Sore hari yang cerah dengan awan berwarna keemasan menghiasi langit senja, matahari makin tenggelam di telan oleh keheningan yang akan di ciptakan oleh malam. Walaupun sang penyinar bumi itu bersikeras ingin mewarnai hari namun tugasnya usai setelah hari berganti.
Bagi kebanyakan insan manusia, datangnya malam menjadi waktu terbaik untuk menenangkan pikiran dan beristirahat dari pekatnya kesibukan di pagi hari. Namun sepertinya hal ini tidak berlaku bagi Nia yang memiliki masalah tersendiri, setiap sore menjelang tubuhnya seakan menyalakan alarm tanda bahaya.
Seakan setiap detik berlalu menjadi masa paling menegangkan dalam hidupnya, sejak menghilangnya lelaki bermata indah itu seakan hidup Nia kembali teramcam akan bahaya. Anak buah Patrick bisa saja kembali mengikutinya karena lelaki bermata indah itu telah lenyap.
Namun kekhawatirannya makin berubah menjadi rasa jijik seketika melihat sosok pria bertubuh tambun berada di depannya, senyum seringai itu nampak begitu menggelikan bagi Nia. Tak ada satupun hal yang membuat pria ini menarik di matanya, bahkan jika semua umat lelaki punah Nia tetap bersumpah akan menolak menjadi pasangannya.
“Akhirnya kamu muncul, gadis manis” ujar Patrick, senyum itu menunjukkan deretan gigi yang tak putih.
Nia menundukkan wajahnya lalu berlalu menghindari pria itu, ‘Abaikan saja, abaikan. Aku yakin dia akan berhenti kalau aku sengaja mengabaikannya’ ucap Nia dalam hati
“Hei, kok buru-buru banget? Mau kemana?” tanya Patrick, tanpa basa basi pria itu menarik lengan Nia hingga tubuhnya menempel pada Patrick.
Nia terkejut lalu secepat kilat menjauh dari bos rentenir kejam itu, “Apa sih lepasin! Saya udah lunasin hutang Ibu, ngapain masih nyamperin saya di tempat kerja!?” teriak Nia saat Patrick mencengkram lengannya, tentu saja Patrick tak akan melepaskan mangsa yang sudah ia incar selama satu tahun ini.
“Wah wah, galak amat neng. Kamu nggak lupa kan sama wajahku, yaah meskipun hutangmu sudah lunas tapi kamu masih punya satu hutang lagi yang wajib kamu bayar!” ujar Patrick dengan nada tegas, namun hal itu sama sekali tak membuat Nia takut.
Nia mengibaskan tangan pria gembul itu kuat-kuat namun sia-sia, Patrick tetap ingin dekat dengan Nia apapun caranya. Tenaga pria di depannya itu terlalu kuat untuk di lawan, mau tak mau Nia harus mendengarkan ocehan tak berguna dari Patrick.
“Hutang apa maksud anda? Saya dan ibu sudah nggak punya hutang apapun lagi di tempat anda, jangan mengada-ada” kata Nia menyangkal, memang benar Nia telah melunasi semua hutangnya dalam setahun penuh sesuai dengan janji yang ia katakan sehingga tak ada alasan lagi bagi Nia untuk bertemu dengan pria menyeramkan ini.
“Yaa, kamu memang nggak punya hutang tertulis tapi hutang yang ku maksud ini hutang tak tertulis” jawab Patrick dengan pandangan menginginkan Nia.
“Saya nggak tahu maksud anda, lepaskan saya saja” pinta Nia, ia tetap berusaha untuk melepaskan diri dari Patrcik.
“Hahaha, kmau nggak mau tahu hutang apa itu gadis manis?” tanya Patrick, rasanya menyenangkan sekali menggoda gadis muda yang ketakutan, jemarinya hampir menyentuh dagu Nia yang kelihatan sangat lembut menggoda.
“Tolong jangan kurang ajar ya, atau saya laporkan anda ke polisi!” ancam Nia, ia tak ingin tangan kotor pria ini menyentuh bagian tubuhnya yang lain.
Nia menoleh ke kanan dan juga kiri namun ia terpojok, jalanan yang di lewati oleh Nia juga termasuk minum di lalui oleh orang apalagi saat ini matahari mulai gelap. Nia dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk menyelamatkan diri sendiri, setelah sekian lama ia menghindari Patrick namun nyatanya pria ini masih saja tak menyerah.
“Hutang tak tertulis yang ku maksud adalah bunga selama kalian meminjam uang dari tempatku, kalian belum melunasinya sama sekali” kata Patrick, ia menjelaskan bunga yang sama sekali tak di ketahui oleh Nia maupun ibunya.
“Pak, ini sudah lebih dari satu tahun berlalu sejak kami meminjam uang. Pihak di kantor anda juga tidak ada yang memberitahu saya kalau ada bunga pinjaman atau semacamnya, tolong jangan mengada-ada ya pak!” bantah Nia, ia tak ingin di perlakukan seenaknya hanya karena ia seorang nasabah dan juga tak ada bukti nyata tertulis mengenai bunga ajaib yang di sebutkan tadi.
Namun dugaan Nia kembali tepat, wajah Patrick makin mendekatinya perlahan, “Bunga ini hanya akulah yang tahu, aku mencatat semua bunga para peminjam tanpa ku beritahu totalnya hahaa. Sekarang kamu harus melunasi semua total delapa puluh juta karena tertunggak lebih dari satu tahun”
Nia terkejut bukan main mendengar nominal itu, tanpa sadar Nia mendorong tubuh pria gembul pemilik koperasi simpan pinjam. Nia melotot pada pria itu, amarahnya sudah tak bisa di bendung lagi, kali ini ia tak akan mau di perlakukan seenaknya seperti seorang b***k.
“Itu bukan bunga tapi pemerasan, kalau memang berbunga harusnya pegawai anda mengatakannya sejak awal tapi mereka semua tak pernah membahas soal apapun. Jadi saya tidak ada kepentingan dengan anda lagi, permisi!” ujar Nia sembari berjalan pergi.
Namun Patrick menarik tangan Nia secepat kilat membuat Nia kaget bukan main, “ Hei hei dengar dulu, aku belum selesai bicara. Aku ingin kau menyelesaikan pembayaran bunga itu sekarang juga, kalau tidak aku akan lapor pada polisi” ancamnya dengan mata sipit melotot tajam.
Nia kembali berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Patrick, “Silahkan saja lapor, saya akan buktikan pada para polisi bahwa saya melunasi pinjaman tanpa telat dan bukti pelunasannya masih saya simpan dengan rapi. Saya akan melaporkan balik atas dugaan pemerasan!”
“Jangan gegabah begitu gadis manis, kita selesiakan secara damai saja, aku yakin kamu juga lebih menyukai cara halus untuk menyelesiakan masalah ini” tawar pria itu, “Aku akan menganggap semua hutang tak tertulis itu lunas” kata pria itu, seringainya mulai tempak saat dia berhenti bicara, “Asalkan kamu melayaniku setiap malam”
‘Ini nggak mungkin, setelah satu tahun berlalu aku berusaha bertahan di kantor itu dan melunasi semua hutang ayah, nyatanya pria nggak waras ini masih saja ingin menyentuhku’ ucap Nia dalam hati.
Sorot mata Nia jelas memancarkan ketakutan tiada tara, dalam keheningan senja yang makin mengenggelamkan sang matahari sepertinya nasib Nia akan berakhir sama, tenggelam dalam lautan kesedihan tiada ujung. Satu-satunya harapan ketika ia tengah berada di situasi genting ini, ia berharap lelaki bermata indah itu akan datang namun Nia yakin lelaki itu sudah pasti pergi darinya.
Tak ada seorangpun yang kini bisa mneyelamatkan Nia dari pria ganas ini, sekuat apapun Nia menolak namun dirinya hanyalah seorang gadis lemah yang tak berdaya. Walaupun saat ini Patrick tak terlihat membawa anak buah seperti biasanya namun tetap saja Nia tak bisa melepaskan diri dari cengraman Patrick.
“Kamu nggak perlu cemas, sayang. Aku akan bermain dengan lembut agar kamu nyaman, aku akan menganggap semua hutang itu lunas bila kamu nurut sama Om”
“Kyaaa!!! Lepaskan, lepaaaass” teriak Nia kesakitan, tangannya di tarik oleh Patrick memasuki mobil yang telah terparkir tak jauh dari mereka.
“Jangan membantah! Ikuti aku!” bentak Patrick.
Setengah Nia sadar di tengah tangisannya yang pilu, ia merasakan hawa yang taka sing berada tepat di sampingnya. Nia menghentikan tangisannya ketika lelaki bertubuh tinggi dengan aroma tubuh khas datang mencegkeram lengan Patrick hingga genggamannya pada Nia terlepas.
“Kurang ajar! Siapa kau!?” bentak Patrick pada lelaki berwajah begitu tampan di samping Nia.
Rafael menatap lurus dan tajam, amarahnya sudah sangat tak terbendung lagi saat air mata Nia menetes berkali-kali. Gadis itu memegangi pergelangan tangannya yang memerah, tangisan tertahan membuat Rafael sungguh terbakar amarah.
Nia menatap sosok lelaki entah datang dari mana, lelaki itu menolongnya di saat yang sangat tepat. Walaupun rasanya aneh Nia sama sekali tak mendengar suara langkah kaki sebelumnya namun hadirnya ia menjadi penolong yang sangat ia butuhkan, hanya dalam beberapa detik saja Rafael mampu mengusir Patrick hingga ketakutan.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Rafael, ia mengambil sapu tangan dari saku dan memberikannya pada Nia.
“Pakai ini, usaplah air matamu. Pria itu sudah pergi jadi kamu bisa berhenti menangis” ujar Rafael lembut, tekanan suaranya lebih rendah dari sebelum ia mengusir Patrick.
“Iya, terima kasih banyak” sahut Nia pelan.
Nia menyeka matanya yang terus mengalirkan air mata dengan sapu tangan pemberian Rafael, sejenak Nia menatap sosok lelaki muda yang melihatnya dengan tatapan kosong. Nia merasa ia pernah melihat sosok tinggi dengan postur tubuh yang amat familiar di otaknya, namun sayang sekali di saat seperti ini ingaatan Nia tak bekerja sama dengan baik.
Akhirnya di sore yang masih menyisakan cahaya matahari ini, Nia di antarkan pulang oleh Rafael. Karena gang rumah Nia melewati beberapa komplek sehingga Rafael terpaksa memarkir mobilnya di luar komplek dan menemani Nia berjalan pulang.
Tentu saja hati Nia tak bisa biasa saja kali ini, jantungnya tetap berdegup kencang tatkala ini adalah pengalaman pertamanya dekat dengan seorang lelaki. Lelaki yang mengenal Ellaine mantan atasannya itu sama sekali tak mengeluarkan kalimat keluhan karena jalanan yang menanjak dan menurun.
Nia ingin sekali membuka percakapan namun ia tak tahu harus memulainya dari mana, sudah di antar pulang saja membuat Nia begitu sungkan apalagi harus mengajak lelaki berwajah tampan ini bicara. Dia pasti akan semakin terganggu oleh Nia, gadis itu menggenggam pergelangan tangannya yang memerah.
“Masih sakit ya?” tanya Rafael, sorot matanya jelas menatap kemana arah tangan kiri Nia bergerak.
Nia mengangguk pelan, “Sedikit tapi nggak apa-apa, nanti bakal sembuh kalau aku mengoleskan salep”
Rafael menaikkan alisnya pelan, “Kau butuh sesuatu? Aku rasa di depan jalan raya ada apotek, aku bisa mampir kesana untuk membelikanmu salep atau semacamnya”
Nia menggeleng cepat, “Nggak mas, aku nggak apa-apa. Ini nggak sakit banget kok, aku minta maaf karena udah bikin mas repot mengantarku”
“Nggak apa-apa, aku senang bisa membantumu karena kamu juga temannya Ellaine” jawab Rafael santai.
Keringatnya tak kalah bercucuran saat dekat dengan gadis ini, rasanya nyawa Rafael akan melayang ketika melihat Nia kesakitan di depannya.