Bab 6.

1503 Words
"Baiklah, lupakan pertanyaan Eyang tadi." Wigati mengibaskan tangan. "Sekarang, apa tujuanmu pulang ke Indonesia, setelah sekian lama bersembunyi?" Wigati menatap lurus pada manik Jenita. Kali ini senyum misterius dari bibir Wigati lenyap, berganti wajah dingin sarat penekanan. "Warisan? Kamu menginginkan itu, Jenita?" tuduhnya.Netra Jenita melebar sempurna mendapat pertanyaan sedemikian rupa dari sang nenek. Demi Tuhan! Jika bukan karena Tian yang membujuknya untuk pulang. Dan sebagian sisi kemanusiaannya yang mendorongnya untuk pulang menemui sang papa yang tengah terbaring sakit, Jenita tidak akan pernah menginjakkan kakinya lagi di tanah kelahirannya. Ia lebih memilih tinggal di negeri orang. Bekerja dari pagi hingga malam untuk menyambung hidup. Tak pernah sedikit pun terlintas di pikirannya, ia menginginkan harta keluarga Hirawan. Sementara Tian yang duduk di sisi Jenita, hanya mampu mengembuskan napas lelah melihat drama keluarga Hirawan di mana Jenita sebagai pemeran protagonis. Lelaki itu menatap datar pada Wigati yang dianggapnya sudah terlalu jauh bertindak. Tuduhan yang di lemparkan pada Jenita, sesungguhnya membuat Tian ingin terbahak. Menertawai asumsi pendek dari orang sekaliber Nyonya Wigati. Yang seharusnya mampu bertindak sesuai nalar dan bukti konkret seperti selama ini wanita baya itu terapkan. Jenita semakin menegakkan tubuh, mengepalkan jari jemarinya yang sudah memanas ingin memukul siapa pun yang melempar tuduhan keji tersebut. Dagunya ia angkat tinggi-tinggi, wajahnya mengeras dengan sorot dingin tak gentar menatap balik sang nenek. "Tidak sepeser pun saya menginginkan kekayaan Papa,” tegas Jenita menjawab tuduhan tak beralasan dari sang nenek. "Oh, bagus kalau begitu." Tante Yeli kembali bersuara. "Bahkan, jika saya harus dicoret dari keturunan Hirawan pun, saya dengan senang hati akan menerimanya," tukas Jenita dengan tenang. Pernyataannya berhasil membuat netra semua penghuni ruangan tersebut membeliak. Tidak menyangka dengan perlawanan yang digaungkan Jenita. "Dasar anak tidak tahu diri!" Kali ini giliran Tante Yana yang mengumpat. "Rupanya kamu sudah belajar banyak selama bersembunyi." Wigati tersenyum kecil. "Saya tidak pernah bersembunyi," sangkal Jenita. "Saya hanya melakukan apa yang seharusnya seseorang lakukan ... ketika keluarganya terus menerus menyakitinya." Tawa dari kedua tantenya membahana di ruangan tersebut. Begitu pun anak dan suami mereka yang turut tertawa namun dengan suara lebih rendah.  Sementara Diana berkali-kali meremas tangan Elang. Dulu sekali, ia memang sempat menyaksikan bagaimana Jenita diacuhkan oleh keluarga besar Ayah mereka. Ia pikir, dengan berjalannya waktu semua sikap acuh keluarga besar Hirawan dapat melunak. Sungguh, ia juga tak habis pikir dengan tuduhan Eyang mereka yang menurutnya tanpa bukti. Lagi pula, jika memang benar Jenita menginginkan kekayaan dari papa mereka, itu adalah hal wajar. Mengingat Jenita juga putri dari Saiful Hirawan. Bagian dari keluarga Hirawan. "Kamu lucu, Jenita." Tante Yeli menyeka kedua sudut matanya yang berair. "Kamu pikir, siapa kamu bisa berkata seperti itu." "Yeli, cukup!" Lagi-lagi Wigati menginterupsi ucapan puterinya. "Kenapa sih, Ma?" protes wanita berambut pirang itu. "Biarkan saja, Jenita tahu yang sebenarnya." Wigati menatap tajam Yeli yang dianggapnya sudah lancang. "Apa yang sudah kalian sembunyikan dari saya?" tanya Jenita, memandang Wigati dan Yeli secara bergantian. Wigati tersenyum sedikit lebar. "Tidak ada yang kami sembunyikan, Jenita," sanggahnya. "Jadi ... apakah benar kamu tidak menginginkan kekayaan papamu sepeser pun?" "Ambil saja, saya tidak butuh." "Saya juga tidak butuh harta anak saya, Jenita. Tetapi ...." Wigati melirik Diana sekilas. "Ada Diana dan anak-anaknya yang membutuhkan harta tersebut. Seluruhnya," kata-katanya ditutup dengan senyum penuh arti. Kata-kata Wigati kembali menggoreskan luka yang belum sepenuhnya sembuh. Sejujurnya, Jenita tidak terlalu memusingkan sikap keluarga besar Hirawan yang mengacuhkannya. Ia pergi selama belasan tahun karena kehilangan cinta sang papa, juga kehilangan cinta pertamanya. Tetapi kali ini, Jenita tidak bisa mengabaikan sayatan yang diberikan sang nenek. Dengan keputusannya yang memberikan harta sang papa, pada Diana (si anak haram ; baginya), itu adalah bukti nyata jika Jenita tak pernah diinginkan oleh keluarga Hirawan. "Maaf Nyonya, jika saya lancang." Tian yang tidak tega melihat Jenita yang sudah hampir menumpahkan tangis, akhirnya bersuara. "Menurut saya hal ini kurang tepat dibicarakan sekarang, mengingat Pak Saiful masih terbaring sakit," katanya sopan. "Saya tidak membutuhkan pendapatmu, Bung Sebastian," tegas Wigati terkesan sinis. "Apa pun yang akan menjadi keputusan Saiful tentu saja harus seizin saya, orang tuanya. Dan ... tentu saja untuk kali ini saya yakin, Saiful akan mendukung apa pun keputusan saya. Karena dia tentu tidak ingin mengulangi kebodohannya untuk kedua kali." "Tapi ...."  "Cukup!" Jenita menyela. Ia sudah ingin meninggalkan rumah ini. Kepalanya sudah pening. "Serahkan berkas penyerahan harta itu pada saya secepatnya agar saya bisa segera menandatanganinya." Wanita itu lantas berdiri. "Saya permisi." Jenita bergerak pelan meninggalkan ruang keluarga tersebut tanpa menunggu jawaban dari sang nenek maupun lainnya. Sebastian juga lantas berdiri mengikuti Jenita, setelah berpamitan. . . Jenita masih terdiam sejak setengah jam yang lalu di sisi Tian yang mengemudikan mobilnya dengan gusar. Lelaki itu berkali-kali menoleh pada Jenita untuk memastikan keadaan wanita tersebut.  Kali ini tidak ada yang bisa Tian lakukan untuk membantu Jenita. Semua keputusan Wigati adalah hal mutlak.  "Jenita."  Jenita masih juga belum merespons. Tatapannya begitu kosong menatap keluar kaca mobil yang sedikit buram tersiram air hujan. Tian membuang napas pelan. Ia mendekatkan tubuhnya pada Jenita. "Jenita, kita sudah sampai." Tangannya kembali terulur menyentuh bahu Jenita.  Mereka kini telah sampai di gedung apartemen yang selama ini menjadi tempat tinggal Tian. Jenita akhirnya menoleh dan seketika Tian merasa hatinya tertusuk sembilu tak kasat mata menyaksikan manik Jenita memerah, diselimuti mendung yang siap menumpahkan hujan tangis. "Apa yang Abang ketahui tetapi saya tidak tahu?" tanya Jenita dengan suara bergetar. Sedari tadi, selama perjalanan dari kediaman sang nenek, berbagai praduga melintas di pikiran Jenita. Tentang sikap keluarga besarnya dari sang papa. Terutama Eyang Wigati dan kedua tantenya. Entah kenyataan apa yang mereka sembunyikan darinya. Melihat dari sikap mereka, tentu saja bukan kenyataan baik yang mereka sembunyikan.  Dan kali ini ia berharap lelaki di sampingnya yang menatapnya dengan teduh, mampu menyingkap sebuah kenyataan yang selama ini menjadi pertanyaan di benak Jenita. Tian menunduk sejenak lalu melepaskan tangan kanannya dari bahu Jenita. Netranya menatap wanita itu dengan penuh keprihatinan. Tetapi adalah hal yang sulit menjawab pertanyaan Jenita dengan jujur. Sehingga Tian memilih untuk terdiam beberapa saat, memikirkan jawaban yang sekiranya tepat bagi Jenita. "Bang Tian, tolong jawab pertanyaan saya!" desak Jenita. Kali ini jemari lentiknya menyentuh paha bagian depan Tian. Menggoyangkannya cukup kencang. "Maaf ...."  Dan harapan Jenita pupus sudah. Tian tidak akan memberikan jawaban yang diinginkannya. Wanita itu melengos. Memilih memfokuskan panahan maniknya pada jajaran mobil di sebuah basemen. Dan Jenita baru tersadar jika Tian tidak membawanya ke rumah sakit. Ia lantas kembali menoleh pada Tian dengan penuh tanda tanya. "Kita di mana?" "Mulai malam ini, kamu bisa tidur di apartemen." "Tapi, barang-barang saya masih di hotel dan sebagian juga masih di rumah sakit." "Nanti biar Pak Rohim yang mengurusnya." Tian menyebut sopir pribadi Saiful. "Sekarang lebih baik kita turun, atau nanti kita bisa didatangi security karena dicurigai melakukan hal-hal tak senonoh." Manik Jenita melebar. Secara spontan ia menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memastikan keadaan sekitar yang memang benar-benar sepi. Dan ia membenarkan perkataan Tian. Jika terlalu lama di dalam mobil, mereka bisa dianggap sedang melakukan hal-hal tak senonoh. Akhirnya, dengan gerakan kilat, Jenita membuka pintu dan keluar dari Pajero hitam tersebut. Tian menahan senyumnya karena berhasil mengerjai Jenita. Bersyukur, ia tidak perlu bersusah payah mencari jawaban untuk pertanyaan Jenita tadi. Karena memang bukan kapasitasnya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ya, sedikit banyak Tian mengetahui alasan di balik sikap Nyonya Wigati sekeluarga sedemikian ... bisa dibilang tidak adil pada Jenita. Tetapi yang bisa Tian lakukan sekarang hanya diam sembari menunggu atasannya terbangun dari koma. Karena, satu-satunya orang yang berhak menyingkap rahasia besar tersebut adalah Saiful Hirawan. . . Begitu memasuki unit, Jenita di sambut dengan desain interior minimalis yang menurutnya begitu pas. Tidak terlalu sumpek karena penataan barang-barangnya yang tepat dan hanya diisi dengan barang yang diperlukan.  "Saya tinggal di unit sebelah," beritahu Tian. Jenita hanya bergumam lirih. Ia terlalu antusias mengelilingi setiap sudut apartemen yang diperuntukkan bagi dirinya itu. Langkahnya terayun pelan dari tuang tamu, dapur yang menyatu dengan ruang makan. Dan akhirnya memasuki kamar. Mengabaikan Tian yang masih membuntutinya. "Abang boleh pergi sekarang," usir Jenita tanpa menatap Tian yang berdiri beberapa langkah darinya. "Sebentar, saya tunggu sampai Pak Rohim mengantarkan pakaianmu." "Tidak perlu. Biar saya menunggu sendiri," tolak Jenita. Ia masih sebal karena Tian tidak mau menjawab pertanyaannya. Tian menghela napas lalu membuangnya pelan. Mendengar nada bicara Jenita yang ketus, Tian paham jika wanita itu sedang kesal padanya.  "Kenapa Abang masih di sini?" Jenita berbalik, menatap sebal pada Tian. "Saya mau mandi dan istirahat." "Baju ganti kamu ...." "Abang tidak perlu repot memikirkan keperluan saya. Mau saya pakai baju ini lagi, atau bahkan tidak berpakaian juga itu bukan urusan Abang. Sudah sana Abang pergi!” "Jenita ...." "Apa?" "Kamu tahu, ucapanmu bisa memicu sisi liar laki-laki normal bangkit, dan itu berbahaya untuk kamu." Tian mengepalkan tangannya, menahan hawa panas yang tiba-tiba merambati tubuhnya hanya karena mendengar kata tidak berpakaian terucap dari bibir ... ah, Tian enggan mengakuinya. Namun, bibir Jenita memang benar-benar menggoda. Sedikit tebal dengan ukuran mungil.  "Tidak ada orang lain di sini," kata Jenita enteng. "Saya laki-laki normal Jenita," ucap Tian frustrasi. Dan Jenita hanya bisa ternganga, tidak menyangka ucapannya berefek besar pada sisi kelaki-lakian Tian.   Bersambung                            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD