pahanya dan bangkit berlalu, meninggalkan Meyra sendiri dengan gelas kosong yang tergenggam erat di kedua tangan mungilnya.
Ya. Gilbert benar. Bagaimanapun salahkan saja hatinya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
yang masih belum tap love di cerita Mimin siapa hayoooo?? cerita ini gak bisa update tiap hari sebelum jumlah ❤️ nya mencapai 500,, bukan mau Mimin, tapi emang syarat aplikasi nya begitu... jadi yang belum masukin cerita ini ke pustaka,, mimin tunggu ya...