Bau Bebek di Pagi Hari

1260 Words
Creeeek … Pintu kamar Usrox berderit saat didorong angin pagi. Bau semerbak— antara lumpur, pakan basi, dan sesuatu yang susah dijelaskan— langsung menyerbu ke dalam kamar. Usrox menggeliat di tempat tidur, selimutnya ditarik sampai ke atas kepala. "Ya Allah, ini bau apa lagi," gumamnya setengah sadar. Dari bawah, terdengar suara emak. "Usroooox! Bangun, Nak! Itu bebek-bebek udah kayak demo! Mau sarapan!" Usrox mendesah keras. "Demo? Kayak buruh pabrik aja, Mak," keluhnya pelan. Dia menendang selimut, matanya masih separuh merem. Dengan langkah gontai, dia menuju jendela dan membuka sedikit tirai. Di luar, pemandangan klasik, barisan bebek berbaris rapi, berkotek-kotek heboh, seolah-olah protes minta makan. "Hari Minggu harusnya buat libur, bukan buat ngurusin bebek," gerutunya sambil mengambil seragam SMP-nya yang tergantung di belakang pintu. Biarpun Minggu, Usrox memang kadang tetap pakai seragam alasannya simpel, "Biar berasa keren kayak mau upacara." Belum sempat dia mandi, terdengar ketukan pintu. "Assalamualaikum, Usrox! Bebeknya lapar tuh!" Suara itu milik Paijo, sahabat sekaligus asisten tak resmi di peternakan. "Waalaikumsalam, sabar, Jo! Ini masih manusia setengah sadar!" teriak Usrox dari dalam kamar. Tanpa aba-aba, pintu dibuka. Paijo masuk dengan ekspresi dramatis, menutup hidungnya pakai baju. "Srox, kamar mu— baunya kayak kandang! Apa jangan-jangan kamu tidur sama bebek, ya?" goda Paijo sambil cekikikan. Usrox melempar bantal ke arah Paijo. "Mulutmu yang bau, Jo! Sini cium bebek, rasain bedanya!" Mereka berdua tertawa ngakak. Suasana rumah, meski sederhana, penuh tawa. "Udah, ayo cepet. Kalau bebek makin ngamuk, bisa-bisa nanti mereka bikin demo besar-besaran. Kita yang dikejar-kejar, Srox!" kata Paijo serius, tapi mukanya susah dibilang serius karena sambil nyengir lebar. Dengan malas-malasan, Usrox akhirnya bergerak. Dia mengucek mata sambil mengambil topi bolong-bolong kesayangannya. "Kamu bawa makanan bebeknya?" tanya Usrox. "Bawa lah! Ini," Paijo mengangkat ember kecil berisi pakan. Tapi baru dua langkah, dia terpeleset kulit pisang yang entah dari mana munculnya. Byuuurr! Pakan berhamburan. Paijo terduduk di lantai, pakan nempel di baju. Usrox ngakak setengah mati sambil menunjuk Paijo. "Wuih, Jo, sekarang kamu resmi jadi pakan hidup!" Paijo bangkit sambil berusaha menjaga harga dirinya. "Biarin. Yang penting aku tetap ganteng," katanya, mengibaskan sisa pakan dari pundaknya. Mereka pun akhirnya jalan bareng ke kandang, berdebat soal siapa yang lebih ganteng— padahal sama-sama belum mandi. Begitu sampai di kandang, Usrox langsung pegang hidung. "Jo, kayaknya kandang ini butuh parfum spesial, deh." Paijo manggut-manggut sok serius. "Ide bagus, Srox. Parfum rasa lumpur campur dedak." Mereka berdua cekikikan, sambil mulai menyebar pakan ke tanah becek di depan kandang. Bebek-bebek langsung berebut, sibuk menyosor kanan-kiri kayak lagi lomba makan kerupuk. "Eh, Jo, liat tuh," kata Usrox, menunjuk seekor bebek berbadan gede yang jalannya kayak robot rusak. Paijo ngeliat, lalu nyeletuk. "Astaga, itu bebek apa transformer?" Mereka ketawa sampai hampir jatuh. Si bebek tampak cuek, tetap jalan gagah meski kaki kanan kirinya entah kenapa bunyinya krek krek kayak pintu karatan. Usrox mengambil ember air, mulai bersih-bersih kandang. Paijo bantu-bantu seadanya, lebih banyak gaya daripada kerja. "Jo, kamu kalo kerja jangan gaya doang. Liat nih, bebek aja kerja keras tiap hari," kata Usrox sambil menyikat lantai kandang. Paijo manyun. "Iya iya, tapi kan bebek ga perlu mikir PR Matematika. Kita? Tiap hari disuruh ngitung rumus aneh-aneh." Usrox ngakak. "Kamu pikir jadi bebek enak? Kerja dari pagi sampe sore, makan itu-itu doang, mandi lumpur gratis!" Paijo berhenti sebentar, ngelirik bebek-bebek yang sibuk ngemil. "Ya juga sih," katanya, "tapi kalo aku jadi bebek, minimal mau minta tunjangan cemilan." Mereka ketawa lagi. Hari ini, meski matahari mulai terasa panas dan lumpur nempel di celana, hati mereka tetap ringan. Usrox menepuk bahu Paijo. "Jo, kamu sadar nggak, hidup kita ini aneh." Paijo melotot sambil bercanda. "Baru sadar sekarang? Kita tiap hari main lumpur, Sro! Kalo hidup kita normal, justru itu yang aneh." Usrox tersenyum. "Ya, tapi, seru juga ya? Walaupun bau bebek udah nempel kayak parfum mahal." Paijo mengangguk mantap. "Betul. Bau bebek, tawa bocah, dan mimpi gede. Paket komplit!" Mereka menatap kandang yang ramai dengan bebek-bebek berisik, sambil diam-diam memendam mimpi besar di hati kecil mereka— suatu hari nanti, mereka bakal sukses. Bukan cuma di kandang, tapi di dunia luas di luar sana. Belum sempat ember pakan habis disebar, tiba-tiba suara gaduh makin kenceng dari tengah kandang. "Kwek-kwek-kweeek!" "Cak-cak-cak!" "Kweeeek!" Paijo melongok ke arah sumber keributan. "Eh, Srox! Itu— kenapa tuh?!" Usrox ikut nengok. Di tengah kandang, dua ekor bebek, satu gemuk satu kurus, lagi adu mulut— eh, adu paruh— berebut setumpuk pakan. "Astaga," kata Usrox, "ini kayak acara smackdown versi unggas." Bebek gemuk yang dari tadi duduk manis, tiba-tiba geram. Dia nyosor si bebek kurus, nyamber setumpuk pakan, dan— plak!— nempel di kepala si kurus. Paijo terbelalak. "Srox, itu bebek main seruduk!" "Kwek kwek kwek!" Bebek kurus balas nyosor sambil ngeluarin suara yang— kalau diterjemahkan— mungkin artinya, "Eh, makanan gua, woi!" Usrox buru-buru nyamperin sambil bawa ember air kecil. "Damai! Damai! Ini makanan banyak! Jangan rebutan kayak rebutan mic di karaokean!" teriaknya. Tapi bukannya berhenti, bebek-bebek lain malah ikut-ikutan. Satu bebek tiba-tiba loncat ke tumpukan pakan, bebek lain ngejar. Yang lain malah sibuk ngacir bawa remah-remah di paruh mereka, kayak maling ketahuan. Paijo panik, langsung ngambil daun pisang, di kipas-kipaskan kayak wasit bola. "Ayo-ayo, tenang-tenang! Jangan berantem! Kita keluarga besar! Keluarga besar bebek nasional!" Usrox ngakak sampai hampir jatuh ke lumpur. "Jo, itu bukan nenangin, malah bikin tambah rusuh!" Akhirnya, Usrox ambil inisiatif, dia tuang pakan ke beberapa tempat, supaya bebek-bebek gak rebutan di satu titik. Sedikit demi sedikit, keadaan mulai terkendali. Bebek-bebek kembali makan, walaupun beberapa masih saling lirik-lirikan curiga, kayak siap rematch kapan aja. Paijo duduk di pinggir kandang, napas ngos-ngosan. "Capek, Srox— kayak abis jagain anak balita rebutan permen." Usrox ketawa sambil nyebar pakan terakhir. "Hidup itu kayak kandang bebek, Jo. Kalau rebutan terus, ya isinya berantem doang. Mending makan bareng, kenyang bareng." Paijo manggut-manggut, sok bijak. "Iya, bener. Tapi tetep aja bebek kurus itu dendam banget kayaknya." Mereka berdua memandangi si bebek kurus yang masih manyun sambil makan, kayak habis kalah taruhan. Setelah heboh dengan drama rebutan pakan, suasana kandang akhirnya kembali damai. Bebek-bebek sibuk mengunyah, bebek gemuk dan kurus pun akhirnya duduk bersebelahan, walaupun sambil sesekali saling senggol pakai sayap. Paijo bersandar di pagar kandang, nafasnya panjang. "Rox, kita ini jagoan, tau. Ngurusin seratus ekor bebek berantem, tetep selamat tanpa cedera." Usrox mengangguk bangga. "Ya iyalah. Kalau ada olimpiade mendamaikan bebek, kita udah dapet emas." Mereka berdua tertawa kecil. Di atas langit, awan bergerak pelan. Suara jangkrik mulai terdengar dari semak-semak. Matahari makin naik, panas makin terasa. Dari kejauhan, terlihat emak Usrox jalan cepat ke arah kandang. Mukanya agak tegang. Tangannya bawa plastik kresek dari pasar. Usrox berdiri tegak. "Eh, itu Mak. Tumben mukanya serius." Paijo juga ikut berdiri, menegakkan badan, seolah-olah mereka habis upacara bendera. Sampai di depan kandang, emak langsung ngomong, tanpa basa-basi, "Srox, Jo, cepetan cuci tangan, ganti baju. Kalian harus ke rumah. Ada kabar soal pasar." Usrox dan Paijo saling pandang. Perasaan mereka langsung nggak enak. Biasanya kalau emak pakai nada kayak gitu, berarti ada yang serius dan biasanya, bukan kabar enak. Usrox menggaruk kepala yang nggak gatal. "Kabar apaan, Mak?" Emak hanya menghela napas, matanya sedikit khawatir. "Nanti aja di rumah. Cepetan!" Tanpa banyak tanya lagi, Usrox dan Paijo berlari kecil ke rumah. Bau bebek masih nempel di baju mereka, tapi kali ini, hati mereka lebih sibuk mikirin— Ada apa di pasar? Kenapa ekspresi emak kayak abis liat harga cabe naik sepuluh kali lipat? Hari itu, pagi yang dimulai dengan bau bebek dan tawa, perlahan berubah jadi pagi yang penuh tanda tanya. Mereka nggak tahu— kabar dari pasar itu bakal mengubah banyak hal dalam hidup mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD