Maling Komplek

2506 Words
“Nduk?” panggil ibu Nia pelan. “Nggak kok bu, ibu tenang aja ya. Nia mau cek keadaan di depan dulu” ujarnya sebelum meninggalkan ibunya di ruang tengah. Gadis itu berjalan pelan menuju teras rumah, ia harus berpegangan pada benda di sekitarnya agar tak menabrak benda lainnya. Walaupun sudah bertahun-tahun ia tinggal di rumah ini namun Nia masih takut bila merusak sesuatu saat mati lampu. Ketika tubuhnya hampir sampai di teras, suara berisik sebelumnya kembali ia dengar. Langkah kaki Nia terhenti saat itu juga, Nia terdiam mencoba mendengarkannya dengan seksama. Suara itu makin dekat dengannya, walaupun berada tak jauh dari teras namun Nia tahu ada lebih dari satu suara yang ia dengar. “Siapa disana?” teriak Nia keras. Suara-suara berisik itu terdiam, sepi senyap tak terdengar lagi satupun suara yang mengganggunya. Nia tersadar bahwa suara itu berasal dari samping rumahnya, keringat Nia berjatuhan mengingat tak ada satupun lelaki di rumah ini. Bila ada maling, setidaknya dia tahu betul tak ada benda berharga yang bisa di curi di rumah ini. Nia meraba benda-benda di sekitarnya, tepat di belakang pintu depan ia menemukan gagang sapu yang memiliki tangkai sedikit keras. Ia menggenggam erat-erat gagang sapu itu, walaupun ia ketakutan tapi ia tetap harus melindungi sang ibu di dalam rumah. Sedangkan Rafael tahu betul dua orang pekerjanya tengah ribet masuk ke ke bagian samping rumah Nia, mereka memasang satu kamera tersembunyi di atap rumah yang tak memiliki plafon. Dari sana Rafael bisa melihat jelas kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Nia dan ibunya selama berada di ruang tengah yang tak lain adalah dapur dan ruang makan. “Sudah pas, posisinya sudah sesuai. Sekarang tarik mereka kembali kesini” perintah Rafael. “Emm tuan, mumpung masih mati lampu apa tidak sebaiknya kita pasang kamera di kamar gadis itu?” taya Udin. Rafael melotot pada Udin, “Kau udah nggak waras? Itu udah melanggar privasi, idemu nggak ada yang beres!” ujar Rafael marah. Udin memanyunkan bibirnya sedikit kesal, “Tapi ide anda ini juga udah melanggar privasi orang lain loh, apa beda memangnya?” gerutu Udin. “Hush, aku denger!” tegur Rafael. “Baik baik, kalian kembalilah segera karena pemilik rumah akan memukuli kalian dengan tongkat bisbol sebentar lagi” ujar Udin melalui sambungan telepon. Seketika Rafael melihat jelas dua pekerjanya yang memasang kamera itu mengendap-endap lari ke belakang dan memanjat tembok-tembok rumah di sekitarnya, sedangkan dua orang yang berjaga di depan rumah Nia kembali berjalan-jalan seperti biasa. Rafael menutup matanya, entah apa yang ayahnya pikirkan sampai mengirim anak buah dengan kemampuan aneh seperti ini. Melihat mereka merayap di dinding saja sangat aneh, kalau ada sirene maling mungkin mereka sudah tertangkap sejak tadi. Udin menengok ke kursi belakang, ia mengacungkan jempolnya, “Sudah beres, tuan muda Rafael” Rafael mengangguk pelan, “Good job” Udin tersenyum merekah, wajah Rafael yang jantan itu kelihatan imut kalau lagi baik hati. Rafael kembali melihat rekaman dimana Nia mengendap-endap keluar dari dalam rumahnya menuju teras, harus di akuinya kalau hal ini memang sangat melanggar privasi seseorang bahkan bisa melanggar hukum namun semua ini demi menjaganya dari hal yang tak Rafael inginkan. ‘Dia dan ibunya pasti sangat ketakutan saat ini, maaf Nia aku harus melakukannya’ gumam Rafael. Perlahan-lahan Nia membuka pintu di teras depan, ia berhenti sejenak melihat keadaan sekitar rumahnya. Tak ada tanda-tanda manusia di depan, ia memberanikan diri untuk menengok ke kanan maupun kiri. Siapa tahu mereka sembunyi di samping rumah dengan membawa pisau atau benda berbahaya lainnya untuk mencelakai orang lain. “Kayaknya aman, bentar bentar” ujar Nia pelan, ia membawa gagang sapu dan bantal sebagai pelindung perut. Nia keluar dari rumah pelan-pelan lalu berjalan