Bab 7. Utang Plus Bunga

1216 Words
Mencari pekerjaan jelas bukan hal mudah bagi seseorang yang tidak punya orang dalam, meskipun begitu Letizia tidak menyerah untuk memasukan surat lamaran pekerjaan di beberapa kantor yang membutuhkan tenaga kerja. Semua tidak instan seperti di novel atau pun di drama, ia tetap menunggu waktu dengan harapan bisa dipanggil untuk interview kerja. Letizia menikmati makan siangnya sambil melamun, memikirkan strategi untuk bertahan hidup sambil mengurus beban hutang berserta bunganya. Yeah, bunga itu siapa lagi kalau bukan Jourell Maximilian? Pria itu kini hidupnya pun harus dibiayai, jelas ia harus bekerja lebih keras. "Ternyata menemukanmu cukup mudah," suara Jourell menyelinap masuk pada indra pendengaran Letizia, membuat ia tersentak. Letizia tidak menjawab, ia masih sangat kesal dengan apa yang dilakukan Jourell tadi pagi. Jourell mengangkat alisnya tinggi-tinggi melihat sikap acuh Letizia, tanpa permisi ia mendudukkan tubuhnya di salah satu kursi kosong lalu menarik kursi Letizia dengan kuat hingga tubuh wanita itu ikut terhentak ke arahnya. "Jourell, kau ini mau apa sih?" Letizia mendengus kesal, mencoba tak takut dengan sikap penuh intimidasi pria itu. "Aku hanya memastikan debiturku melakukan pekerjaan dengan baik. Bukan malah bersantai seperti ini," sahut Jourell dengan mata menyipit, menatap lekat-lekat wajah Letizia yang memerah terkena paparan cahaya matahari. Letizia memutar bola matanya malas. "Kau juga harus tahu, seseorang yang bekerja perlu waktu istirahat. Ini jam makan siang wajar aku disini," kilah Letizia ketus, sengaja mengabaikan Jourell dengan meminum jus pesanannya. Jourell diam saja namun matanya terus menatap lekat-lekat wajah Letizia tanpa bergeming. Sikapnya itu jelas membuat yang ditatap gugup, Letizia berpura-pura mengabaikannya tetapi ia bisa apa? Tatapan dari mata hazel itu membuat ia begitu resah. "Kau sendiri kenapa ada di sini?" Letizia memutuskan bertanya demi membuat suasana tak semakin canggung. "Sengaja ingin menemuimu," jawab Jourell, suaranya yang rendah dan berat membuat Letizia merasa seperti dihipnotis. Letizia cukup terkejut, melirik Jourell dengan sejuta tanya. "Untuk apa menemuiku, tidak bertemu dengan kekasihmu?" ucapnya asal. "Aku memang b******k, tapi aku bukan pemain wanita. Kau istriku," sergah Jourell, suaranya lebih dingin namun sangat tegas membuat Letizia terpana oleh perkataannya. Letizia merasa seperti disambar petir, ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Jourell terus menatapnya. "Zia," Jourell merapatkan tubuhnya lebih dekat, kedua tangannya memerangkap Letizia. "Kenapa?" Letizia menyahut terbata, tubuhnya mematung begitu saja karena gugup. Jourell tidak langsung menjawab, ia justru mengulurkan tangan mengelus rambut panjang Letizia lalu tanpa peringatan ia menyandarkan kepalanya di bahu wanita itu membuat sang pemiliknya terkaget-kaget pastinya. Letizia merasa seperti jantungnya akan berhenti, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Jourell terus memeluknya, membuat Letizia merasa seperti terjebak dalam gejolak perasaannya sendiri. "Jourell, ada apa?" Letizia mendadak begitu panik, berusaha menyingkirkan kepala dan tangan Jourell. "Hmm, rambutmu wangi sekali. Pakai shampo apa?" Jourell semakin mendesak, mengendus leher Letizia yang harum memabukkan. Letizia merasa seperti akan meledak, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Jourell terus memeluknya, membuat Letizia merasa seperti terjebak dalam gejolak perasaannya sendiri. "Aku... aku harus pergi," Letizia akhirnya berhasil melepaskan diri dari pelukan Jourell. “Mau ke mana?” Jourell menahan tangan Letizia sebelum wanita itu beranjak, sorot matanya tampak sendu sekali. “Aku sedang pusing, boleh minta bantuan pelukan sebentar?” ucapnya lagi, suaranya terdengar lirih penuh permohonan. Letizia mengernyit keheranan akan tingkah Jourell yang berubah sangat drastis itu, ia tidak ingin terjebak sehingga mencoba mengabaikan. “Kau saja sering menindas orang, kenapa membutuhkan orang segala?" cemoohnya tak menutupi kesal. Alih-alih menjawab Jourell justru kembali merengkuh pinggang Letizia lalu mendudukkan wanita itu di kursinya yang semula, kali ini ia menatap wanita itu sendu sekali. “Sudahlah berhenti memasang wajah seperti itu, katakan apa maumu," tukas Letizia merasa tak sabar, kedua tangannya sudah gemas melihat wajah sok lemah Jourell. “Aku sedang banyak tugas." Jourell mulai menjelaskan, tangannya perlahan meraih tangan Letizia untuk digenggam. “Ada pengeluaran yang aku butuhkan, kau tahu semua tabunganku sudah aku pakai untuk ibumu. Aku—” “Oke stop aku mengerti.” Letizia buru-buru mengangkat tangan menyela, raut wajahnya berubah masam menyadari apa yang membuat Jourell berubah manis. “Kau jangan marah, aku sekarang suamimu jadi kau yang harus bertanggungjawab padaku," ucap Jourell memasang wajah polos sok dikasihani. Letizia menyeringai sinis. “Bukannya terbalik? Kau menyebut dirimu suami, tapi kau meminta nafkah dari istrimu?” “Aku masih kuliah, perusahaan mana yang mau menerimaku? Kau yang harus bekerja, enak saja.” Jourell tak mau kalah. “Seharusnya aku masih punya tabungan, tapi kan sudah habis? Mau minta ke siapa sekarang, orang tuaku jauh. Kau benar-benar tega," imbuhnya, kali ini ekspresinya tampak ngambek-ngambek manja yang membuat Letizia kian geram. “Kuliah hanya 4 kali seminggu 'kan? Kau bisa ambil part time," tukas Letizia melawan, tak ingin lagi dibodoh-bodohi oleh Jourell. “Part time?" Jourell mengerutkan bibir seolah sedang berpikir matang-matang. “Kau pikir pria sepertiku pantas bekerja berat? Tidak mau.” Letizia mendesis pelan dengan kedua tangan mengepal, ia harus tenang menghadapi manusia rewel ini. Ia tersenyum tipis lalu menatap wajah Jourell seksama, ia mengulurkan tangan menyentuh dagu pria itu. “Jika dilihat-lihat, wajahmu cukup sempurna Jourell. Aku rasa ada satu pekerjaan yang cocok untukmu,” kata Letizia lambat-lambat dengan senyum tipis di bibir. “Apa itu?” “Gigolo." Jourell tertawa kecil mendengarnya, dengan satu gerakan mudah ia menarik tengkuk Letizia hingga wajah keduanya nyaris bersentuhan. “Kau sepertinya sangat memahami bakatku, tidak masalah jika istriku ingin aku melakukannya," ujar Jourell tenang tanpa keberatan sama sekali. “b******k!" Letizia mendorong bahu Jourell kasar, wajahnya berubah bersungut-sungut kesal. “Kenapa marah? Bukankah Nona Zia yang mau aku bekerja? Kalau begitu ... Nona saja yang carikan pelanggan, aku jamin bisa membuat mereka puas." Jourell tersenyum tipis dengan mata penuh godaan. Letizia semakin kesal, ternyata ia salah jika berpikir Jourell masih seperti dulu. Pria ini benar-benar sangat berubah dan sangat tahun kelemahannya. Ia tak ingin kembali kalah, mengangkat dagu menantang. “Lupakan, aku sudah berjanji untuk membiayai dirimu. Semua pengeluaran adalah tanggunganku," Letizia mencoba untuk mengambil kendali, tapi Jourell tidak mau kalah. "Kau memang harus melakukannya," celetuk Jourell, suaranya penuh tantangan, sambil mengangkat alisnya yang sempurna. Letizia merasa frustrasi, tapi ia tidak mau menunjukkan kelemahannya. "Kita harus berhemat, Jourell," katanya, suaranya tegas, sambil menatap Jourell dengan tajam. Jourell hanya tersenyum, sambil mengeluarkan rokok dari kantongnya. "Aku tidak melihat ada yang salah dengan gaya hidupku," katanya, sambil menyalakan rokok dengan gerakan yang santai. Letizia merasa kesal, ia merampas rokok dari tangan Jourell. "Kau tidak bisa terus-menerus menghabiskan uang seperti ini. Berhenti merokok!” katanya, suaranya penuh emosi. Jourell hanya tertawa, sambil menarik Letizia ke dalam pelukannya. "Kau tidak bisa mengontrol aku, Zia," katanya, suaranya lembut, sambil membisikkan kata-kata di telinga Letizia, ia masih tak peduli, ia mencoba meraih rokok miliknya namun Letizia segera menjauhkan. Jourell tak menyerah, kembali berusaha mengambil. Kali ini Letizia lebih cerdik, langsung menyimpan semua rokok itu ke dalam d**a sehingga Jourell tak berkutik. Letizia bedehem menutupi rasa malu yang mendera, kembali mengangkat dagu penuh peringatan. “Sebagai istrimu, aku melarang kau merokok mulai detik ini," titah Letizia. “Tidak penting." Jourell mencibir malas tanpa peduli lagi meski raut wajahnya kesal. Ia mengeluarkan dompet berniat membeli rokok kembali. Letizia tersenyum puas, akhirnya kali ini ia menang. Namun secara tak sengaja Letizia melihat black card di dompet Jourell. Ia sempat tertegun karena belum sadar, saat menyadari kartu yang dimiliki Jourell bukan kartu biasa membuat kedua matanya terbelalak lebar. “Blackcard? Bagaimana dia bisa punya? Bukankah dia bilang .... ” Bersambung~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD