Bel tanda istirahat kedua berbunyi. Darren terlihat sibuk memasukan bukunya ke tas. Rendy buru-buru menghampirinya.
"Makan yuk! Gue laper," ajak Rendy manja.
"Sejak kapan gue akrab sama lo?" tanya Darren sarkas.
"Sejak lo bantu gendong  gue pas gue pingsan di dapur rumah lo. Daffa cerita sama gue kalau lo  ngegendong gue ala tuan puteri gitu," kata Rendy semangat. Matanya  mengedip-ngedip. "Aih, malunya..." 
Darren mendengus jijik.
"Kak Daffa..."
Baru saja Darren berniat keluar dari kelasnya, ada suara cewek yang memanggilnya.
"Siapa namanya? Lupa gue," bisik Darren pada Rendy sambil melihat cewek yang memanggilnya.
"Mikaela."
Ah, ya, Mika.
Darren memasukan kedua tangannya di saku celana. "Ada apa?"
"Elah, pake nanya lagi.  Biasalah. Mika dateng untuk nganter makan siang buat lo." Rendy  menyenggol lengan Darren untuk mengingatkannya.
Mikaela tersipu. "Ini, Kak," katanya sambil memberikan kotak nasi.
"Makasih. Kotak bekal yang kemarin udah bersih. Tuh, ada di laci gue, bisa ambil sendiri 'kan?" 
Darren mengambil kotak nasi itu dan beranjak meninggalkan Mika.
"Oke, Kak, makan yang banyak ya!" teriak mikaela sebelum Darren menghilang di balik pintu di ikuti Rendy.
.
"Buat lo," kata Darren; menaruh kotak nasi tepat di depan Rendy ketika mereka sampai di kantin.
"Serius nih?"
"Iyalah. Cewek bawel itu  ngasih gue makanan yang sama dengan yang dia kasih ke anak-anak  jalanan. Mendingan gue pesen bakso aja."
Rendy tersenyum tipis. "Kenapa? Anak jalanan itu juga manusia sama kaya kita 'kan?"
"Gue nggak bilang mereka bukan manusia."
"Lalu?" Rendy mulai membuka kotak nasinya. Bagai oasis di padang pasir, Rendy menganga takjub melihat isi menu di dalamnya.
Ada ayam goreng, bakmi goreng, capcay bakso, plus buah jeruk.
"Mikaela emang hebat," pujinya.
Darren melirik isi kotak bekal itu, lalu mendengus.
"Ya, hebat banget. Tiap hari rela ke restoran beli bekal buat makan siang Daffa," sindir Darren.
"Lo salah. Semua ini masakannya si Mika."
"Kok lo tau? Lo bantuin dia masak?"
Rendy terkekeh. "Siska yang cerita ke gue. Fyi, Siska itu sahabat Mika dan  tetangga gue."
"Oh."
Rendy memutar bola mata, dia bertanya-tanya kenapa Darren begitu sinis terhadap apapun yang ada pada Mika.
"Jadi lo beneran nggak mau nih?" tanya Rendy kemudian.
Darren tidak menjawab.  Pesanan baksonya keburu diantar oleh pelayan kantin. Dan Rendy tahu  artinya itu; bekal dari Mika si cewek populer bakal masuk lagi ke  perutnya.
Sungguh keberkahan yang hakiki.
Rendy bahkan bersumpah, kalau Darren pasti akan menyesal tidak mencoba masakan buatan Mika yang enak ini.
"Mungkin sekali-kali lo harus nyoba masakan Mika. Enak banget kok. Serius."
Darren tidak tertarik  mencoba. Kalaupun hanya untuk membuktikan makanan itu enak. Buat apa?  Masakan ibunya juga enak, tapi dia merasa tidak butuh juga terlalu  berlebihan menanggapinya.
Yah, tipikal Darren.
.
Family Hospital, Singapore
Monitor EKG masih  bergeming dengan detak jantung konstan. Daffa merasa dia mendengar suara  itu selayaknya jantung yang masih berdetak. Dia hidup. Dia merasakan  gelap, meski dengan rasa sakit yang masih tinggal dan kentara di sana.
Seseorang menggenggam  tangannya. Dan rasanya begitu asing. Bukan tangan ayah atau ibunya.  Siapa? Teksturnya lembut dan terasa agak dingin. Daffa ingin sekali lagi  mencoba membuka matanya yang berat seumpama tertempel lem.
Tidak bisa.
Segala sesuatu dalam  kepalanya buram dan tak fokus. Ada yang berpusar, ada samar isak tangis,  ada gumaman kecil; tapi... Daffa tidak bisa mendengarnya dengan jelas.
Barangkali Daffa ingin  berteriak, namun suara yang dihasilkan hanya nol. Seberapa kuat dia  berteriak karena sakit di dadanya; dia tahu, dia lemah. Jantung sialan  yang selalu menyekap ruang geraknya ini, apa bisa dia musnahkan saja?  Kalau dengan begitu dia bisa meneruskan hidup normal seperti laki-laki  kebanyakan; mencintai wanita yang dia cintai...
Dan, ya, Mikaela...
Daffa mengingatnya meski  kabut. Cewek terlampau ceria yang selalu mengikutinya kemanapun. Cewek  yang seperti tidak punya rasa menyerah untuk menyatakan cintanya pada  Daffa.
Bagaimana kabarnya? Apa  Mika bertanya-tanya tentang kepergiannya? Apa Mika merasa sedih karena  tahu bahwa Daffa yang disukainya ternyata hanya laki-laki lemah?
Daffa ingin berkata  jujur, dia sadar bahwa ternyata dia mulai menyukai Mika. Jika dia  diberikan kesempatan, Daffa ingin menyatakan perasaannya tanpa beban  lagi. Tanpa rasa sakit yang bodoh ini. Daffa tahu bahwa karena riwayat  sakit yang dimiliknya membuatnya tidak bisa mengatakan yang sebenarnya  dan berusaha untuk mengabaikan gadis itu.
Tapi, rasa nikmat masakan Mika masih terasa di lidahnya.
Daffa rindu Mika, dia  rindu anak-anak jalanan yang sering mereka temui di taman kota.  Anak-anak yang juga punya tempat khusus di hatinya.
Kalau dalam gelap ini Daffa diijinkan bertemu dengan Tuhan, dia ingin meminta satu hal;
Daffa ingin bertemu dengan Mika, dan menjadikan Mika orang yang selalu berada di sampingnya.
Dan saat itu pula Daffa  merasakan genggaman tangannya menguat. Monitor di dekatnya berbunyi  dengan begitu datar. Rasa sakit yang menderanya menusuk berkali-kali  lipat menyakitkan. Dia sulit bernapas, dan ruang gelap meraihnya secepat  mungkin.
.
Mika menggulung  rambutnya ke atas dan mengikatnya asal. Dia tengah bersiap-siap mengajar  anak didiknya yang rata-rata berumur 8-11 tahun yang berada dekat taman  kota.
Sudah cukup lama Mika  melakukan kegiatan ini; mengajar anak-anak jalanan yang putus sekolah di  rerumputan taman pinggir kota. Mika memilih tempat itu bukan karena  ingin berhemat, tetapi karena tempat ini cukup nyaman. 
Udara yang sejuk, rerumputan yang hijau, jauh dari bising kendaraan kota, tidak ada polusi dan yang penting adalah ketenangan.
Pernah sang ayah menawarinya untuk membangun sebuah tempat khusus belajar, tetapi Mika menolaknya. 
Dia punya alasan. Dia  lebih suka mengajarkan anak-anak untuk bersatu dengan alam. Lagipula  mereka tidak butuh fasilitas yang berlebihan selain alat belajar yang  lengkap. Udara bersih dan taman bermain lengkap juga cukup menyenangkan.
Biasanya ketika  anak-anak telah selesai belajar, mereka langsung berhamburan ke arena  permainan untuk bermain wahana yang mereka sukai. Ada ayunan, jungkat  jungkit, perosotan dan masih banyak yang lainnya. Mika benar-benar harus  berterima kasih kepada pemerintah karena telah membangun taman ini.
Awalnya Mika membagikan  buku-buku pelajaran sesuai dengan umur mereka. Dengan modal perkiraan.  Mika tahu, sebenarnya sang ayah bisa saja menyekolahkan mereka semua,  tapi dia merasa tidak akan adil dengan anak lain di luar sana yang tidak  punya kesempatan untuk sekolah.
Baginya mengajari  anak-anak itu sendirian sama sekali bukan ide yang buruk. Setidaknya ada  Daffa yang pernah membantunya mengajar sesekali. Walau hanya beberapa  kali, Mika sudah merasa sangat senang. Lagipula anak-anak didiknya juga  menyukai Daffa. Malah tempo lalu mereka pernah melihat Daffa datang  mencari mereka ketika Mika tidak ada.
Ah... Mika memang patut menyukai cowok seperti Daffa.
"Apa kalian sudah lelah?" tanya Mika pada anak-anak setelah satu jam mengajar.
"Sudah, Kaaaaaak," jawab mereka serentak dengan wajah yang polos.
Mika tersenyum geli. "Ya  sudah, kalau begitu kalian boleh istirahat. Ingat ya, hanya 15 menit.  Abis itu kalian harus kembali kesini, karena setelah selesai belajar  kakak punya camilan untuk kalian."
"Asyiiiiik." 
Mereka bersorak gembira. Dan itu cukup untuk membuat Mika sangat bahagia.
Mereka berlari  berhamburan ke arah arena bermain, memerebutkan berbagai mainan yang  mereka inginkan. Mika hanya memperhatikan mereka dengan tersenyum lalu  melanjutkan pekerjaannya mengoreksi hasil belajar mereka.
"Kakak... Kakak..."
Tiba-tiba seorang murid dengan beberapa temannya memanggilnya dengan riang.
"Hm?" Mika menjawab dengan gumaman masih sibuk memeriksa hasil belajar mereka.
"Lihat, Kak, siapa yang kami bawa!"
Mika menengok ke arah mereka dan terkejut. "Kak Daffa?"
Darren, yang merasa terpanggil dengan nama samarannya, hanya berdiri kikuk. Tiba-tiba merasa risih luar biasa. Oh, God,  kenapa dia harus diseret kemari? Setelah sebelumnya diteriaki anak-anak  kumuh yang entah kenapa bisa sok kenal dengannya dan memanggilnya  dengan sebutan; "Kak Daffa". 
Apakah dia tidak bisa lebih sial dari hari ini? 
Darren tidak ingat kalau ibunya pernah melahirkan anak-anak ini dan membuangnya karena malu mempunyai banyak anak.
Lebih parahnya lagi mereka menariknya beramai-ramai ke area kecil yang seperti disulap sebagai tempat belajar. 
Apa Daffa mengenal mereka?
Dan, Darren lupa...
Oh, s**t. Yes, she is Mikaela! 
Darren memutar bola  matanya malas. Dia bertanya-tanya apa mereka berjodoh sampai bertemu  dengan cewek itu di sini? Atau apakah ini sebuah kesialan karena  berwajah mirip Daffa? Dan catat, hari ini untuk pertama kalinya Darren  menyesal menjadi kembaran Daffa.
"Kakak kok di sini?" tanya Mika denga  sumringah.
Ini tempat umum bodoh. Memangnya cuma lo yang boleh ke sini? gumam Darren, tapi dia tidak mengatakan itu secara langsung. "Gue lagi jogging di sekitar sini." 
Darren tidak berbohong,  dia memang sedang berolahraga sore itu. Lari santai adalah alternatif  yang bisa dia dapatkan supaya tidak terlalu melelahkan. Saat setuju  dengan ide itu, dia memang segera pergi ke taman kota. Di tempat ini  beberapa orang sering melakukan hal yang sama. Lagipula jarak dari rumah  ke tempat itu cukup dekat.
Tapi, kalau tahu Mika sering datang ke sini Darren bersumpah tidak akan mau datang ke sini lagi.
"Duduk sini, Kak." Mika menepuk-nepuk rumput hijau di sampingnya.
Darren tidak  menurutinya. Dia hanya memilih duduk di tempat dimana dia berdiri.  Karena sudah terlanjur basah, Darren bermaksud untuk melihat apa yang  cewek itu lakukan di sini dan apa hubungan anak-anak ini dengan Daffa. 
Apa benar Daffa itu adalah kakaknya? 
Darren bergidik.
"Ayo, kumpul lagi sini. Panggil yang lain juga," pinta Mika kepada anak-anak itu.
Mereka semua langsung berlari mengerubungi Mika dan berebut ingin duduk berdekatan dengannya.
"Kakak akan kasih soal  latihan lagi buat kalian. Kali ini waktunya 30 menit. Kalau ada yang  tidak mengerti, boleh tanya sama kakak," katanya lagi.
Oh.. Sekarang terjawab  sudah gelembung tanya di kepala Darren. Ternyata Mika adalah guru yang  mengajar anak-anak jalanan ini. Pantas saja tempat ini disulap menjadi  tempat belajar.
Tapi Darren tidak peduli juga sih. Toh, dia hanya ingin tahu apa hubungan Daffa dengan anak-anak ini. 
"Kak Daffa?" 
Tiba-tiba satu anak memanggil. Darren langsung menengok ke arahnya. Dan anak itu menatapnya dengan mata memohon.
"Darren!"
Deg.
Darren terkesiap.  Jantungnya nyaris lompat karena Mika tiba-tiba berseru sambil memanggil  namanya. Tapi bagaimana cewek ini tahu nama aslinya?
"Darren tanya ke kakak aja. Kak Daffa sedang tidak enak badan," ucap Mikaela lembut.
Sialan! Jadi anak  kumuh ini juga bernama Darren? Hari ini aku mengutuk kenapa namaku harus  Darren. Kenapa tidak Narji ? Parto atau Ian kasela?
Darren mengumpat dalam hati.
"Kenapa Kak Daffa beda  banget? Kenapa nggak kaya biasanya? Kenapa nggak ngajak aku ngomong?"  tanya anak yang bernama Darren itu dengan polosnya.
Tentu saja karena aku bukan Daffa! batinnya, Darren tersenyum kaku. "Kakak lagi tidak enak badan," katanya.
"Sudah, jangan ganggu  kak Daffa dulu. Ayo, lanjutin lagi tugas kalian. Kalian mau dapat  camilan 'kan?" Mikaela mencoba mengalihkan pembicaraan.
Ya Tuhan, harus berapa lama aku disini? 
Darren menghela napas jengkel.
Apa dia harus menunggu  mereka dan duduk diam seperti orang bodoh? Darren bahkan bisa merasakan  bahwa Mika sejak tadi selalu mencuri pandang padanya. Ternyata cewek itu  benar-benar sangat menyukai Daffa.
Duapuluh menit terasa  satu abad bagi Darren. Apalagi dia hanya pasif menonton mereka belajar.  Tiba-tiba dia melihat Mika mengeluarkan ponselnya dan tampak menelpon  seseorang.
Tidak lama ada seorang  lelaki paruh baya yang datang membawa kotak besar ke hadapan Mika. Dan  cewek itu segera membuka kotak tersebut.
Ya, Tuhan! Darren menjerit dalam hati. Itu risoles, makanan kesukaan gue! 
Serius. Kalau Darren  tidak punya rasa malu dia pasti sudah menerjang kotak itu. Kenyataannya  dia cuma bisa menahan karena tidak mungkin kalau cowok tampan sepertinya  terlihat rakus di depan cewek dan anak-anak kumuh itu. Bisa-bisa dia  dikira salah satu bagian dari mereka.
Mika dengan telaten  membagikan satu persatu risoles super besar itu kepada anak-anak  didiknya. Dan mereka mengambilnya dengan berebut seperti tidak pernah  makan setahun.
Kruyuk.
Semua mata menoleh pada Darren.
Sial! Kenapa perut Darren yang sialan ini harus berbunyi sekarang? Oh, God, tolong siapapun tenggelamkan saja dirinya ke lumpur lapindo sekarang! 
Mika tersenyum geli akan  apa yang didengarnya barusan. Darren malu luar biasa. Bisa dipastikan  sekarang wajahnya  memerah bak kepiting rebus.
"Kak Daffa lapar, ya?" celetuk salah satu anak jalanan itu. 
Saat itu juga Darren  sekali mengikat anak bawel itu dengan rantai kapal, memasukannya ke  karung lalu membuangnya ke kutub utara, berharap dia dimakan nying-nying sss.
Pelan, Mika mendekati Darren. Tangannya menyodorkan beberapa risoles yang sukses membuat cowok itu menelan air liur.
"Ayo, Kak, dimakan," tawar Mikaela.
"Iya, Kak Daffa harus makan juga.  Kue buatan kak Mika itu nggak ada duanya lho," kata anak yang tadi ingin Darren buang ke sss. Oke, mungkin Darren akan urungkan niatnya melakukan itu sekarang.
"Oke, kalau kalian maksa." 
Akhirnya Darren mengambil satu risoles itu dan melahapnya.
Oh, s**t! Ini enak banget!!!
"Mau nambah, Kak?" tanya Mika sambil menyodorkan risolesnya lagi.
Darren berdeham. "No, thanks," tolaknya dengan gengsi di atas rata-rata.
Setelah selesai acara makan-makan yang membuat Darren menahan gengsi akhirnya dia pamit pulang.
Begitu dalam perjalanan  Darren memutuskan untuk membeli satu kotak besar risoles yang dijual di  toko kue pinggir jalan, sebagai ajang balas dendam.
Yah, Darren memang akan balas dendam. Sampai di rumah dia tidak akan menahan diri lagi dan menghabiskan risoles itu tak bersisa.
Dan saat itu Darren  tiba-tiba teringat dengan kata-kata anak didik Mika yang memintanya  untuk berkunjung lagi lusa sesuai jadwal belajar mereka. Oh, ayolah, mau  jadwal lusa, minggu depan atau seabad kemudian, memangnya Darren sudi  untuk berkunjung lagi?
Tbc...