Seusai mandi, Jenita memilih mengurung diri di kamar. Merebahkan tubuhnya yang terasa letih di atas ranjang berukuran king size. Matanya terpejam rapat, tetapi Jenita tidak bisa tertidur. Kepalanya terus saja memutar kejadian dua jam lalu di kediaman sang nenek yang membuat dadanya tertekan nyeri. Ia masih menduga-duga entah apa dosanya, hingga ia diperlakukan sedemikian kejam oleh keluarga besar Hirawan.Mengapa justru Diana, yang merupakan anak dari selingkuhan sang papa, yang mendapatkan perlakuan baik dari mereka?
Mengapa?
Rasanya tidak adil. Tetapi Jenita tidak kuasa melawan ataupun meminta mereka merubah sikap padanya.
Jenita yang malang.
Jenita lantas membuka mata. Sudah cukup rasanya, ia hidup di antara rasa penasaran yang membumbung tinggi. Jika semua orang bungkam, termasuk Sebastian. Maka, ia harus mencari tahunya sendiri.
Tetapi bagaimana dan pada siapa ia harus bertanya?
Jenita bangkit. Menuju meja rias di sisi kiri ranjang. Menatap pantulan diri di cermin sejenak, untuk memastikan penampilannya. Hitam di bawah matanya masih tercetak jelas di sana. Insomnia memang menjadi rutinitasnya setiap malam.
Setelah merapikan penampilannya, perlahan Jenita menuju dapur untuk mengambil minum, juga mencari camilan untuk menemaninya menghabiskan malam.
Membuka lemari es, Jenita mengamati isi di dalam sana yang cukup lengkap. Buah-buahan, cake, kentang beku, sosis, tersedia di sana. Senyum tersungging begitu saja dari bibirnya, mengingat semua ini tidak lain karena campur tangan Tian.
Mengambil satu gerombol anggur dan segelas air, Jenita melangkah menuju ruang tengah. Ia berniat akan menghabiskan malam untuk menonton film melalui saluran televisi berbayar, sebelum manik matanya tertuju pada sesosok tubuh yang meringkuk di atas sofa. Ya, siapa lagi kalau bukan Sebastian Nugraha. Dan tentu saja sofa yang tidak begitu besar itu tidak akan cukup menampung tubuh tinggi besar lelaki itu.
Jenita menghela napas dan menggeleng, tidak habis pikir si pria kutub itu memilih tidur di sana. Ia lalu meletakkan gelas dan piring berisi anggur di meja, lantas mendekat ke arah Tian yang tampaknya tertidur nyenyak.
Jenita mengamati wajah bersih yang terlihat sekali begitu kelelahan. Saat tertidur seperti ini, sosok Tian berbanding terbalik dengan saat terjaga. Siapa yang menyangka, sosok yang meringkuk mirip posisi bayi saat di kandungan itu adalah pria kaku yang pemaksa. Jangan lupakan juga bibirnya yang sering melontarkan kalimat yang membuat d**a Jenita ... berdebar.
Berdebar?
Jenita menggeleng pelan. Menolak mengakui jika hatinya beberapa kali dibuat belingsatan oleh Tian, karena perkataan dan sikap pria itu.
"Jenita." Tian yang menyadari akan hadirnya seseorang di sampingnya, akhirnya terjaga dari tidur singkatnya. Pria itu duduk dan menatap Jenita penuh tanda tanya.
Jenita sendiri yang sejenak melamun di samping Tian, hanya mampu mengerjapkan mata. Wajahnya memerah karena malu telah terpergok mengamati wajah lelaki itu.
"Maaf, sa—saya tidak bermaksud ganggu tidur, Abang." Jenita meremas ujung kaos yang dipakainya, menutupi gugup. Kaos yang ia temukan di lemari, dan ia putuskan memakainya.
Kenapa aku harus gugup begini?
Tian tersenyum tipis sembari menyugar rambutnya. "Saya kira kamu sudah tidur." Netranya mendapati anggur dan segelas air putih di meja, "kamu lapar atau memang tidak bisa tidur?" tanya Tian yang mendapati sepiring anggur di meja. Dan rasanya aneh, mendapati Jenita akan memakan buah cenderung asam itu, di jam yang hampir mendekati tengah malam.
Jenita melirik ke arah segelas air putih dan sepiring anggur miliknya. Lalu kembali menatap Tian. "Tidak bisa tidur, dan saya berencana menonton,” jawab Jenita.
"Kalau begitu, boleh saya gabung?" tanyanya kemudian.
"Apa?"
"Kamu akan menonton film, kan? Boleh saya gabung?" Tian menggeser tubuhnya untuk memberi ruang pada Jenita agar duduk di sampingnya.
Jenita berpikir sejenak. Ia mengamati lelaki yang masih mengenakan setelan kerja yang sudah terlihat kusut.
"Saya pikir tadi Abang sudah pulang." Jawaban Jenita sama sekali tidak nyambung. Karena memang yang dipikirnya, Tian sudah tidak berada di apartemen yang ia tempati. Dan sederet kalimatnya barusan adalah bentuk pengusiran secara halus bagi lelaki itu.
Embusan napas Jenita terdengar berat di rungu Tian, membuat lelaki itu mengernyit dalam. Terlintas di kepalanya jika Jenita keberatan dengan keberadaannya saat ini.
"Duduk dulu." Tian menepuk sisi kanan sofa yang didudukinya.
Menyerah. Akhirnya Jenita duduk di sebelah Tian. Rasanya percuma mengusir lelaki yang kini justru membuka kancing bagian atas kemejanya.
Jenita mencela matanya yang dengan kurang ajar justru terkesan mengamati bulu-bulu yang mengintip di balik dalaman Tian.
"Tadi Pak Rohim sudah mengantarkan pakaian kamu," terang Tian dengan senyum tipis tersumir di bibirnya. "Masih ada di ruangan depan, karena saya pikir kamu tadi sudah tidur."
Jenita hanya terdiam, tidak berniat menimpali ucapan Tian. Tangannya sibuk menekan remot mencari film yang sesuai keinginannya. Tetapi teve berbayar di hadapannya itu tidak juga menampilkan film yang Jenita inginkan. Wajahnya datar, terkesan menahan kesal dan itu justru membuat lelaki di sampingnya tersenyum.
"Jenita." Tian mencoba membuka kembali obrolan dengan Jenita yang kini sibuk memakan anggur. Manik wanita itu fokus pada layar teve yang menampilkan serial kartun Frozen. Mengabaikan sosok di sampingnya.
"Jen ...." Tian menyentuh lembut lengan Jenita dan membuat wanita itu akhirnya menoleh. Manik kedua manusia berbeda gender itu saling berserobok. "Saya minta maaf, seharusnya saya tidak menerima undangan Nyonya Wigati." Hening sejenak. "Saya tidak menyangka kejadiannya akan seperti tadi. Sa—“
Jenita tersenyum getir. Permintaan maaf Tian terdengar tulus, tetapi untuk apa lelaki itu meminta maaf untuk kesalahan yang tidak ia lakukan? Toh kejadian beberapa jam lalu bukanlah kali pertama, Jenita mendapat perlakuan buruk dari keluarga besar sang papa.
"Bukan salah, Abang." Jenita kembali menatap layar. Memutus kontak matanya dengan Tian.
"Saya tahu ...."
"Saya sudah di sini." Lagi, Jenita memangkas ucapan Tian. "Saya akan menghadapi semuanya. Termasuk rahasia seburuk apa pun itu, yang kalian sembunyikan dari saya!" Suara Jenita terdengar marah.
Tian memejamkan matanya sejenak. Lelaki itu merasa berada di antara pilihan yang sulit. Ia memang salah seorang dari "kalian" yang dimaksud Jenita. Menyembunyikan "rahasia" yang sudah berpuluh tahun keluarga Hirawan pendam. Tetapi bukan wewenang dirinya mengungkap rahasia tersebut.
Melihat lawan bicaranya terdiam, Jenita mendengkus. "Tolong pinjami saya mobil, supaya saya lebih leluasa bepergian," ucap Jenita mengalihkan pembicaraan. Percuma juga memaksa Tian. Lelaki itu tidak akan membeberkan "rahasia" itu.
Mungkin sudah disumpah mati oleh Papanya atau Eyang Wigati. Pikir Jenita.
"Akan saya urus. Besok pagi saya akan meminta Pak Rohim mengantarkannya kemari," jawab Tian, yang setuju dengan permintaan Jenita. Toh, dia tidak bisa dua puluh empat jam berada di sisi Jenita. Sehingga, memberi Jenita mobil, adalah salah satu pilihan tepat. Ia hanya perlu mengawasi Jenita, melalui GPS dan kamera pengintai yang akan ia pasang tanpa sepengetahuan wanita itu tentunya.
“Terima kasih. Kalau begitu, bisakah Abang pulang?"
"Apa?"
"Memangnya Abang mau tidur di sini?"
"Memangnya ada larangan saya tidur di sini?"
Jenita memijat pelipisnya. Baru saja, Jenita berpikir Tian adalah lelaki baik yang bersedia meminta maaf dan meminjaminya mobil. Tapi, coba lihat sekarang. Mode menyebalkannya datang kembali.
"Saya keberatan," tukas Jenita dengan nada lelah.
Tian menyandarkan punggungnya. Melipat tangannya di depan d**a yang membuat bagian padat tersebut semakin tercetak jelas dan hampir saja mengalihkan perhatian Jenita dari layar televisi.
"Maaf sekali, tapi saya memang tidak membutuhkan izinmu untuk menginap di sini, Jenita ...."
"Karena apartemen ini milik Abang, begitu?"
Tian mengangguk angkuh. "Kurang lebih begitu."
Jenita mendengkus sebal. Ia tahu hanya menumpang di sana, dan tidak perlu Tian mengingatkan hal tersebut.
Jenita akhirnya berdiri. Di dekat Tian sama saja membuatnya tersulut emosi. Lebih baik, ia mendekam di kamar entah melakukan apa.
"Loh, kamu mau ke mana?" Tian turut berdiri.
"Tidur di kamar."
"Filmnya bagaimana?"
Jenita melirik sinis. "Abang saja yang nonton. Bukankah, tempat ini dan seisinya itu milik, Abang?"
"Jen ...."
Jenita tidak menggubrisnya lagi. Tubuhnya menghilang di balik pintu kayu yang sengaja ia tutup dengan kencang.
.
.
Semilir angin sore membelai tubuh Jenita yang sejak sejam lalu setia duduk di samping makam berukirkan Anita Kencana—Mama tercintanya.
Keruh.
Muram.
Berselimut duka.
Dan entah kata apalagi yang tepat untuk melukiskan suasana hati wanita itu. Satu hal pasti yang Jenita rasakan, kehilangan Anita sudah membuat dunianya menggelap. Terlebih, beberapa tahun kemudian ia harus kehilangan kasih sayang dari sang papa. Juga ... Elang Bimantara.
Kabut yang sejak tadi membayangi sepasang matanya kini berubah menjadi hujan air mata yang membanjiri pipi.
Tumpah ruah.
Dan seolah alam pun mengerti akan kepedihan yang Jenita rasakan, langit pun kini turut menangis. Tetes demi tetes buliran hujan kini terjun ke dasar bumi, mengenai tubuhnya yang bergetar, menumpahkan segala beban yang selama ini ia rasakan seorang diri.
Paman, Bibi dan Sebastian adalah orang-orang yang selama ini menemaninya kala ia terpuruk. Tetapi toh, mereka tidak akan pernah bisa merasakan apa yang dirinya rasakan.
Tubuh Jenita ambruk. Tersungkur pada pusara Anita. Ia meraung kencang. Kepalan tangannya ia pukulkan di atas pusara Anita yang ter selimuti rerumputan hijau. Meluapkan segala rasa sakit yang ia rasakan hingga detik ini. Mempertanyakan pada jasad Ibunya di bawah sana, tentang segala sesuatu yang ganjil.
"Kenapa semua keluarga Papa sampai sekarang masih membenciku, Ma? Apa salah aku? Apa salah kita Ma?"
Jenita lantas melepaskan tawanya. Tawa penuh kegetiran, teredam deru hujan yang kian deras.
Puas. Jenita kini memeluk pusara Anita. Erat. Tidak peduli jika pakaiannya kini terkotori oleh tanah pemakaman.
.
.
Seorang lelaki turun dari mobil sembari meregangkan payung dan disambut oleh petugas makam yang segera menghampirinya dengan tergesa.
"Apa dia masih di sini?" tanya lelaki itu dengan nada cemas.
"Masih, Pak." Petugas makam bernama Purnomo itu mengangguk cepat. "Saya tidak berani meminta Mbak Jenita berteduh. Beliau galak sekali kalau lagi marah," infonya.
Lelaki berkepala botak di bagian depan kepalanya itu sejujurnya sudah akan meminta Jenita untuk berteduh, sejak langit masih mendung. Namun urung lelaki itu lakukan, karena di hari-hari sebelumnya, Jenita justru membentak, dan mengancam akan melaporkan ke atasan lelaki itu karena dianggap mengganggu privasi keluarga yang tengah berkunjung ke makam. Sehingga Purnomo hanya memantaunya dari jauh, takut terjadi sesuatu dengan wanita keturunan Hirawan itu.
"Biar saya yang ke sana. Terima kasih infonya, Pak." Lelaki berpakaian kantor yang baru saja tiba di area pemakaman elite itu menepuk bahu Purnomo. Ia lantas menyelipkan tiga lembar Soekarno ke saku baju Purnomo.
"Terima kasih, Pak." Purnomo tersenyum lebar. Rezeki nomplok, batinnya. Hanya menginfokan keberadaan Jenita, ia mendapatkan tiga lembar si merah.
.
.
Masih beberapa meter dari sosok Jenita tertelungkup di atas makam, lelaki itu berhenti.
Hatinya teriris pedih mendapati wanita yang ... entah bisa disebutkan apa hubungannya dulu ... satu hal yang pasti, tubuhnya seperti dihempaskan ke dasar bumi, menyaksikan betapa rapuhnya wanita itu.
Genggaman pada gagang payung kian erat, seiring dengan rasa panas yang tiba-tiba merambati sepasang maniknya. Dengan langkah pelan, lelaki itu mendekat.
Inginnya, ia segera merengkuh tubuh yang kini bergetar karena kedinginan dan tangis. Tetapi hal itu urung dilakukan, karena bisa saja ia mendapat tamparan mengingat perlakuannya dulu pada wanita itu.
Dan yang lelaki itu bisa lakukan kini adalah memayungi tubuh Jenita. Membiarkan tubuhnya sendiri yang terkena air hujan.
Jenita yang setengah sadar, membuka mata perlahan, ketika merasakan tubuhnya terlindungi dari hujan. Sementara hujan belum jua berhenti. Mendongak, wanita itu mendapati payung hitam yang melindungi dirinya.
Jenita lantas berdiri dan membalikkan tubuh. Dan seketika manik sembabnya membeliak, mendapati sosok di hadapannya.
Elang Bimantara.
Bersambung.