Darren tidak tahu apa  yang terjadi, hanya saja di hari pertama menggantikan Daffa, dia  dipertemukan oleh orang yang sepertinya pernah dia lihat.
Seorang cowok; ganteng,  tinggi, berwajah tirus dan punya postur semampai (mungkin umurnya  sekitar 18 tahun untuk hitungan rata-rata usia kelas 3 SMA). 
Dan Darren ingat fitur cowok ini, yang memang pernah muncul di rumahnya dengan kesan yang sedikit tidak elit.
Serta merta Darren langsung menarik lengan cowok itu ke arah taman sekolah yang masih terlihat sepi.
"Hoi, kenapa sih? Kalau lo megang tangan gue seintim itu yang ada kita dikira homo," tegur si cowok.
Darren melepaskan tangannya dengan ekspresi jijik yang kentara.
"Elah... Manis banget sampe nyari tempat sepi buat ngobrol berdua," ujar cowok itu sambil mengedipkan satu matanya.
Darren melepas kacamatanya. "Lo kenal gue?" tanyanya.
"Ultramen?"
"Gak lucu!"
"Jangan sinis gitu dong. Gue takut nih, berasa istri yang lagi diintimidasi suami gitu," ucap cowok itu sok manis.
Menjijikan.
"Gue ingat kalau lo pernah dateng ke rumah gue, dan lo teriak macam banci pas lihat gue ada dua trus pingsan gitu aja." 
Ouch! Ingatan yang bagus Darren.
Cowok itu langsung gelagapan.
"Oh, oke. Jadi kenapa lo  tiba-tiba ngungkit masalah itu lagi?" tanyanya gusar. "Lo mau nyebarin  cerita memalukan kalau gue pingsan itu untuk ngancam gue? Lo pengen  popularitas gue turun dan meras duit gue? Ya lord, gue abis beli komik lima dus untuk koleksi rak buku yang baru gue beli kemarin, Daffa!"
Darren tidak menjawab. Sebaliknya dia menatap si cowok dengan tatapan yang terlampau sinis.
"Err, ya, gue bohong sih. Jadi lo mau dibeliin apa? Cilok? Siomay? Batagor kuah? Mie ayam? Atau apa? Please,  apapun bakal gue turutin asal lo nggak nyebarin cerita memalukan itu di  sekolah," katanya, nadanya resah. "Inget, Daff,  persahabatan kita bisa  putus kalau lo ngelanggar itu."
Darren mendesah. "Gue bukan Daffa."
"Dan gue bukan Rendy.  Gue adalah peri khayangan yang jatuh miskin dan dibuang ke bumi," balas  cowok yang bernama Rendy itu dengan tampang serius.
"Ya udah, kayanya gue salah orang. Permisi." 
Darren malas menanggapi orang bodoh itu dan hampir meninggalkannya sebelum dia merasakan pundaknya dicengkeram kuat.
"Darren?" ulang Rendy, akhirnya sadar.
.
"Jadi Daffa sekarang  dibawa ke Singapura?" tanya Rendy sambil menyeruput es jeruknya. Mereka  berdua sedang menikmati jam istirahat sambil melahap satu mangkok bakso.  
Yah, berdua.
"Kenapa lo cuma makan sepotong bakso? Ini enak, ayo, makan lagi," suruhnya.
"Nggak, buat lo aja."
Sebenarnya Darren sangat  malas dengan orang macam Rendy. Tapi mau bagaimana lagi, setahunya baru  Rendy saja orang yang pernah diajak Daffa ke rumah. Dia mengenal Rendy  ketika pulang ke Indonesia pada saat liburan semester. Rendy dan Daffa  sedang mengobrol di kamar dan turun untuk minum. Saat itu Rendy yang  melihat Darren langsung pingsan karena mengira kalau yang dilihatnya  adalah hantu.
Akhirnya setelah dia siuman Daffa menceritakan semuanya, bahwa mereka adalah saudara kembar.
Sekarang Darren butuh  bantuan Rendy untuk mengetahui siapa saja teman Daffa di sekolah, apa  saja kegiatan Daffa dan bagaimana cara dia bergaul.
Semua itu harus Darren  lalukan supaya perannya sebagai Daffa benar-benar terlihat natural.  Semoga Rendy adalah orang yang bisa dipercaya untuk menjaga rahasia ini.
"Jadi lo ninggalin pacar  lo yang cantik di Singapura dan datang ke sini cuma untuk ngegantiin  Daffa?" tanya Rendy masih sambil mengunyah bakso.
"Bukan 'hanya untuk'," ralat Darren. "Dan itu bukan urusan lo juga."
Yah, Darren memang meninggalkan Zania, pacarnya, hanya demi Daffa. 
Darren dan Zania sudah  berhubungan dengan lebih dari setahun. Zania adalah idola di kampusnya.  Dia adalah cewek yang sangat perhatian dan pengertian. Sikapnya yang  lemah lembut membuat Darren takluk padanya. 
Rasanya dia juga pasti  bersedih kalau tahu kekasihnya sedang sakit. Sejujurnya Darren beralasan  sakit pada pihak kampus untuk mendapatkan izin. Tidak mungkin pihak  kampus menyuruhnya masuk sedangkan Darren koma di rumah sakit. Ya, Daffa  juga yang menggantikan perannya sekarang dengan menjadi Darren.
"Baiklah, ceritain gimana Daffa di sekolah?" Darren melihat Rendy baru saja menyelesaikan makannya, dan bertanya to the point.
"Hm... biasa aja."
Darren mengernyit, tak puas dengan jawaban itu.
"Daffa itu nggak populer kaya gue," lanjutnya. "Di mata anak-anak, dia itu cuma nerd  berkacamata tebal dan nggak terlalu menonjol di sekolah. Dia juga  pendiam. Beda banget sama gue yang populer dan ganteng. Wajar aja sih,  semua cewek di sini lebih kepincut sama gue soalnya gue kapten basket  paling famous. Lo tanya semua murid di sini satu persatu, mereka pasti kenal gue. Dan gue juga--"
"Stop! Stop it!"
"Why?"
"Karena gue nggak pengen tau tentang lo."
Rendy tertawa pelan. "Sebenarnya ada satu hal yang bikin gue iri sama Daffa." 
"Apa?"
"Nanti juga lo tau."
Darren menatap Rendy  dengan kesal. Dia lantas mengambil uang di saku dan meletakkanya di  meja. "Ini untuk bayar makanannya. Lain kali pesan dua porsi."
Lalu dia pergi setelah mengatakan hal itu. Dari jauh suara Rendy masih terdengar,
"Elah, sensi banget.  Romantis dikit kek. Makan semangkuk berdua gini gue sama Daffa juga udah  sering kali," tutur Rendy, yang kini lengannya udah nangkring di bahu  Darren. "Oi, Darren, jawab." 
"Jangan manggil gue Darren di sini," bisik Darren memperingatkan.
"Ups. Ya, Daffa. Sorry, lupa."
Demi Tuhan, Darren tidak  menyukai Rendy. Pun fakta bahwa cowok itu memang populer seantero  sekolah. Beberapa murid cewek di sini terlihat tidak melepaskan mata  mereka dari sosok Rendy ketika dia lewat.
Dan fakta menyebalkan lain; bahwa ada saja cewek yang mengirimi Rendy surat cinta di laci meja begitu mereka tiba di kelas.
Dasar aneh.
Selera cewek-cewek di sini memang payah.
.
"Kak Daffa!"
Teriakan seorang cewek  sukses membuat Darren menengok. Darren sedang membereskan buku-bukunya  karena bel tanda istirahat kedua baru saja berbunyi.
Darren mengerutkan dahinya dan menatap ke arah Rendy yang ada di sebelahnya. Wajahnya menyiratkan pertanyaan "siapa dia?" tetapi Rendy hanya tersenyum.
Cewek itu semakin mendekat ke arah Darren dengan membawa sebuah kotak dan air mineral.
"Kak Daffa?" sapanya. "Kakak udah sembuh? Aku denger kakak sakit makanya kemarin absen, ya?"
Karena tidak mengenal cewek ini, Darren bingung mau menjawab apa.
"Oh iya, sampe lupa. Aku  bawa bekal makan siang buat Kak Daffa. Abisin ya, Kak, soalnya aku  buatnya pake bumbu cinta yang lumer-lumer gitu," ujar gadis itu  sumringah sambil menyerahkan kotak bekal pada Darren.
Darren melihatnya dengan terbengong-bengong. "Siapa dia? Apa pacar Daffa?" batinnya.
Rendy menyerobot kotak yang disodorkan ke Darren. "Terima kasih, Mika cantik," ucapnya sambil tersenyum.
"Ih, itu bukan buat Kak Rendy. Awas kalau kakak berani makan sesendok aja. Besok-besok aku racunin bekalnya!"
Rendy terkekeh. "Mau ngeracun kok bilang-bilang."
Cewek itu mendengus,  lalu mengalihkan pandangannya ke arah Darren. Dengan tiba-tiba memegang  kening Darren hingga empunya terkejut. 
"Kak Daffa udah  bener-bener sembuh kan? Suhunya normal sih," ucap cewek berambut ikal  itu sambil tersenyum. "Abisin ya, Kak, bekalnya. Aku nggak bisa  lama-lama nih soalnya mau ngerjain tugas presentasi abis ini. Huft! Aku  sebel banget tau, Kak! Rasanya pengen bangeeet nyumpahin guru itu  bisulan karena udah ganggu waktu aku untuk berduaan sama Kak Daffa."
Darren hanya terdiam  melihat cewek itu berbicara tanpa henti. Darren mulai tidak nyaman  ketika semua mata memandang ke arahnya dengan tatapan iri dan beberapa  cowok yang sedang tersenyum memandang ke arah cewek (cantik?) itu.
"Udah selesai ngomongnya?" tanya Darren.
Cewek itu memandang Darren dengan heran.
"Kalau udah, kerjain tugas lo sana sebelum dinyinyirin tuh guru dan akhirnya lo yang disumpahin bisulan." 
Gadis itu tersenyum lebar. "Wah, badass.  Aku baru tau kakak bisa seperhatian itu dengan cara yang sedikit  frontal. Aku terharu. Oke, Kak, nanti biar kita aja kan yang nyumpahin  guru itu bisulan," dia terkikik. "Ya udah, Kak, aku balik ke kelas dulu.  Bye, Kak. Love yaaa."
Cewek itu melambaikan tangan dan beranjak pergi dari kelas Darren.
Darren akhirnya bisa  bernapas lega karena bisa lepas dari orang yang tidak dikenalnya. Huh,  perhatian katanya? Jelas-jelas Darren melakukan itu untuk mengusirnya.
"Siapa dia?" tanya Darren akhirnya setelah dirinya dan Rendy sampai ke bangku taman.
"Namanya Mikaela Cindy, kelas dua, salah satu most wanted di sekolah ini." Rendy menjelaskan, matanya agak menerawang. "Dan sebenernya itulah yang bikin gue iri sama Daffa."
"Ha?"
"Cewek sepopuler Mika di sekolah ini ngejar-ngejar Daffa. Bukannya itu sulit dipercaya?"
"Cewek cerewet itu tadi?" 
Rendy mengangguk.
"Apa dia sama Daffa pacaran? Gue nggak kebayang." Darren berdecak.
Rendy tertawa. "Nggak  kok. Daffa selalu cuek sama Mika, kadang-kadang sih. Lagian Daffa bakal  jadi orang yang paling ingin dibunuh di sekolah ini kalau dia berani  pacaran sama Mika," kata Rendy. "Gue juga pengen bunuh dia rasanya. Gue  nggak sanggup menerima beban ini, ngeliat orang yang gue suka, suka sama  Daffa. Dan Daffa-nya malah cuek, njir. Nyesek."
Darren hanya terdiam membiarkan Rendy dan komentar gilanya.
"By the way... Lo mau makan ini?" tanya Rendy sambil membuka kotak bekal Mika dengan air liur yang hampir menetes.
"No, thanks. Kayanya lo lebih butuh." Darren mulai membuka buku yang dibawanya dari kelas.
"Lo nggak denger tadi  Mika bilang dia bakal ngeracunin gue kalau berani makan bekal ini  meskipun cuma sesendok?" Rendy bergidik ngeri.
"Dan lo percaya?" 
"Nggak." Rendy tersenyum sumringah sambil mulai memakan bekal Mikaela. "Lo tau nggak...?"
"Hm?"
"Lo itu baiiik bangeeet!  Kalau Daffa nih ya, dia pasti bakalan ngabisin bekal ini sendirian  tanpa disisain buat gue sedikitpun. Kalau sendok ini bisa dimakan, udah  ditelen kali sama dia," ucap Rendy sambil mengunyah makanannya.
Darren hanya diam masa bodo sambil melanjutkan membaca bukunya.
.
Mika sangat bahagia,  akhirnya Mika bisa melihat wajah kak Daffanya kembali dan Mika rasa dia  baik-baik saja. Mikaela sempat Kuatir karena sudah tiga hari dia tidak  masuk sekolah. Apa yang terjadi padanya? Kak Rendy bilang kalau Daffa  sakit. Yang membuat Mika sedih adalah karena Mika tidak bisa  menjenguknya. Jangankan untuk merawatnya, rumahnya saja Mika tidak tahu.  Daffa tidak mau memberi tahu dimana rumahnya, Rendy juga sama saja, dia  tidak mau memberi tahu dimana rumah Daffa.
Daffa sangat tertutup.
Sudah lima bulan ini  Mika mengejar Daffa, itu pun karena hal yang sangat sepele. Dia  menyelamatkan seekor kucing yang tercebur ke drum sampah yang sangat  dalam. Tanpa takut dirinya menjadi bau dan kotor, dia masuk ke dalam  drum itu untuk menyelamatkan kucing malang itu. Menurut Mika itu sangat  manis, dan dia terlihat sangat tampan ketika tersenyum pada kucing itu.
Pernah sekali Mikaela melihat Daffa melepas kacamatanya, dan wah.. dia benar-benar tampan!
"Mika? Hoi, Mika!"
Dodi, teman yang  kebetulan satu kelompok dengan Mika membuyarkan lamunannya. Mika memukul  kepala Doni dengan pulpen karena sebal. 
"Kaget gue!"
"Buruan nyalinnya," suruh Dodi.
Mika mengabaikan Dodi.  Pikirannya masih terpaku dengan Daffa yang ditemuinya barusan. Bukan hal  yang mengherankan kalau Mika terus memikirkan kakak kelas yang  disukainya itu, hanya saja Mika terus terpikir bahwa sikap yang cowok  itu tunjukkan hari ini tidak seperti sifat yang biasanya.
Belum lagi, postur  tubuhnya yang tiba-tiba berubah sedikit berisi sejak tiga hari mereka  tidak bertemu. Daffa yang sekarang lebih terlihat besar dan berotot. 
Apa dia pergi ke gym?
Mustahil juga.
Memang tidak terlalu kentara sih, tapi Mika yakin kalau Daffa yang dilihatnya tadi terlihat lebih... sexy.
Ugh!
"Astaga, Mika!!!" salah satu temannya tiba-tiba berteriak. Ah, Siska. Si cewek rambut kotak; sahabatnya. 
"Kenapa sih, Siska sayang?" tanyaku kesal.
"Earth, Mika! Lo yang kenapa? Ngelamun sampe nggak inget bumi lagi. Lo lagi mikir yang nggak-nggak, ya?" 
"Ha? Serius?" Mika refleks menengok kanan dan kiri. "Apa muka gue kelihatan kaya orang bego barusan?" 
"Bukan kelihatan lagi, emang udah bego!"
Siska tampak menggeleng-gelengkan kepalanya heran.
Mika memeletkan lidahnya. "Peduli amat kalau orang-orang ngelihat tampang bego gue, yang penting Kak Daffa jangan." 
"Daffa lagi? Yah. Semerdeka lo aja," sahut Siska jengkel.
.
Darren merebahkan  tubuhnya ke tempat tidur besarnya. Dia sangat lelah. Ini adalah hari  pertamanya menjadi Daffa di sekolah dan tidak ada masalah. It's easy.
Tidak ada yang menaruh  curiga kepadanya. Sekarang Darren bisa bersyukur karena sifat pendiam  saudara kembarnya itu, jadi dirinya bisa fokus belajar dan cukup pasang  tampang kalem sambil membaca buku; seperti apa yang Daffa lakukan setiap  harinya.
"Kenapa masa SMA lo membosankan banget sih?" gumamnya.
Daffa tidak mengikuti ekskul apapun di sekolahnya.
Darren mengerti mengapa  Daffa sangat menutup dirinya dari kehidupan sosial. Mungkin jika Darren  menjadi Daffa dia akan melakukan hal yang sama.
Darren bangun dari tempat tidurnya dan membuka baju seragamnya, mungkin dia akan berendam sejenak untuk melepaskan penat.
Darren meraih tasnya  dari meja belajar dan mengambil ponselnya, berharap sang ayah  menghubunginya untuk memberitahu kabar tentang Daffa.
Hm... 
Darren bergumam sebentar ketika melihat kotak bekal terselip di tasnya, kotak bekal berwarna pink berbentuk hati. 
Oh, God, pink! 
Dan bentuknya... hati.
Sial. Darren sangat membenci perpaduan pink dan bentuk hati.
"Pasti Rendy sialan itu  yang masukin. Bagus. Dia yang makan, gue yang suruh nyuci," umpat  Darren, dia menaruh kotak itu sembarang dan mulai mengecek ponselnya.
Hasilnya; nihil. 
Tidak ada satu pesan atau miscall dari sang ayah. Akhirnya Darren memilih untuk membuka random beberapa sosial medianya--juga milik Zania. 
"Zania tidak juga nggak ada kabar. Lagi ngapain, ya? Kangen suaranya," gumam Darren.
Akhirnya Darren  memutuskan untuk menghubungi ayahnya dan tidak ada jawaban. Ayahnya  tidak mengangkat telpon, dan begitu juga dengan ibunya. Darren membuang  ponselnya ke kasur empuknya, kemudian mengambil handuk dan memutuskan  untuk segera berendam air hangat.
Mungkin hari ini dia memang ditakdirkan untuk tidak mengusik dan diusik.
Besok dia harus fokus sekolah lagi.
"Get well really soon, Daff."
.
Klakson bersahutan di traffic light sepuluh menit sejak Darren keluar rumah. Macet parah. 
"Kenapa pagi-pagi begini jalanan udah macet sih?" 
Darren melihat antrean mobil di jalanan yang sudah sepanjang omelan ibunya ketika dia malas untuk mandi.
Rasanya sangat kesal,  apalagi ditambah bisingnya klakson mobil yang seolah-olah sedang  berlomba mana yang paling kuat sejak tadi menandakan sang empunya sudah  tidak sabar ingin menerobos kemacetan.
Darren menengok ke kanan  dan kiri, membuang sedikit kesal. Lebih bagus jika dia menemukan celah  yang tepat untuk bisa melewati kemacetan.
Nihil.
Jalanan sudah sangat padat, bergerak juga tidak bisa.
Tiba-tiba dikejauhan ada  seseorang yang menarik perhatian Darren. Tidak begitu jelas. Namun  Darren sangat yakin kalau dia pernah melihat orang itu. Hm, siapa ya? 
Postur tubuh mungil dan rambut ikal yang sama dengan cewek bawel yang menyapanya kemarin.
Darren lupa siapa namanya.
Darren bertanya-tanya  apa yang cewek itu lakukan di trotoar sambil menenteng beberapa kotak  makanan. Ada beberapa anak kumuh yang mengikutinya di belakang. Tak lama  kemudian mereka berhenti dan duduk di dekat taman jalan yang terdapat  bangku panjang. 
Mata Darren terus  memperhatikan gerak gerik cewek itu. Apalagi ketika cewek itu menurunkan  beberapa plastik yang berisikan kotak nasi dari mobilnya (dibantu  seorang laki-laki tua; yang Darren duga sebagai supir) dan membagikan  kepada anak-anak lain yang belum mandapat jatah.
Tin... Tin...
Tiba-tiba Darren  melonjak terkejut karena mobil belakangnya menekan klakson beberapa  kali. Dia baru menyadari bahwa mobil di depannya sudah mulai berjalan,  dan dia justru membuat mobil lain menunggu. Segera saja Darren  menjalankan mobilnya dan tidak terlalu peduli lagi pada apa yang cewek  itu lakukan.
Sesampainya di sekolah,  Darren mulai berperan. Kacamata dipakai, rambut dirapikan, pakaian dan  sebagainya. Dia segera menuju ke kelas, bel masuk mungkin berbunyi  sebentar lagi.
Dalam perjalanan, terlihat Rendy mengejarnya dan Darren mengabaikan. Pura-pura tidak mendengar.
"Kejam banget! Gue panggil-panggil juga," keluh Rendy setelah berhasil mengejar Darren.
Darren malas menanggapinya dan terus berjalan ke bangku untuk  kemudian menaruh tasnya.
Rendy juga melakukan hal yang sama.
Menolak lupa, Darren juga mengeluarkan kotak bekal pink milik Mika ke meja Rendy. Dan dia mendapatkan tatapan bingung. 
"Balikin ke cewek bawel itu," katanya.
"Kenapa nggak lo balikin sendiri? Kalau gue yang balikin nanti dia curiga, dikira gue yang makan." 
"Emang lo yang makan 'kan?"
Rendy nyengir, tapi dia belum siap diracuni Mika. Jadi, dia menaruh lagi bekal itu di meja Darren.
Yang dilakukan Darren  hanya mendengus. Dia sama sekali tidak ingin berdebat dan lagipula Rendy  orang yang terlihat cukup keras kepala jika diajak beragumentasi.
"Jadi, dimana kelasnya?" tanya Darren.
"Di bawah."
"Please... Di bawah ada banyak kelas," Darren memutar bola matanya. 
Rendy mengambil kotak  bekal itu dan menaruhnya di laci. "Nggak usah repot balikin. Mika tiap  hari bakal ke kelas ini untuk ngasih bekal makanan."
"Tiap hari?"
"Ya nggak tiap hari juga sih, tapi hampir tiap hari"
"Gila," umpat Darren.
Rendy berdecak.  "Hati-hati kalau ngomong, hampir semua cowok di sini ngarep bisa  ngegantiin posisi Daffa yang bisa dapet perhatian lebih dari Mika."
"Gue nggak tertarik."
"Baguslah, saingan gue jadi berkurang," Rendy terkekeh.
Tbc...