mengendap menuju meteran listrik, ia melihat saklarnya turun. Nia segera membetulkan benda itu, semua lampu rumah kembali menyala terang benderang seperti sedia kala. Nia segera masuk ke dalam rumah, takut kalau ada orang yang masih ada di sekitar rumahnya. “Huuh serem, serem banget” gumam Nia, ia segera mengunci pintu rumahnya. “Nduk? Ada apa?” tanya ibunya. Nia menoleh dengan senyuman paling indah yang ia miliki, “Nggak ada apa-apa bu, saklarnya tadi turun tapi udah Nia betulin” Ibunya melihat ke depan namun tak ada hal aneh yang terjadi, “Ya sudah masuk lagi yuk, udah malam Nia tidur ya” Hanya lampu ruang tamu saja yang sengaja di matikan oleh Nia, selebihnya tak ada yang di matikan. Entah hatinya selalu berkata ia harus banyak waspada sejak menolak keinginan Patrick, banyak sekali kejadian aneh yang menimpa dia dan ibunya. Di saat yang sama, Rafael bersandar di samping mobilnya menunggu dua orang yang di tugaskan tadi kembali. Ia tak sabar ingin menoyor kepala kedua anak buahnya yang sangat sembrono itu, dari jauh Rafael menangkap siluet dua orang lelaki yang tengah berlarian kecil menuju ke arahnya. Rafael memicingkan mata ketika melihat dua orang anak buahnya mengenakan topi penutup kepala yang sama persis dengan atribut maling. Lagi-lagi Rafael menepuk jidatnya keras-keras, ia tak sampai berpikir dua orang ini punya ide seaneh ini. “Tuan, maaf sudah menunggu lama” kata salah satu dari mereka. Rafael menatap keduanya dari atas sampai bawah, semua atribut yang di kenakan memang mirip sekali dengan maling yang biasa menyantroni rumah warga. Kedua orang itu cepat-cepat melepas atribut yang menempel di badan. “Kenapa bawa sarung segala?” tanya Rafael saat melihat sarung yang melingkar di pundak mereka. “Umm, semua ini ide dari Udin, tuan muda. Dia bilang kita harus pakai atribut seperti ini agar tidak mengundang curiga” jawabnya polos. “Benar tuan, bagaimana ide saya? Cemerlang bukan?” sahut Udin dari dalam mobil. “Tas sarung ini gunanya bawa barang-barang yang kita butuhkan tadi, sangat berguna kan hehe?” tanya Udin lagi. “Astaga, ya udahlah yang penting kalian selamat nggak di curigai oleh warga sekitar. Apa jadinya kalo kalian tertangkap warga yang lagi patroli?” tanya Rafael. “Kami punya skill ninja, tuan. Jangan khawatir soal itu” jawab mereka. “Ya sudah kalian berdua kembalilah ke asrama, aku dan yang lain yang akan mengurus sisanya” perintah Rafael. “Tapi tuan, dua orang rekan kami masih berada disana belum kembali juga” kata salah satunya. “Aku memang minta mereka mengawasi daerah sekitar sini, kalian pulanglah dulu” perintah Rafael. Baru saja Rafael bicara, beberapa orang bapak-bapak mendekati mereka membuat Rafael sedikit terkejut. Bapak-bapak itu menengok ke kanan dan kiri, beberapa juga menatap dua orang anak buah Rafael yang berpakaian serba hitam. “Ada apa bapak-bapak?” tanya Udin. “Nak, kami lagi mencari pencuri” “Apa?” tanya Rafael. Salah satu bapak memperagakan pencuri yang di maksud, “Mereka dua orang, pake pakaian hitam-hitam lalu pake penutup kepala” “Sarung! Iya mereka pake sarung buat bawa hasil jarahan” timpal yang lain. Rafael menghela napas panjang, ia menoleh pada Udin yang terdiam membisu. Sudah jelas setelah bapak-bapak ini pergi, Udin bakal habis di tangan Rafael karena membuat gaduh seisi komplek. “Kalian lihat dua pencuri itu, mas?” tanya bapak paling depan. “Sayang sekali saya nggak melihatnya, apa ada cctv atau alat pelacak lain di tempat ini pak?” tanya Rafael ganti, tentu saja pencuri yang di maksud mereka adalah dua orang di belakangnya. “Oke kalo kalian ada yang lihat langsung laporan ke bapak yang patrol di sekitar sini ya, terima kasih” ujar salah satu bapak. Keenam orang bapak itu segera meninggalkan Rafael dan anak buahnya, namun salah seorang bapak mendekati salah satu bawahan Rafael. Bapak itu mengendus bau badan dan memperhatikan pakaikan yang di kenakannya, sedangkan Rafael diam saja santai melihatnya. “A-ada apa pak?” tanya bawahan Rafael yang di curigai. “Hemm, kayaknya..” belum sempat bapak itu menjawab, bajunya di tarik oleh rekan patrol lainnya. “Udah nggak mungkin ada maling pake pakaian mahal kayak begitu, udah yok susul yang lain. Maaf ya nak” ujar rekannya berlalu pergi. Rafael mengangguk pelan, sedangkan Udin dan dua orang lainnya melambaikan tangannya pada para bapak-bapak itu. udin cengar-cengir bahagia karena mereka tak jadi di curigai, tapi ketika ia menoleh pada Rafael, bosnya memasang wajah mengerikan. “Eeeh tuan muda, ada apa?” “Sudah ku duga idemu nggak ada yang beres, huh! Hampir aja kita di pergoki sama mereka, bapak-bapak itu lebih mengerikan di banding dengan Ryan” ujar Rafael sangat kesal. “Hehe tapi mereka nggak menuduh kita, buktinya merek ayan pergi sendiri tuan” sahut Udin, sopir Rafael segera menutup mulut Udin agar tak membantah terus. “Lain kali biar aku sendiri yang mengatasinya, membawamu sama aja kayak bawa masalah baru” gumam Rafael. Lelaki itu kembali masuk ke dalam mobil, “Kembali ke apartemen sekarang, aku ingin istirahat hari ini” perintah Rafael. “Baik tuan muda” jawab sopirnya. “Lalu gimana sama mereka?” tanya Udin mengeai dua orang di depan mobil. “Suruh mereka pulang, aku akan meminta mereka mengawasi sekitar rumah gadis itu besok pagi. Dan kau turunlah dari mobil” perintah Rafael. “Apa? Tuan, kejam banget aku di tinggal disini sendirian?” Rafael melotot lagi mendengar semua ocehan Udin, “Kau teman dua orang lagi yang masih berjaga di sekitar rumah gadisku, minta saja pada yang lain untuk bawa mobil baru kemari” Udin melihat satu mobil lagi di pakai oleh dua orang tadi untuk segera pulang, “Baiklah, kali ini aku menurut tapi lain kali Udin maunya satu mobil dengan tuan muda Rafael” Sopir Rafael yang sejatinya juga bodyguard itu terkejut dengan ucapan Udin, tak jauh berbeda dengan Rafael yang sangat kaget. Sudah di duga kalau lelaki ini sedikit menyimpang, tak pikir panjang sopir Rafael memberikan kode pada Udin untuk turun sebelum Rafael mengamuk. “Oke oke, aku turun sekarang” ujar Udin. Rafael menutup matanya dengan sapu tangan hitam kesukaannya, otaknya sudah cukup banyak bekerja hari ini. Mengendalikan satu orang seperti Udin terlalu sulit untuk Rafael, apalagi harus berjaga semalaman dengannya. “Rudolf” “Ya tuan muda?” jawab sopirnya, ia tetap fokus pada jalanan di depan. “Kembalilah pada Udin setelah mengantarku, temani tiga orang yang masih tertinggal disana. Besok pagi sampai siang kau bisa istirahat, sore kembalilah bekerja kembali seperti sedia kala” perintah Rafael. “Baik tuan muda” Rudolf tersenyum sedikit menaikkan bibirnya, selama ia bekerja sebagai bodyguard pada klien lain, tubuhnya selalu di paksa untuk siaga bekerja sepanjang waktu. Namun setelah ia di rekomendasikan bekerja di bawah naungan perusahaan keluarga Rafael, rasanya Rudolf memiliki kesempatan bai untuk memperbaiki hidup tak sehatnya. Mungkin bagi Rudolf memiliki majikan seperti Rafael ada;ah anugerah yang jarang di dapatkan oleh bodyguard sepertinya, Rafael selalu mementingkan sifat kemanusiaannya pada semua bawahan termasuk anak baru minim pengalaman seperti Udin sekalipun. “Tuan muda” panggil Rudolf sesaat sebelum Rafael masuk ke apartemennya. “Ada apa?” “Tidak ada, emm.. selamat malam, tuan muda” kata pria dengan wajah sangar itu. Rafael jadi bergidik ngeri sendiri, “Wel.. ya..” jawab Rafael tanpa ekspresi. Ia mengambil jalan cepat agar bisa segera pergi dari hadapan Rudolf, “Aaaish, nyebelin nyebelin. Kenapa semua bawahan yang di khususkan buatku punya sifat menyimpang?” gumam Rafael, dia jadi geli sendiri di ucapkan selamat malam sesama pria. * Pagi ini Nia bersmangat kembali bekerja lagi seperti hari-hari sebelumnya, Nia bercermin di depan kaca lemari using peninggalan sang ayah. Disana Nia sedikit menyentuh wajahnya yang di kata orang menarik rupawan, wajah itu memang sangat mirip dengan ibunya. Bisa di bilang meskipun sudah berusia senja namun wajah sang ibu masih kalihatan cantik berseri. Nia meraih bedak padat dan lipstick berwarna sedikit mencolok, tak ada salahnya bila ia sedikit mencoba hal baru karena selama ini Nia hampir tak pernah menyentuh make up. Ia hanya memoleskan tabir surya dan pelembab bibir saja, hanya dua benda itu yang selalu menjadi andalannya kemanapun ia pergi. Bila harus jujur mungkin Nia termasuk gadis yang tak tahu banyak mengenai kosmetik, ia tak tahu urutan yang tepat untuk mengenakan semua kosmetik itu. “Emm, sedikit saja coba” gumam Nia. Ia memoleskan lipstick yang di belikan oleh Ratna saat mereka akan beranjak pulang, teman baiknya itu memberi Nia lipstick yang ia beli karena di rasa warnanya terlalu mencolok. Ratna yakin betul Nia akan cocok memakai lipstick warna terang. “Ups, aku kebanyakan pakainya” gumam Nia. Ia segera menggosok bibirnya dengan tisu namun warna lipstick itu tetap bertahan di bibirnya, Nia terkejut bukan main karena warna merahnya menyala terang di bibir tipis itu. nia kembali membaca lipstick yang di berikan padanya seksama. “Matte, oh tidak ini lipstick yang bakal nempel dan punya kandungan sedikit minyak” gumam Nia. Ia melihat jarum jam yang sudah menunjukkan angka tujuh lebih sepuluh menit, “Tidak tidak, aku sudah menghabiskan banyak waktu. Aku bakal telat nih” teriaknya sendiri. Nia segera menyambar tasnya yang tergantung di atas kursi kamar, ia membenahi semua pakaiannya yang sedikit berantakan. Gadis itu mengunci pintu rumah walaupun hal itu tak banyak membantu bila ada maling masuk ke dalam rumah, ia segera berangkat kerja atau semua bus akan penuh sesak dengan para pekerja. Namun langkah kaki Nia tertahan ketika matanya menangkap sosok lelaki dengan senyuman manis berdiri di depan halaman rumahnya. Lelaki itu melepas kaca matanya dan melambaikan tangan pada Nia, tak di sangka Nia bakal ketemu dengan lelaki ini lagi. Nia memperhatikan pakaian Rafael dari atas sampai bawah, Nia yakin betul tak ada harga murah seharga pakaian di pasar senen seperti miliknya. Kain yang di kenakan pada jaket jeans milik Rafael saja kelihatan sangat mahal dan berbahan lembut. “Hei, selamat pagi” sapa Rafael. “Pagi mas” sapa Nia juga. “Kamu mau berangkat kerja sekarang?” tanya Rafael. Nia mengangguk pelan, “Iya, aku harus berangkat sekarang kalau engga busnya bakal penuh. Maaf mas, aku nggak bisa lama-lama bicara kali ini” Rafael malah tersenyum, “Baiklah, aku akan menemanimu jalan sampai ke gerbang komplek” “Kenapa?” “Kalo aku nemenin kamu, kita masih bisa bicara kan?” tanya Rafael. “Yah mungkin” jawab Nia singkat, ia tak ingin membuang waktu lagi ia sedikit berjalan cepat. “Kamu sudah sarapan tadi?” tanya Rafael. Nia menggeleng pelan, “Ibu lagi pergi jadi aku nggak sarapan” Rafael mencoba mengingat jadwal pasien di lantai pertana, ia lupa kalau ada satu pasien yang sangat spesial di sana. Namun ia tak mendapat kabar mengenai hal itu, Rafael mencoba semakin mendekati Nia yang tengah berlarian kecil. “Sejak kapan ibumu pergi?” tanya Rafael. “Tadi pagi, aku nggak bisa bilang kemana ibuku pergi karena itu rahasia” ujar Nia, semakin lama lelaki ini sangat suka mencari tahu tentangnya. “Heeh jadi ini rahasia ya?” Nia mengangguk, “Yup, nggak ada yang boleh tanya sembarangan tentangku” “Tapi kita sudah melakukan perjanjian sebelumnya, aku akan memberitahu semua kegiatan Ellaine padamu. Apa aku nggak boleh dapat imbal baliknya?” tanya Rafael. “Itu beda, aku nggak mau urusan perjanjian kita melibatkan ibu atau keluarga kita” jawab Nia. “Benarkah? Aku nggak keberatan kamu tanya-tanya tentangku” sahut Rafael menawarkan diri. Nia berhenti sejenak menatap lelaki bertubuh tinggi besar di depannya, “Enggak, aku nggak tertarik tahu semua tentang mas”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD