Bab 8. Gara-gara baju

1559 Words
Letizia bak disambar petir melihat kartu hitam platinum yang ada di dompet pria yang baru saja dinikahi itu. Yang membuat ia kaget adalah, kenapa Jourell bisa memiliki kartu debit tanpa batas yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang saldonya limit. Bukankah Jourell mengatakan semua uangnya habis untuk mengobatan ibunya? Bahkan sampai hutang? “Kau punya black card?” Letizia bertanya tanpa basa-basi, sorot matanya berubah tajam menuntut. Jourell tersentak akan pertanyaan itu, tangannya reflek menutup dompet miliknya berpura-pura acuh. “Kau hanya salah lihat,” kilah Jourell. “Benarkah?” Mata Letizia menyipit memandang Jourell curiga. “Coba aku lihat!” Ia kemudian berusaha meraih dompet milik Jourell. “Tidak boleh.” Jourell buru-buru memasukan dompetnya kembali ke dalam saku celana. “Ini privasi,” imbuhnya kemudian. “Tidak ada privasi dalam hubungan suami istri, berikan dompetnya!” sergah Letizia memaksa mengambil dompet itu, ia yakin sekali kalau tidak salah lihat. Letizia tanpa sungkan meraba paha Jourell bermaksud mengambil dompet di dalam saku celana, tetapi Jourell masih berusaha mempertahankannya. Ia merasa belum saatnya Letizia mengetahui identitas aslinya, ini bahkan baru permulaan. Ia belum puas memberikan pelajaran pada wanita yang telah mempermainkannya itu. “Jourell berikan dompetnya!” seru Letizia semakin kesal karena Jourell terus menghalanginya. Jourell menahan tangan Letizia cukup kuat membuat wanita itu berhenti mendesak. “Kau mau dompet atau menyentuh tubuhku?” ucap Jourell menyeringai. “Apa sih? Berikan dompetnya, aku yakin tadi melihatnya,” sergah Letizia menepis tangan Jourell kasar. “Ambil saja.” Bukannya dilepaskan, Jourell justru membawa tangan mungil itu untuk menyentuh pahanya lebih dekat dengan sedikit tekanan. “Suami istri memang tidak butuh privasi, lakukan apa saja yang kau suka," bisiknya rendah berbalut godaan yang kental. Letizia membesarkan mata saat tangannya dibawa menyentuh tubuh Jourell yang terasa hangat, ia juga merasa wajahnya tiba-tiba panas sekali teringat akan tubuh berotot Jourell yang menggairahkan. Ia ingin menolak saat Jourell melakukan itu, tapi otaknya mendadak linglung dan ia hanya diam terpaku. Sampai pada akhirnya ia melihat sesuatu yang bergerak dan membuat terkejut. “Tidak!” Letizia berteriak keras lalu memutar tubuhnya, menutup wajahnya dengan kedua tangan merasa malu sendiri. Jourell justru terkekeh-kekeh senang melihat Letizia yang salah tingkah itu, ia segera bangkit membenarkan celananya yang terasa ketat lalu meraih tangan Letizia. “Ayo pulang," ajak Jourell. Letizia tak sempat menolak, ia hanya merasa semakin gemetaran dengan mata yang menatap genggaman tangan Jourell. Jujur ia masih bingung sebenarnya Jourell ini maunya apa? Kenapa tiba-tiba baik, tiba-tiba berubah kejam, tiba-tiba bisa berubah manis dan juga menyebalkan. Namun, Letizia mulai paham. Jourell hanya akan marah jika membahas tentang masa lalu. Ia bisa mengambil kesimpulan Jourell mungkin masih sakit hati karena keputusannya 6 tahun lalu. “Jika aku bisa memilih, aku pasti akan selalu di sampingmu, Rellybear ... " *** Sembari menunggu interview kerja Letizia mencari pekerjaan sampingan dengan membuat desain ke beberapa influencer yang membutuhkan poster dan juga referensi iklan untuk barang yang akan dijual. Sesuai bidang yang dikuasai sehingga Letizia masih memiliki pemasukan meski hanya skala kecil, ia berharap akan ada titik terang dari beberapa perusahaan yang telah ditunggu kabar baiknya itu. Sudah seminggu berlalu Letizia tidak