Melewati hari penuh kebaahagiaan adalah impian setiap manusia di dunia, hadirnya orang terdekat di sisi menjadi penyejuk hati tersendiri. Kebahagiaan tak terkira ketika setiap manusia di beri kesempatan merasakan hangatnya kebahagiaan di atas nama cinta.
Mungkin itulah yang di rasakan oleh Rafael, lelaki tipe spek purba yang tak pernah tahu menahu apa itu cinta. Tak tahu bagaimana cara untuk menyenangkan seorang wanita, bagaimana rasanya menyenangkan wanita spesial. Cinta telah menyentuh relung hati Rafael yang kaku di kelilingi tembok kokoh tak terpatahkan.
Mengenal gadis muda dengan segala kesederhanaan ini, membuat Rafael sejenak menanggalkan status besar yang tengah ia sandang. Tak satupun gelar doktor maupun CEO tersemat di dalam dirinya ketika ia berada di samping gadis penakhluk hatinya, entah sudah berapa ratus kali gadis itu seakan mengubur semua duniawi yang tersemat pada diri Rafael.
Gadis sederhana yang tinggal di komplek pemukiman padat penduduk itu berjalan santai menuju rumahnya yang telah ia tinggali selama lebih dari dua puluh tahun belakangan ini. Bibirnya tersenyum cerah saat ia berpapasan dengan warga lain, tak sedikit yang menyapa mereka berdua.
“Ada apa?” tanya Nia heran.
“Nggak, aku heran semua orang disini nyapa kita. Emang kamu kenal mereka semua?” tanya Rafael.
“Tentu dong, aku sudah tinggal disini sejak bayi. Aku kenal semua orang disini bahkan yang baru lahir sekalipun” sahut Nia bangga.
Namun wajah Rafael menunjukkan ekspresi lain, mereka berdua tetap berjalan santai menuju rumah Nia yang tak lama lagi akan sampai.
“Lihat bapak yang lagi di jemur kasur di depan teras, itu pak Muji, beliau ketua RT disini” kata Nia sambil menunjuk ketua RT.
“Terus itu disana ada ibu-ibu lagi gendong anaknya, itu bu Shinta ketua PKK disini” ujar Nia lagi, sedangkan Rafael asyik mengikuti arah pandang Nia.
“Lihat yang itu, kakek yang lagi duduk di kursi halaman itu mantan hansip disini” lanjut Nia, walaupun mereka tengah berjalan santai namun menjelaskan semua warga disini adalah hal yang menyenangkan untuk Rafael.
“Lalu itu yang itu lagi nemenin anaknya main di teras tetangga, itu ibu-ibu yang jualan makanan ringan kalo pagi dan teman ibuku jadi penjahit” kata Nia, ia lalu menunjuk salah satu warga yang mendorong gerobak.
“Tunggu dulu, dari tadi kamu cuma nunjuk yang tua-tua aja. Jangan-jangan kamu taunya yang tua, coba tunjuk yang muda” protes Rafael.
“Oke aku bakal kasih tahu kalo ada anak lewat yang..” ucapan Nia tak selesai, lelaki di sampingnya lenyap entah kemana.
“Mas?” panggil Nia, padahal baru saja Rafael ada di sebelahnya.
“Mas Rafael?” panggil Nia lagi.
Nia membalikkan badan dan mendapati sosok Rafael tengah menolong bapak tua mendorong gerobak ketoprak menuju tempatnya berdagang. Jalanan yang sedikit menanjak itu memang sedikit menyulitkan orang serenta itu untuk mendorong gerobak yang makin lama makin berat.
“Nia tunggu bentar, aku balik bentar lagi” teriak Rafael.
Nia tak menyangka lelaki super aneh dan kelihatan kaya raya itu punya hati nurani layaknya manusia, hal itu tak terlihat saat pagi ini Rafael bersama Nia, malahan Rafael sengaja membiarkan Nia bosan sendirian selama empat jam lamanya.
“Hei kenapa dia kelihatan lebih bernurani sekarang?” gumam Nia, ia merapatkan kedua tangannya perlahan, “Well, dia baik sih tapi agak menyebalkan untuk hari ini” gumamnya lagi.
Tepat di jalan yang tak lagi menanjak, Rafael melepas bapak pedagang ketoprak itu. terlihat jelas raut wajah terima kasih dan senyum bahagia pegadang itu saat Rafael membantunya. Senyuman tulus dari bapak pedagang itu menular pada Nia, tak terasa kedua sudut bibirnya ikut naik sempurna.
