Percaya tak percaya Nia menatap sosok lelaki di sampingnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, ia menoleh ke kanan dan kiri memastikan bahwa lelaki di sampingnya ini benar-benar orang yang ia temui beberapa saat yang lalu.
“Ada apa?” tanya Henry.
“Anu pak, itu.. bapak kok bisa ada disini?” tanya Nia terbata-bata.
Henry tersenyum tipis, “Emm, tadinya aku memang berencana langsung pulang, tapi aku khawatir sama kamu jadi aku putuskan kembali ke tempat dimana aku mengantarmu”
“Tapi..”
“Yaah, aku bisa melihat jelas kemana kamu pergi, jadi aku ikuti aja kemari” potong Henry seakan ia sudah tahu apa yang ingin di tanyakan oleh Nia.
“Siapa yang sakit?” tanya Henry.
“Apa pak?”
“Kalo nggak ada yang mendadak, kamu nggak mungkin kemari kan? Jadi siapa yang sakit?” tanya Henry lagi, ia seakan mendesak Nia agar mau mengatakan segalanya.
Sejujurnya Nia kurang suka bila ada orang lain yang mengetahui kesulitan dirinya seperti saat ini, akan sangat menyulitkan baginya untuk beradaptasi dengan orang yang mengetahui hal menyedihkan yang ia alami. Baginya kesedihan hanya di rasakan sendiri dan tak perlu di umbar kemanapun tak terkecuali atasan.
“Mengenai hal itu, nggak ada yang perlu di khawatirkan pak” jawab Nia canggung.
“Kalo nggak ada yang mendesak nggak mungkin kan kamu datang tergopoh-gopoh kemari, nggak apa-apa kasih tahu Nia lagian ini juga salahku udah bikin kamu datang terlambat menjenguk siapapun yang sakit” sahut Henry percaya diri.
“Nia!” teriak Rafael dari kejauhan.
Jantung Nia seketika berdegup begitu kencang, ia tak akan menyangka lelaki berotot itu muncul di say seperti ini. Bahkan teriakannya saja sudah membuat seisi lorong bangsal terasa menggema, Nia kalang kabut hingga tak bisa menyembunyikan ketakutannya.
Gadis itu melihat jelas Rafael yang berjalan mendekatinya, aura Rafael sangat berbeda dari biasanya walaupun lelaki itu terlihat tenang namun aura ingin menghabisinya tak bisa di sembunyikan lagi. Siapapun yang mengenal Rafael pasti mengetahui hal ini, lelaki ini sangat berbahaya dan tak bisa di tebak.
Sedangkan Henry sendiri memendam banyak sekali pertanyaan pada Nia mengenai sosok lelaki yang tengah berdiri di depan mereka berdua, lelaki yang amat di cari di dunia bisnis, lelaki yang memiliki keterampilan memukau mengenai segala hal bila menyangkut bisnis.
Henry tahu betul siapa yang bicara dengannya dan Nia, namun sikap yang di tunjukkan oleh Rafael seakan mengungkapkan bahwa lelaki itu hanya ingin bersenang-senang tak lebih dengan Nia. Nanun Henry pula melihat ketulusan yang terpancar dari sorot mata kekhawatiran itu, sebenarnya sejauh apa hubungan Nia dengan lelaki super misterius ini? Henry makin tak bisa percaya dengan orang-orang terdekatnya memiliki hubungan khusus dengan para elit.
“Mas Rafa? Mas kok ada disini?” tanya Nia tak percaya lelaki sadis ini ada di sekitar sini.
“Kamu dari mana aja, aku cariin kamu dari tadi?” tanya Rafael, ia menunjukkan wajah tak terlalu bersahabat pada Henry.
“Maaf mas meetingnya lebih lama dari dugaanku jadi aku datang sedikit terlambat kesini” jawab Nia jujur.
“Maaf bang, kesalahannya juga tanggung jawabku karena akulah atasan dia di kantor. Aku bisa menjelaskan semuanya hari ini” sahut Henry tanpa di minta ia tahu seberapa berbahayanya lelaki di depannya ini sehingga ia tak ingin Nia terkena getahnya.