ke mana-mana, ia sibuk mengurus rumah dan pekerjaan. Kadang-kadang saja pergi ke rumah sakit itu mengantar makanan kepada Ibunya lalu kembali pulang. Sekarang ini rasanya Letizia tidak bisa keluar lama jika Jourell di rumah, pria itu pasti akan meneleponnya habis-habisan. Karena keadaan rumah tangga yang lumayan membaik Letizia memilih menurut saja daripada membuat keributan yang memancing amarah Jourell. Pagi itu Letizia cukup senggang, ia membereskan Apartemen serta memasak untuk diantar ke rumah sakit nanti. Namun kendati demikian rencananya tak berjalan mulus, baru juga ia duduk menikmati sepotong buah tiba-tiba Jourell datang lalu melemparkan tumpukan baju ke pangkuannya. “Jourell, kau apa-apaan sih!" teriak Letizia kesal sekali pastinya, masih keadaan lelah malah dilempar baju seperti itu. “Baju-bajuku kotor semua, aku mau pergi tidak ada baju. Tolong cucikan," titah Jourell santai sekali seolah tidak menyinggung Letizia, ia meraih sepotong buah di tangan Letizia lalu memakannya dengan santai lalu mendudukkan dirinya di samping wanita itu. Letizia membuka mulutnya tak percaya, dengan kasar ia membuang seluruh baju yang baru dilempar pria itu. “Kita harus bagi tugas, tadi aku sudah memasak dan membersihkan rumah. Urusan bajumu adalah urusanmu sendiri," sergah Letizia. “Tidak ada dalam kamus suami harus mencuci baju sendiri, itu tugasmu.” Jourell tak peduli, malah asyik menikmati sepotong buah yang tadi hendak dimakan Letizia. “Sebenarnya apa sih tujuan kita menikah kalau semuanya aku. Cari kerja aku, urus rumah aku, sedangkan kau?” Letizia mulai tak tahan, baru seminggu menikah rasanya semua beban justru kian berat sekali di pundaknya. Ia mendengus kesal, ia langsung bangkit meraih semua baju-baju milik Jourell lalu membawanya pergi seraya bibir tak henti menggerutu. “Nikah bukan malah enak, malah makin susah, mending nggak usah nikah!” Ucapan itu masih didengar jelas oleh Jourell yang terdiam memaku, tadinya memang sengaja ingin mengerjai Letizia namun melihat wajah lelah wanita itu hatinya yang dingin sedikit tersentuh. Kadang ia juga merasa keterlaluan karena memaksa wanita itu terus bekerja, tapi ia pun masih dendam terkait keputusan Letizia 6 tahun lalu yang memilih mengakhiri hubungan tanpa sebuah kejelasan. Biarkan saja, siapa suruh seenaknya membuangku dulu. Jourell berusaha tidak peduli, sialnya ia benar-benar tidak bisa mengabaikan wanita mungil dengan senyum manis itu. Masih dengan mulut yang menggerutu Letizia memasukan semua baju Jourell ke dalam mesin cuci. Entah bagaimana baju kotor Jourell bisa sebanyak itu, padahal sepertinya dua hari lalu Jourell baru saja menyuruhnya mencuci baju. “Aku rasa dia memang sengaja melakukan ini,” umpat Letizia benar-benar kesal kali ini. Ia bersumpah tidak ingin berbicara dengan pria itu. Letizia memasukan baju milik Jourell dengan gerakan kasar, secara tak sengaja tangannya tersangkut pada kain kecil yang bertuliskan Calvin Klein berwarna hitam. Letizia menelan ludah, mendadak gugup lalu menyingkirkan kain yang merupakan celana dalam itu dengan ekspresi menahan dongkol sekaligus malu. Otaknya jadi membayangkan yang tidak-tidak dong sekarang. “Sebenarnya dia itu benar-benar miskin atau tidak, aku rasa semua bajunya ini merek terkenal?” Lagi-lagi Letizia dibuat gagal fokus dengan salah satu kemeja milik Jourell yang ia yakini diproduksi oleh brand terkenal dunia yang dijual dengan harga puluhan juta. “Celana dalamnya mereka CK, sekarang kemejanya Gucci?" Letizia melihat-lihat lagi semua pakaian milik suaminya itu dan memang benar semua asli. Letizia merasa ada yang tidak beres, setelah black card beberapa waktu lalu kini baju branded? Bukankah Letizia patut curiga? ”Apa kau butuh bantuan?" Jourell berdiri di belakang Letizia, memasang wajah dingin serta sorot mata datar. Letizia mengangkat pandangan, tatapan matanya jauh lebih dingin penuh kecurigaan. “Semua bajumu merek brand fashion terkenal, darimana kau bisa mendapatkan banyak uang untuk membeli baju-baju ini?” todong Letizia langsung, ia berdiri dengan penuh intimidasi. Jourell terkejut akan hal itu, ia memejamkan matanya singkat. “Oh itu, sekarang banyak baju bekas yang di preloved. Aku membeli ini dengan harga murah,” kilah Jourell. “Baju bekas?" Letizia mengernyit, menatap Jourell dari atas sampai bawah. Kenapa ia tak yakin pria itu memakai baju bekas? “Tentu saja." Jourell menganggukkan kepalanya tegas penuh keyakinan. “Tidak masalah kan memakai baju bekas? Karena yang menentukan penampilan orang menarik memang dari wajahnya.” Ia tersenyum menaikturunkan alisnya menggoda. “Pede banget!" Letizia sontak mendengus seraya mencibir, tak lagi ingin ambil pusing hanya perkara baju. Lebih baik ia segera membereskan pekerjaan agar bisa secepatnya pergi. Jourell tanpa sadar menghembuskan napas lega dengan tangan yang memukul udara, hampir saja rahasianya akan terbongkar. Sepertinya ia harus mulai berhati-hati sekarang ini. “Aku tadi sudah masak, kau makan saja duluan. Aku bereskan ini," kata Letizia sibuk dengan mesin cucinya. Jourell tidak menjawab, ia justru melangkah mendekati Letizia memerangkap wanita itu di antara mesin cuci. “Aku makan bersamamu saja nanti," bisik Jourell. Letizia mengerjapkan matanya menormalkan detak jantung yang tiba-tiba sangat keras, ia menggeleng pelan bersikap pura-pura acuh. “Aku akan membereskan ini dulu, jangan mengangguku!" “Aku ingin membantumu, boleh?” Tubuh Jourell kian merapat, memeluk pinggang kecil Letizia dengan satu tangan yang bersandar pada pantry. Hembusan napas hangat yang menerpa leher itu membuat Letizia semakin tidak fokus, ia berusaha mengabaikan tetapi bagaimana bisa ia mengabaikan jika tubuhnya dipeluk sedemikian rupa oleh Jourell. Kini rasanya seluruh tubuhnya tenggelam dalam dekapan pria itu. “Kalau begini kau bukan membantuku," ujar Letizia terbata-bata, ia menyikut perut Jourell agar segera pergi. “Kau mau ini cepat selesai tidak?" usirnya lagi. “Kenapa sekarang kau selalu gugup?” Jourell enggan beranjak sedikit pun, justru wajahnya kian dekat sekali pada leher Letizia yang dihiasi anak-anak rambut. “Apa kau benar-benar menganggap kita asing?” “Jawab aku, Zia. Apa kau menganggap kita asing?” Jourell tiba-tiba mendesak, suaranya ikut gemetar seperti geraham binatang buas yang menakutkan. Letizia buru-buru menggeleng, ia memberanikan diri mendongak melawan mata Jourell yang sangat dekat itu. “Bukannya kau yang menganggap aku orang asing?” Rahang Jourell tampak semakin mengetat, pandangan keduanya bertemu dengan sangat intens, perasaannya kembali bergejolak liar sekali. Ia merasa semakin tertarik pada Letizia, dan tanpa bibirnya menyentuh bibir Letizia. Letizia memejamkan mata saat merasakan sesuatu yang dingin itu, ia mulai ketakutan akan sesuatu yang menyakitikan. Namun kali ini berbeda, ciuman Jourell terasa lembut dan sangat dalam membuat ia terbuai. Ciuman itu menemukan iramanya, penuh desakan dan juga perasaan yang ingin diungkapkan. Jourell merasa semakin kehausan, dengan gerakan kasar ia membalikkan tubuh Letizia lalu kembali menarik tengkuknya membuat ciuman itu lebih intim. Bersambung~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD