Kembar Siam

1250 Words
“Pilihlah makanan yang kamu suka, pilih aja jangan sungkan” pinta Hans, dia menyodorkan lembar menu di kafetaria rumah sakit. “Emm maaf dok, aku belum lapar” ujar Nia. Memang aneh rasanya setelah banyak menangis lalu makan, Nia ingin menolak ajakan makan Hans terlebih mereka baru saja bertemu tak terlalu lama. Nia tak mau teman dari Rafael itu merasa kasihan padanya hanya karena ia tak memiliki banyak kekuatan untuk menyelamatkan ibunya. “It’s okay Nia, aku mau mie ayam aja. Kamu mau makan apa jangan ragu, pilih aja ya” ujar Hans, dia terus membujuk Nia agar mau makan. “Let see, makanan disini enak semua, bingung milihnya” gumam Rafael, ia melihat menu yang di pegang oleh Nia. “Aku pesan soto ayam, kamu pilih yang mana Nia?” tanya Rafael. “Hei hei, aku traktir Nia bukan kamu. Jadi bayar sendiri khusus buatmu nanti” omel Hans, ia merebut menu yang di pegang Rafael. Hans tersenyum manis sekali pada Nia, “Silahkan kamu pilih, jagan khawatir kafetarianya tutup jam delapan malam jadi mereka masih punya banyak stok makanan” “Dok, aku masih belum terlalu lapar jadi..” “Baiklah aku akan pesan, kalian tunggu disini” sahut Rafael sebelum Nia menolak lagi. “Mas?” panggil Nia. “Nia duduklah, nggak apa-apa kamu makan aja sama kita. Aku dan Rafael nggak ada niat jahat kok jadi kamu nggak perlu khawatir kami akan memakanmu juga hehe” sifat usil Hans kembali lagi. Nia tersenyum juga akhirnya setelah beberapa jam menangis, “Nah gitu dong senyum, kamu cantik kalo senyum begini hehe” goda Hans. Nia tak bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu, sudah sejak lama ia tak mendengar pujian seperti itu di lontarkan oleh seorang lelaki. Hans sendiri melirik Rafael yang lari-larian memesan makanan mereka, ia sedikit merasa aneh Rafael mau makan soto padahal sebelumnya Rafael jarang menyantap makanan satu itu. “Hei aku penasaran kenapa dia mau makan soto?” gumam Hans agak keras. “Kenapa memangnya, dok?” tanya Nia. Hans menatap Nia yang sungguh bertanya padanya, “Well dia tipe orang yang jarang makan hidangan asli Indonesia soalnya sejak kecil dia tinggal di Amerika sama orang tuanya jadilah lidahnya terbiasa makan masakan ala Amerika itu” jawab Hans. “Tapi mas Rafael makan seperti biasa, dia doyan makan perkedel atau tempe bacem” gumam Nia tak paham. ‘Yah karena itu dia lagi bareng sama kamu makanya dia mau makan hidangan melokal, coba kalo barengan aku atau Ellaine pasti deh beda cerita’ ucap Hans dalam hati. “Biaklah karena kamu kelihatan bingung begitu, aku buka sesi tanya jawab jadi kamu boleh tanya apapun padaku nggak usah takut” kata Hans, ia merapatkan lipatan tangannya pada tubuh. “Dokter Hans sudah lama kenal sama mas Rafael?” tanya Nia. “Well bisa di katakan kami kayak anak kembar siam karena kemana-mana selalu berdua, mungkin lebih dari delapan tahun aku terjebak dengan Rafael. Ada yang kamu tanyakan soal dia?” “Nggak heran sih dokter tahu banyak tentang mas Rafa” jawab Nia malu-malu. “Well yah, keluarga kami sangat dekat dengan keluarga Ellaine juga jadi jangan heran kalo kami bertiga punya banyak persamaan” kata Hans lagi. Nia menundukkan wajahnya perlahan, ia menyadari siapa dirinya dan tingkatan sosial yang berbeda dengan Rafael maupun Hans. Berada di sekeliling mereka bukanlah hal yang bagus untuk kesehatan mentalnya, Nia bukan berasal dari keluarga kaya seperti mereka semua. “Ada lagi yang ingin kamu tanyakan?” tanya Hans. Nia menggeleng pelan, “Nggak ada, dok” Hans tersenyum kecil mendengar jawaban Nia yang kurang memuaskan, “Kalo gitu ganti aku yang sekarang tanya sama kamu” “Tentang apa?” tanya Nia, ia merasa tak ada hal spesial yang harus di ulik tentangnya. “Tentang Rafael dong, tentang apa lagi memangnya” sahut Hans kocak. “Aku nggak