Tadinya Rafael tidak begitu menghiraukan Henry, kini semua perhatiannya tertuju pada lelaki sederhana yang memiliki tinggi seratus tujuh puluh lima itu. Meskipu berhadapan dengan lawan setara dengan Bryan namun Henry harus terlihat tenang, ia tak boleh teriak atau melakukan hal bodoh lainnya jika tak ingin di makan oleh Rafael.
“Jadi kamu atasannya Nia?” tanya Rafael, nadanya terdengar datar.
“Iya benar, bang”
Rafael mengangguk sopan, “Terima kasih sudah mengantarnya ke rumah sakit dengan selamat, apa sekarang aku boleh mengantarnya ke tempat ibunya?”
Henry sedikit tertegun mendengar ucapan Rafael yang lebih sopan dari Bryan, “Aah ya silahkan, aku hanya mengantarkannya karena ini tanggung jawabku”
“Baiklah terima kasih, aku pergi dulu” kata Nia, ia berlari menuju ruangan ibunya di rawat.
Kini hanya meninggalkan Rafael dan juga Henry yang masih berdiri di lorong bangsal melati, dua lelaki itu saling berpandangan satu sama lain. Walau hati Rafael memang teramat sangat dongkol melihat Nia jalan bareng lelaki lain akan tetapi Rafael tahu betul lelaki ini hanya atasan Nia.
“Baiklah, senang bertemu denganmu atasannya Nia. Aku akan menyusul Nia dan kamu boleh pulang” kata Rafael sebelum ia pergi.
“Tunggu tuan Rafael Adinata” sahut Henry.
Rafael tertegun lelaki kenalan Nia ini mengetahui nama keluarganya, ia sedikit menunjukkan wajah tak bersahabat. Dengan begini saja Henry sudah di buat tertekan dengan aura negatif yang di keluarkan oleh Rafael, ia tak menyangka lelaki di depannya ini memang benar lelaki yang ia temui beberapa waktu lalu.
***
Nia membuka tirai yang memisah tempat tidur ibunya dengan tempat tidur pasien lainnya, Nia menatap semua perabotan yang sudah di susun rapi oleh orang yang berjaga disini sebelumnya. Nia melihat wajah ibunya yang tertidur pulas begitu nyenyak, Nia sedikit lega karena orang yang menjaga disini tadi mengerti cara untuk menyusun semua perabotan yang ia bawa dengan baik.
Nia mengecup kening ibunya perlahan, “Ibu maaf aku datang terlambat hari ini, tapi aku janji aku disini jaga ibu sampai besok pagi”
Meskipun tak ada jawaban dari sang ibu namun Nia lebih tenang sekarang, ia meletakkan tas kerjanya di lemari kecil yang tersedia. Matanya menyorot jaket kulit berwarna hitam yang tergeletak di kursi samping tempat ibunya tidur.
Nia menyentuh jaket kulit berwarna hitam yang sangat familiar, “Rasa-rasanya aku sering melihat jaket ini” gumamnya.
“Kau sudah makan malam, Nia?” tegur Rafael sangat mendadak.
Nia reflek menjauh dari jaket kulit itu, “Emm belum mas, tapi aku belum lapar” jawab Nia.
“Aku pesenin makanan ya, kamu tunggu aja nanti sampe datang” kata Rafael, ia memencet keypart di ponselnya.
“Nggak usah mas, aku masih kenyang kok beneran”
“Jangan membantah dan makan aja, aku akan jaga ibumu disini sampai kamu selesai mandi” kata Rafael, matanya masih terfokus pada ponsel.
Nia menatap seksama wajah Rafael yang benar-benar kelihatan sempurna itu, wajahnya yang serius dengan alis selalu kelihatan di tekuk membuatnya macho. Namun mata tajam dan berukuran besar itu mengingatkannya pada seseorang yang amat sangat Nia rindukan, lelaki yang selalu membuatnya merasa aman dimanapun ia berada dan emuanya terasa sama ketika bersama Rafael.