Dari kejauhan tubuh Rafael yang tinggi besar itu berjalan cepat setengah berlari mendekati Nia lagi, rambut hitam panjang itu di tersapu angin mengiringi setiap langkah Rafael. Tak terduga Nia tersipu melihat sosok nyaris sempurna itu berlarian mendekatinya dengan wajah super keren dan tenang.
“Maaf tadi aku mendadak ninggalin kamu, mau jalan langsung pulang sekarang?” tanya Rafael.
‘Tadi pagi dia nyeret aku kesana kemari, akhirnya dia nyuekin aku, sekarang dianya malah peduli banget sama orang tua. Orang ini memang anehnya beda dari yang lain’ ucap Nia dalam hati.
“Nia? Hei kamu lagi ngelamun?” panggil Rafael.
“Oh ya, langsung pulang. Aku khawatir sama ibu, bentar lagi jadwalnya ke rumah sakit” kata Nia kikuk.
Perjalanan manis bagi Rafael itu kembali berlanjut, yang paling menyenangkan ketika Rafael mulai melihat pagar kayu setinggi lutut orang dewasa. Nia membuka pagar yang tak memiliki fitur penyelamat itu, bisa di katakan kalau pagar di depan rumah Nia hanyalah hiasan semata yang berfungsi sebagai penghalang bunga hias di halaman Nia agar tak menjalar ke luar halaman.
Sebagai manusia biasa, mungkin hal sederhana inilah yang selalu ia idamkan sejak kecil walau namanya termasuk dalam jajaran pebisnis mumpuni. Kebahagiaan yang selalu di idamkan oleh banyak orang dari cinta sederhana yang sulit untuk di ungkapkan, siapa sangka hati rapuh Rafael terpaku begitu dalam pada sosok gadis muda nan sederhana ini.
Sekali lagi, hanya kebahagiaan sederhana yang di idamkan oleh hati kecil penuh kerinduan tak terbendung, yang merindu hanyalah sosok sederhana penyambut pagi. Mungkin mentari sejati miliknya berwujud gadis sederhana, namun kesederhanaan itu mengubah segalanya menjadi kesempurnaan.
Tepat di depan rumah Nia, gadis itu berbalik menatap Rafael yang hendak ikut masuk ke dalam rumah, “Mas, makasih banyak udah nganter aku pulang sampai ke rumah. Aku nggak bisa bayar semua kebaikan mas Rafael dengan apapun”
Rafael mengangguk pelan, “Aku yang harusnya minta maaf, baru juga seminggu ketemu tapi aku nggak sopan tadi. Maaf aku sudah ngajak kamu keluar sampe bete, lain kali aku cari tempat lebih bagus untuk hang out”
‘Loh, jadi tadi itu dia ngajak aku hang out?’ tanya Nia dalam hati, sungguh aneh jalan bareng cowok minim pengalaman cinta.
“Nggak apa-apa mas” jawab Nia singkat, “Aku masuk dulu yam as, bye”
Rafael mengangguk pelan, sejujurnya ia ingin sekali ikut masuk melihat kondisi ibu gadis spesial di hatinya namun ia tak punya hak lagi setelah membuat suasana hati Nia porak poranda. Terpaksa Rafael merelakan hari indahnya hanya sampai jam dua belas lebih sepuluh menit, empat jam bersama Nia terasa sangat kurang.
Rafael menutup pagar rumah Nia lalu berjalan kembali melewati jalanan yang tadinya terasa penuh bunga saat bersama Nia, berjalan sendirian kembali ke gapura komplek dimana ia memarkir mobilnya.
“Pak, lihat kesana pak” ujar seorang ibu-ibu yang tadi di tunjuk Nia sebagai penjual kue.
Ibu itu menunjuk arah rumah Nia pada seorang lelaki yang tak lain adalah suaminya, Rafael membalikkan badannya penasaran dengan topik yang mereka bicarakan. Dalam sekejab Rafael meninggalkan rumah Nia, tempat itu sudah di datangi oleh banyak tetangga.
“Nia? Ada apa dengannya?” gumam Rafael, ia berjalan kembali ke rumah Nia.
Semakin lama langkahnya makin cepat mendekat kembali, jerit tangisan Nia samar terdengar dari kejauhan. Jantung Rafael seakan berdetak lebih kencang mendengar keributan dari dalam rumah Nia, tak sampai lima menit ia meninggalkan rumah tenang ini tapi sekarang banyak sekali warga datang mengelilingi rumah beraksen Belanda ini.