terlalu dekat dan baru kenal beberapa hari sama mas Rafa, jadi aku nggak bisa bantu banyak dok” jawab Nia sangat polos. “Haha tenang aja, aku cuma penasaran gimana pertemuan awal kalian” kata Hans mulai memancing pembicaraan. “Kami ketemu secara nggak sengaja dok, ini bukan hal menarik yang tepat untuk di ceritakan” ucap Nia pelan. “Nggak apa-apa, aku mau tahu bagaimana kalian ketemu” kata Hans lagi, “Sejujurnya sangat sulit mendekati pria macam Rafael bahkan cewek satu kampus nggak ada yang bisa menarik hatinya” Nia terbelalak kaget, “Benarkah itu?” Hans mengangguk pelan, “Sulit di percaya kan? Tapi semua itu memang benar adanya, nggak ada satupun yang bisa mendekainya. Dan juju raja baru hari ini aku melihatnya jalan bareng cewek selain Ellaine” Nia jadi tersipu, “Pertemuanku dengan mas Rafael hari ini juga nggak sengaja dok, kami nggak punya hubungan seperti yang dokter pikirkan” “Aku nggak menuduh kalian pacaran tapi aku yakinkan kalo Rafael bukanlah pria jahat, dia sangat baik dan setia kawan” kata Hans. Nia menundukkan wajahnya lagi, entah apa yang di maksud oleh Hans sampai mengatakan hal itu padanya. Nia tak akan pernah bisa menjalin hubungan dengan pria kaya raya, melihat statusnya yang berada di bawah standart bukanlah hal yang baik untuk memaksakan diri. Selain itu dia hanya menganggap Rafael kenalan biasa tanpa berpikir macam-macam, bukanlah tujuannya berteman dengan Rafael tak lain hanyalah sekedar karena ia ingin bertemu dengan Ellaine sang panutan hidupnya? “Tenang, dia nggak akan mencelakaimu jadi jangan terlalu keras padanya. Aku yakin Rafael akan menjagamu dan juga ibumu seperti dia menjaga keluarganya sendiri” kata Hans menyemangati. Nia teringat hanya Rafael satu-satunya orang gerak cepat ketika ibunya tengah tak sadarkan diri, hanya Rafael satu-satunya orang yang segera memberikan pertolongan pertama saat itu. Jika saja Rafael tak ada di tempat entah apa yang akan terjadi pada ibunya. * Nia sedikit melirik wajah Rafael ketika lelaki itu tengah menikmati soto buatan kafetaria, Nia menduga Rafael memang belum terbiasa makan hidangan local walaupun kata Hans pria ini sudah lama tinggal di Indonesia. Melihat caranya makan saja masih kelihatan kalau Rafael belum terbiasa, Nia melihat Rafael yang memisah kuah soto dengan nasi dan ayamnya. Ketika makan nasi, Rafael akan menceluk nasi di sendok lalu memakannya. “Kenapa? Kamu heran cara dia makan modelnya begini?” tanya Hans terang-terangan. Nia menggeleng cepat ketika Rafael mulai menatapnya, “Ahaha nggak kok dok” “Haha nggak apa-apa kali, Rafael memang udah kebiasaan makan kuah pake cara begini hehe” ujar Hans sengaja menggoda Rafael. “Hei hei, kau mau memojokkan aku disini muka licin?” ejek Rafael. “Kau ini, sudah ku bilang wajahku bersih bukan licin. Sekali lagi kau memanggilku begitu, bakal ku bongkar nih foto masa lalu di depan Nia” ancam Hans. “Heh bawel” ujar Rafael, ia menyerah bila aibnya akan di bongkar apalagi di depan gadis spesial. Nia tertawa kecil mendengar keributan ringan antara dua sahabat itu, tak di sangka Hans dan Rafael bukan hanya seperti kembar siam tapi lebih mirip dengan bumi dan langit yang selalu bertengkar satu sama lain. Tak lama Hans menerima pesan dari dokter Indra, ia melihat Nia yang masih menikmati makanan soto di depannya. “Mau tambah satu porsi lagi?” tanya Rafael. Nia menggeleng pelan, “Aku udah kenyang mas, porsinya cukup banyak untukku” Hans melihat lagi pesan yang di kirim oleh dokter Indra, tak akan tega Hans mengatakannya saat ini juga. Keadaan yang di alami oleh ibu Nia telah di jabarkan dengan detail oleh dokter Indra melalui pesan itu, Hans meletakkan ponselnya kembali. ‘Jangan sekarang ku mohon’ ucap Hans dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD