Percaya Padaku

1210 Words
Angin semilir menghembus wajah sendu tak b*******h di depan pintu ruangan berwarna putih, hawa dingin makin terasa di ujung tengkuk gadis cantik berambut panjang itu. Air matanya terus menetes tanpa henti menatap lurus pada pintu putih yang tertutup rapat, dinginnya angin sore ini sama sekali tak mempengaruhinya untuk tetap bertahan berada di depan pintu. Jam telah menunjukkan pukul empat sore, sinar mentari makin menguning menunjukkan hari akan segera gelap. Sentuhan kecil terasa di pundak Nia, ia menoleh pada sosok Rafael yang berdiri tegak di sampingnya. “Minumlah ini” ujar Rafael menyodorkan minuma kaleng dingin. “Aku nggak haus, mas” tolak Nia halus, ia menatap pintu dimana ibu Nia tengah di rawat. Rafael tak mau menyerah kali ini, ia kembali menyodorkan minuman dingin itu pada Nia, “Aku tahu kamu khawatir sama ibumu, tapi untuk sekarang kamu harus minum dulu. Aku nggak mau kamu mati dehidrasi disini” “Aku nggak akan memaafkan diriku kalo masih bisa makan enak tapi ibuku sebaliknya, aku nggak haus mas” jawab Nia lemah. “Setidaknya kamu harus punya tenaga untuk melihat ibumu lagi, juga ibumu pasti nggak senang kalo kamu menyiksa diri karena beliau. Berhentilah membuat ibum khawatir Nia, kamu harus tetap sehat dmei ibumu” pinta Rafael. Nia menutup matanya yang basah akan air mata, entah sudah berapa ratus butiran air mata yang jatuh di pipinya, dua bola mata indah itupun makin memerah akibat banyaknya kesedihan yang ia luapkan hari ini. Gadis itu kembali menangis dan menangis lagi, tak ada hal lain yang bisa ia lakukan saat ini selain menunggu kabar ibunya yang tengah di rawat. Rafael duduk pada deretan kursi di depan Nia, kursi itu memang tersedia untuk para keluarga yang datang untuk menjenguk sanaka keluarga mereka. Wajah Nia terlihat sangat jelas di depannya, lelaki itu merasa sangat bersalah karena sudah mengajak Nia jalan begitu lama sampai meninggalkan ibunya sendirian. “Nia, maafkan aku. Karena aku, ibumu telat datang ke rumah sakit. Kalau aku nggak seegois ini, mungkin kamu dan ibumu nggak akan berakhir seperti ini” sesal Rafael. Nia mengusap matanya yang amat basah, “Nggak apa-apa mas, semuanya sudah terjadi. Lagi pula aku juga salah nggak langsung pulang, dan juga mas sudah bantu beri tumpangan kami sampai ke rumah sakit, kalo nggak ada mas Rafael mungkin ibu sudah.. sudah..” ujar Nia, ia tak bisa melanjutkan kalimatnya yang terpotong. Rafael meraih telapak tangan Nia yang dingin, “Maaf Nia, maafkan aku sekali lagi. Aku janji aku pastikan ibumu baik-baik saja, ku mohon percayalah padaku Nia” “Kau mau percaya padaku kan, Nia?” tanya Rafael lagi, ia makin merapatkan genggaman tangannya. Nia mengangguk pasrah, entah harus bagaimana lagi ia bersikap. Menjerit atau menangis ratusan kalipun tak akan mudah membuat ibu yang paling di sayanginya membuka mata dalam sekejab. Luka yang di alami oleh bu Kalsum terlihat jelas menganga di kaki kirinya dan hal itu akan sukar untuk di sembuhkan dalam hitungan hari. Flashback empat jam yang lalu.. Empat jam yang lalu ketika Nia baru pulang dari aksi penculikan kecil yang di lakukan oleh Rafael, Nia tak melihat pintu rumah sedikit terbuka padahal sebelumnya pintu rumah selalu terbuka saat pagi sampai sore, malam hari mereka akan menutup pintu hingga pagi menjelang. “Hemm, mungkin aku nggak di ruma jadi ibu nggak buka pintunya” gumam Nia. Gadis itu masuk ke dalam rumah tanpa curiga sedikitpun, “Ibu.. Ibu dimana?” panggil Nia. Ia tak menemukan ibunya dimana-mana, Nia mulai panik saat melihat kursi roda ibunya berada di depan pintu kamar mandi. Nia bergegas mendekati kamar mandi dan benar saja, ia mendapati ibunya tergeletak di lantai kamar mandi, ia tak bisa berteriak saking kagetnya. “Nia? Nia? Bu Kalsum?” panggil seorang wanita di depan rumah Nia. Tak kunjung mendapatkan jawaban dari dua orang pemilik rumah, dia langsung masuk ke dalam rumah Nia dan melihat Nia memegangi ibunya yang tergeletak di kamar mandi, ia sama terkejutnya dengan Nia melihat darah mulai keluar dari kaki kiri ibu Nia. “Nak, ibumu kenapa?” tanya wanita yang tak lain adalah pemilik rumah jahit tempat ibunya bekerja. “Ibuku, tolong ibuku!” ujar Nia panik. “Iya ibu minta bantuan tetangga, kamu tutupi luka ibumu biar nggak menganga seperti itu!” ujarnya sembari berlari. Wanita itu segera keluar mencari bantuan tetangga, warga mulai berbondong-bondong datang ke rumah Nia, sebagian dari mereka sibuk mencari kendaraan yang tepat dan sebagian lagi hanya ingin melihat apa yang tengah di ributkan oleh warga sekitar tanpa niat membantu. “Ibu.. ibu bangun aku mohon bangun bu, maaf tadi aku ninggalin ibu sendirian di rumah. Ku mohon ibu jangan diam aja, bangun bu” isak Nia, tak tahu lagi harus bagaimana. Ia tak punya kendaraan bermotor, ia tak punya mobil yang bisa di bawa kemana-mana, satu-satunya hal yang ia miliki hanyalah kedua kaki sendiri. Namun membawa ibunya yang tengah pingsan dengan kaki penuh darah akan menyulitkannya untuk menggendong sang ibu, tubuh renta itu aka makin kesulitan untuk bertahan tak lebih lama dari satu jam sejak kehilangan banyak cairan. “Nia!?” teriak sosok yang amat ia kenal. “Mas Rafael?” gumam Nia tak percaya. Suara dari lelaki itu makin lama makin mendekat, dia tak lain adalah Rafael. Lelaki itu menerobos kerumunan warga dari depan sampai masuk ke dalam rumah Nia, ia segera membersihkan sisa darah yang keluar dari kaki ibu Nia, secepat kilat Rafael menutup pelan lukanya agar tak makin melebar dan mengeluarkan banyak darah lagi. Nia memperhatikan tingkah Rafael yang kelihatan sangat ahli mengobati orang lain, “Ibumu jatuh dari kursi roda?” tanya Rafael sedikit panik. Nia tak menghiraukan ucapan Rafael, yang ia lakukan hanya menangisi ibunya yang tak kunjung bangun, “Nia! Jangan diam aja, cepat ambil baju ibumu, kita ke rumah sait sekarang!” gertak Rafael. “Tapi mas, ibu masih belum bangun..” ujar Nia terisak. “Kau mau menunggu sampai ibumu bangun baru membawanya ke rumah sakit? Jangan bercanda Nia, ibumu sudah kehilangan banyak darah, jangan bicara aja cepat ambil perlengkapan yang kau butuhkan dan susul aku ke mobil!” perintah Rafael, lelaki itu segera menggendong ibu Nia dan berlari menuju mobil. “Mas, tunggu!” teriak Nia, dia segera masuk ke dalam kamar ibunya dan mengambil beberapa perlengkapan. Orang-orang di sekitar pekarangan rumah Nia ikut cemas dengan keadaan ibu Nia yang tak sadarkan diri dengan wajah sangat pucat, “Nia, kamu kenal siapa laki-laki tadi?” tanya ketua RT pada Nia saat ia akan keluar rumah. “Iya pak dia teman saya, pak” jawab Nia. “Bapak pernah lihat wajahnya tapi lupa dimana ya?” gumam ketua RT itu, sama seperti Nia karena dia sendiri pernah melihat wajah Rafael yang nggak asing. “Maaf saya harus segera menyusul ibu ke rumah sakit, terima kasih bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah datang untuk membantu” ujar Nia sambil berlalu. Orang-orang disana menyemangati Nia dengan banyak dukungan dan doa tulus, banyak juga yang akan berjanji untuk menjenguk ibunya di rumah sakit. Entah semua ucapan janji mereka benar atau tidak tapi Nia tetap berterima kasih pada mereka yang telah mendoakan ibunya. Flashback End.. “Aku jamin semuanya akan baik-baik saja, sekarang minum ini dan tenanglah” pinta Rafael lembut, akhirnya Nia terbujuk dengan Rafael dan meneguk minuman kaleng itu perlahan. “Rafael? Kamu ngapain di sini?” tegur seseorang tak jauh dari mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD