Prolog
Sakit dan nyeri.
Daffa merasakan nyeri di  dadanya. Tetapi Daffa harus segera menghabiskan sarapannya kemudian  pergi ke sekolah. Daffa terlihat memegangi dadanya yang semakin sakit  dan kepalanya yang berputar-putar hebat. Semakin lama semakin sakit.  Daffa tidak dapat melihat sekelilingnya dengan jelas, pandangannya  perlahan kabur dan tiba-tiba...
Bruk.
...Daffa ambruk ke  lantai. Dia merasakan bahunya sangat sakit membentur lantai dengan  keras. Samar-samar Daffa seperti mendengar teriakan seorang wanita yang  memanggil namanya. 
Rasanya begitu jauh. Pun tubuhnya semakin terasa kebas.
Tanpa bisa mencerna apapun; tubuh Daffa letih, kemudian pandangannya menggelap. 
.
Perlahan-lahan Daffa  mendapatkan kesadarannya. Daffa mendengar bunyi-bunyi mesin yang sudah  lama tidak pernah ia dengar lagi sejak beberapa tahun yang lalu. "Ternyata  aku kembali ke tempat terkutuk ini. Dengan alat-alat yang sangat aku  benci dan selang-selang yang menempel di tubuhku." batin Daffa. Dirinya merasa tidak nyaman dengan adanya alat-alat ini, membuat tubuhnya tidak dapat bergerak dengan bebas. 
"Tunggu! Aku tidak dapat menggerakkan tubuhku!" Teriaknya dalam hati.
Sayup-sayup Daffa mendengar tangisan seorang wanita.
Ah, Mama!
Daffa mendengar ibunya  menangis begitu keras, tapi Daffa tidak dapat membuka matanya untuk  sekedar melihat wanita yang melahirkannya itu. "Aku pasti membuatnya khawatir dan membiarkannya mengeluarkan cairan mata lagi." Pikirnya.
Iya, lagi.
"Maafkan aku, Ma."  Ingin rasanya Daffa bangun lalu memeluk Ibunya dengan erat. Sakit  dadanya mendengar tangisan Ibunya. Nyeri yang Daffa rasakan di dadanya  bertambah seratus kali lipat. Daffa sudah tidak kuat. "Apa aku pergi saja, Ma? Apa aku akan meninggalkan dunia ini? Meninggalkan Mama, Papa, dan si b******k itu?"
Daffa bahkan belum menyelesaikan sekolahnya di usia 19 tahun ini. Daffa belum pernah merasakan Banana ice cream  yang dijual tepat di depan sekolahnya. Dan entah kenapa Daffa  merindukan cewek cantik itu. Cewek bermata hazel yang setiap hari  mendatanginya walau terkadang tidak Daffa pedulikan. 
"Tuhan.. aku belum ingin meninggalkan dunia ini."
Daffa ingin pergi ke sekolah.
Daffa ingin menyelesaikan sekolahnya dan menyusul kembarannya yang b******k itu.
Daffa ingin  mengungkapkan cinta pada cewek yang ia suka dan melamarnya suatu saat.  Daffa berjanji akan mengajak cewek itu membeli Banana ice cream dan mengajaknya berkencan. 
"Tuhan... Aku belum ingin meninggalkan dunia ini."
"Suntikan obat itu padanya." 
Samar-samar Daffa mendengar suara pria. 
Detik berikutnya yang ia rasakan adalah kantuk dengan gelap yang kembali menelan kesadarannya.
.
Darren tiba di pelataran  sebuah sekolah dan langsung memarkirkan mobil yang dikendarainya di  lapak kosong. Darren turun dari mobil dan menguncinya, sambil  memperhatikan sekeliling.
"Jadi ini sekolah Daffa?" gumam Darren pelan. "Not bad."
Darren kembali  membenarkan penampilannya; kacamata, seragam dan rambut. Darren ingat  fakta bahwa Daffa tidak pernah membawa mobil ke sekolah. Dan Darren  sungguh tidak peduli itu.
Darren melihat tatapan  aneh dari murid-murid sekolah Daffa. Mereka melihatnya seperti melihat  seorang aktor ganteng. Ah, mungkin tepatnya seperti melihat Alien. Hm,  apakah Darren terlihat aneh? Atau apakah mereka tau kalau dirinya bukan  Daffa?
Darren jadi ingat pembicaraan dengan ayahnya kemarin...
Flashback
Darren langsung menutup  telepon dari orangtuanya dan membeli tiket pesawat dengan penerbangan  paling cepat ke Indonesia begitu mendengar kabar kalau Daffa masuk rumah  sakit lagi.
Darren melihat wajah ayahnya yang sudah sangat lelah begitu tiba di Indonesia.
"Nggak, Pa! Nggak  boleh!" Tolak Darren dengan nada meninggi. Darren sedang berbicara  dengan ayahnya. "Daffa tidak boleh keluar dari sekolah!"
"Darren, Daffa koma, lebih baik kalau kita membawanya ke luar negeri untuk pengobatan." Papa memijat-mijat keningnya frustasi.
"Hanya tinggal tiga bulan lagi Daffa akan lulus setelah menyelesaikan ujiannya. Biar aku yang menggantikannya."
"Lalu bagaimana dengan kuliahmu? Kau ingin mengorbankan kuliahmu? Tidak, Darren! Papa tidak akan setuju dengan ide gilamu."
"Demi Tuhan aku mohon, Pa. Aku akan lebih tidak rela jika Daffa harus tinggal kelas lagi dan semakin jauh dariku."
"Kau pikir Daffa akan senang dengan idemu itu, Darren?"
"Tapi ini yang terbaik. Siapa yang akan mengenaliku jika aku dan Daffa sangat mirip? Dan yang terpenting ini semua demi Daffa!"
Flasback off.
Akhirnya mau tak mau dan  berat hati Ayah Darren mengizinkannya untuk menggantikan Daffa dengan  menyetujui ide yang Darren pikir 'cemerlang' ini. Ya, setidaknya menurut  Darren ide itu cemerlang.
Yah. Daffa.
Daffa Revano.
Dia adalah saudara  kembar Darren. Kembar identik. Mereka bersekolah di TK yang sama, SD  yang sama, lalu setelah itu berpisah. Daffa berubah. Darren tidak pernah  tahu alasan perubahan Daffa. Darren merasa hidupnya lebih beruntung  daripada Daffa. Badan Darren sehat, tidak seperti Daffa yang sering  sakit-sakitan. 
Saat SD, Daffa dua kali tidak naik kelas karena harus dirawat di rumah sakit berbulan-bulan. Kata dokter jantung Daffa lemah. 
Sewaktu Darren naik  kelas 3 SMP, Daffa baru akan masuk SMP. Darren berharap waktu itu Daffa  akan masuk ke sekolahnya dan mereka akan kembali bersama-sama. Tetapi  tidak, Daffa berubah. Dia menghindari Darren. Dia menjadi lebih murung  dan pendiam. Darren merindukannya. Darren menyayanginya. 
Oh. Oke.
Jangan sekali-kali menganggapnya ini brother complex.  Jujur saja Darren sudah punya pacar dan Darren sangat mencintainya.  Darren bertemu dengannya saat di Singapur. Mereka berada dalam  universitas yang sama.
Intinya setelah masa  kelulusan SMP Darren mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan  di Singapur. Saat itu Darren juga berhasil mengikuti program akselerasi  karena kejeniusannya. Akhirnya sampai sekarang Darren menempuh  pendidikannya di salah satu universitas ternama di sana.
"Hoi."
Lamunan Darren buyar  ketika seseorang menepuk pundaknya dengan keras. Darren kaget. Siapa si  b******k yang berani mengagetkannya? Rasanya ingin sekali menginjak  wajahnya.
Dia membalikkan tubuh Darren. Bertanya dengan nada khawatir, "Daff, lo udah sembuh?"
Dan ternyata Darren mengenalinya.