Kontak Mata

1400 Words
‘Hans, bisa kamu ke rumah sakit hari ini? Ada beberapa berkas yang harus kau terima sebagai wakil penggantiku saat ini’ Pesan itulah yang membuat hari Sabtu ceria Hans berubah seketika, ia harus merelakan hari liburnya untuk kembali ke rumah sakit. Tak ada yang bisa Hans lakukan bila menyangkut Ellaine, lelaki yang sering di katakan memiliki wajah mulus bak porselen itu segera berangkat ke rumah sakit sejak pagi. “Halo Mitha” sapa Hans. “Loh dok, kok… kok dokter kesini?” tanya Mitha kebingungan. Hans menyerahkan berkas yang ia bawa dari apartemen, “Yup, aku membawakan banyak berkas untuk pengadaan gedung baru yang kana di bangun sebelah selatan. Apa nona Mitha sudah terima berkas dari nona Ellaine?” “Oh sudah dok, sebentar saya ambilkan” Hans menatap banyaknya pasien di hari Sabtu ini, meskipun dia tengah menikmati dua hari liburnya namun melihat ramainya pasien di hari ini membuat hati kecilnya makin menjerit kesakitan. Ia tak bisa membayangkan betapa sibuknya semua dokter maupun pegawai disini yang menangani para keluarga. “Ini dok, saya baru menerima beberapa lembar lagi dari email nona Ellaine” ujar Mitha namun ia tak melihat Hans di depan meja resepsionis lagi. “Loh.. dokter Hans? Anda kemana?” gumam Mitha, tak lama ponsel Mitha berdering kencang. “Halo dokter Hans?” ‘Mitha, maaf aku harus kembali ke ruanganku sekarang. Bawa saja berkasnya, aku akan kembali ke depan mengambilnya nanti’ ucap Hans dari seberang telepon. “Ta-tapi dokter, hari ini..” ‘Oh ya pasien yang di handle oleh dokter di lantai kedua bisa di alihkan padaku. Aku punya banyak waktu luang jadi aku akan membantu kalian hari ini, jangan pikirkan apapun lagi dan segera jadwalkan pasiennya’ “Ba-baik dok, saya akan segera jadwalkan ulang semua pasien hari ini pada anda” kata Mitha. Hari ini memang waktu berharga bagi Hans untuk merasakan liburan namun hati kecilnya sebagai seorang dokter tak bisa membiarkan hal itu terjadi. Hans segera menyambar jaket khas dokter berwarna putih dan mendapatkan banyak sekali pasien sejak jam delapan pagi. “Lupakan soal liburan bodoh itu jika kau seorang dokter sejati, Hans” gumamnya sendiri di depan cermin toilet ruangannya. Hans kembali ke meja kerjanya bersiap untuk menyambut pasien yang akan datang sepuluh menit lagi, ia terdiam saat melihat foto dirinya, Ellaine dan juga Rafael yang ia pajang di meja. Hans terdiam beberapa saat melihat dua orang sahabat baiknya memiliki banyak sekali kisah hidup yang berbeda, mungkin sekarang ini jalan menuju perpisahan semakin dekat. “Selamat pagi, dok” sapa seorang perawat, ia masuk setelah mengetuk pintu ruangan Hans. “Iya selamat pagi, nona Cantika” sapa Hans juga. Suster yang terkenal memang cantik itu meletakkan minuman hangat di meja Hans, “Ini silahkan di minum dok, saya ambilkan camilan juga” katanya sedikit manja, tentu saja agar Hans meliriknya. Hans tersenyum manis menerima minuman dari suster itu, “Terima kasih banyak” Suster itu kembali ke tempatnya setelah membawakan Hans teh hangat, walaupun ia sengaja berjalan ala bebek yang menggoyang-goyangkan pinggulnya sayang sekali Hans tak sekalipun melihatnya. Sorot mata Hans kembali menatap foto bahagia dimana dia dan dua sahabat itu masih menjadi orang bebas tanpa memikirkan hal lain. “Lihat wajah kalian berdua, tersenyum sebodoh itu. Dan lihatlah kalian sekarang, hidup tanpa adanya kejelasan akan status yang di sandang, well nggak jauh berbeda denganku pula kawan” gumam Hans. Ia duduk menatap layar computer yang sama menunjukkan tiga bersahabat itu dengan latar belakang pesta di rumah salah satu teman kampus. Hans menghela napas melihat ketiga wajah itu benar-benar kelihatan bahagia di masa lalu. “Tapi semua ini sudah jadi takdir bukan? Kita sendiri yang memilih jalan rumit ini, kita harus menyelesaikan semua yang kita mulai kawan” gumamnya lagi. “Selamat pagi, dokter” sapa seorang ibu membawa putranya yang berusia delapan tahunan masuk ke ruangan Hans. Hans tersenyum sangat ramah, “Silahkan masuk, bu” Pagi yang cerah nan indah di akhir pekan ini menjadi hari yang menyenangkan untuk Hans, ia melayani banyak pasien yang di jadwalkan untuknya. Tak ada jalan untuk mundur, tak ada waktu untuk bermalas-malasan atau egois mendahulukan kepentingannya sendiri * “Dokter, permisi” sapa Mitha di depan pintu ruangan Hans. “Oh Mitha, maaf aku tadi mau kesana setelah aku selesai memberikan laporan hari ini” kata Hans, ia mengetik sesuatu di komputernya. “Nggak apa-apa dok, saya bawakan berkas tadi pagi. Ini sudah semua berkas lengkap yang di kirimkan oleh nona Ellaine, mohon untuk di tinjau sebelum di serahkan ke direktur utama saat ini dok” ujar Mitha, ia menyerahkan berkas tersebut. “Baik, terima kasih banyak ya sudah repot membawakan laporan ini. Aku akan mentraktirmu bersama Rana lain kali” kata Hans. Wajah Mitha berubah sangat senang mendengarnya, “Baik dok, terima kasih banyak. Anda bekerja sangat keras hari ini, jam kerja dokter akan segera berakhir sepuluh menit lagi. Saya akan mengerjakan laporan setelah anda selesai melihat semuanya” “Baiklah kamu boleh pergi” kata Hans. Mitha mengangguk senang, ia selalu merasa bahwa Hans membawa banyak sekali kegembiraan di rumah sakit bahkan hawa dan keberadaan Hans yang positif itu selalu membuat semua orang di sekitarnya selalu bahagia. Hans sendiri segera menyelesaikan semua laporannya dan kembali pulang, jam menunjukkan pukul empat tepat ketika ia berjalan menuju basemen. Namun kali ini entah mengapa Hans sangat ingin berjalan menuju arah yang berbeda, biasanya ia akan langsung menuju basemen dengan mengambil jalan lebih pendek. “Rafael?” gumam Hans. Ia melihat sosok yang benar-benar ia kenali itu berada di lantai lain di ruang khusus unit gawat darurat, ia tak mengerti kenapa sahabatnya itu berdiri di depan ruangan yang jarang mereka datangi. Benar saja Hans langsung mendekati Rafael yan duduk di kursi deretan di depan ruangan. Semakin dekat dengan Rafael, Hans melihat dengan jelas sosok gadis yang tengah berdiri di depan sahabatnya. Gadis yang tidak asing itu menunduk seakan melihat Rafael sebagai gunungan dosa, Hans terkejut ketika wajah Rafael malah kelihatan lesu dan memelas. “Rafael? Kamu ngapain di sini?” tegur Hans. Rafael dan Nia sontak menoleh pada sosok super tampan di rumah sakit ini, jantung Rafael mendadak berdegup sangat kencang melihat sosok sahabatnya yang tak terduga ini. Rasanya ingin sekali Rafael menggigit pipi Hans yang aneh itu. “Kamu ngapain disini?” tanya Hans lagi, ia mendekati Rafael dan Nia. “Aku juga mau tanya soal itu, ngapain kamu kesini di hari Sabtu” tanya Rafael, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Dokter Hans, selamat sore” sapa Nia. “Halo nona, aku sudah minta kamu panggil aku pake nama aja jangan memanggilku begitu hehe. By the way apa yang kalian lakukan berduaan disini?” sifat jahilnya kembali muncul untuk menggoda Rafael. ‘Lihat saja dia, dasar muka licin! Kau nggak lihat wajah gadis itu lagi sedih ibunya sakit lagi, ha!’ ucap Rafael memberikan kontak mata pada Hans. ‘Hei mana ku tahu soal itu, lagian kenapa kamu ada di sekeliling dia akhir-akhir ini!? kau menguntitnya ya? udah ku bilang jangan terlalu membantunya, biarkan dia berusaha’ jawab Hans dengan telepati melakui kontak mata. ‘Ngaco aja! Kebetulan aku ada di sekitar rumahnya dan juga mana mungkin aku meninggalkan dia lagi menangis begitu! Kau ini memang paing susah di ajak ngobrol soal beginian, huh!’ sahut Rafael kesal. Saking lamanya mereka berteman, mereka berdua sampai tahu apa yang akan di katakan oleh satu sama lain. Rafael menepuk jidatnya karena Hans tak mengerti apa yang ia sampaikan di telepati terakhir, sudah jelas Hans pasti mengomel sepanjang waktu. “Ibumu ada di dalam sana ya?” tanya Hans. “Hemm, sudah beberapa jam tapi belum ada satupun yang memberikan kabar baru dari ibu” jawab Nia sambil terus terisak. “Hemm jadi begitu, baiklah ikut aku sekarang” ajak Hans. “Apa? Mau kemana memangnya?” tanya Rafael tak percaya. “Dokter, aku ingin disini saja nunggu ibu. Nanti aku nggak tahu kondisi ibu kalo dokter Indra keluar” tolak Nia. “Yup aku tahu, tapi jangan khawatirkan soal itu. Lihatlah, wajahmu sangat pucat dan bibirmu mulai membiru, aku khawatir lihat manusia salju disini” ujar Hans. Nia melihat wajahnya sendiri pada pantulan cermin yang di bawa oleh Hans, memang benar wajah nya begitu pucat dan mengerikan bagai mayat hidup. Entah sudah berapa ratus butir air mata yang ia jatuhkan sejak empat jam berlalu, ia sama sekali tak menyadarinya hingga saat ini. Hanya ibunya yang ia pikirkan, bayangan wajah ibunya terus membuat Nia menyalahkan diri sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD