Di dalam rumah, Usrox dan Paijo duduk bersila di ruang tamu. Wajah mereka serius— walaupun celana mereka masih belepotan lumpur bebek.
Emak duduk di depan mereka sambil membuka kantong kresek, tapi isinya bukan oleh-oleh, bukan camilan pasar, apalagi mainan. Cuma beberapa ikat sayur dan satu kantong telur yang masih utuh.
Usrox langsung merasa aneh. "Mak, tumben cuma bawa dikit?" tanyanya pelan.
Emak diam sejenak. Lalu, dengan nafas panjang, dia mulai cerita. "Tadi di pasar— telur bebek udah gak laku, Nak. Harganya jatuh. Orang-orang lebih milih beli telur ayam, katanya lebih murah. Pelanggan kita satu per satu mundur."
Usrox mengerutkan kening. "Terus gimana, Mak?"
Emak menggeleng pelan. Suaranya mulai lirih. "Modal makin tipis. Kalau terus begini peternakan bisa tutup."
Hening. Bahkan kipas angin yang biasa bunyi ngiiiing mendadak terasa sunyi.
Paijo menelan ludah. "Terus, kita gimana, Mak? Maksud ku sekolahnya Usrox, pekerjaanku?"
Emak menatap mereka dengan mata penuh sayang, tapi juga cemas. "Kalian tahu sendiri, semua sudah kita usahakan. Tapi kadang hidup ini keras, Jo. Gak semua yang kita pelihara bisa bertahan."
Usrox menunduk. Hatinya nyesek, kayak ditusuk garpu plastik di warteg.
Peternakan itu bukan cuma tempat kerja. Itu tempat dia tumbuh, tempat pertama dia belajar tanggung jawab, tempat di mana semua tawa dan bau amis bercampur jadi kenangan. Dan sekarang— bisa-bisa semua itu hilang.
Usrox mengangkat wajah. "Tapi kita nggak boleh nyerah, Mak. Harus ada jalan."
Emak tersenyum kecil, walau matanya tetap sembab. "Mak percaya. Tapi sekarang, kita harus lebih hemat. Dan kalian— jangan terlalu mikirin ini. Fokus sekolah, ya?"
Usrox mengangguk, walau di dalam hati, dia tahu— dia gak mungkin bisa diam.
Paijo bangkit, matanya berbinar sedikit.
"Srox, gimana kalau kita cari ide? Bikin sesuatu yang bisa bantu peternakan?"
Usrox menoleh. "Maksudnya, kamu mau jadi influencer telur bebek? Bikin TokTok bebek joget?"
Mereka berdua saling pandang, lalu ketawa.
Emak cuma geleng-geleng, meskipun senyumnya kembali muncul. "Mau kalian ngapain juga, asal jangan ngutang di warung tetangga, ya."
***
Sore harinya, Usrox dan Paijo duduk di pinggir kandang. Di depan mereka, seekor bebek lewat sambil ngesot— entah kenapa, tapi kayaknya dia lagi males jalan.
Paijo nyeletuk sambil lempar dedak. "Srox, aku udah mikir keras sampe otak serasa dipanggang. Tapi masih belum dapat solusi."
Usrox menggeliat, lalu mengambil batu kecil dan mulai corat-coret tanah. "Kamu pernah mikir gak, Jo. Kita ini punya stok telur bebek segunung, tapi malah bingung mau diapain."
Paijo langsung angkat tangan. "Jangan bilang kamu mau bikin kastil dari telur ya."
Usrox ketawa kecil. "Nggak lah. Tapi, gimana kalo kita olah? Maksudnya, telur ini jangan cuma dijual mentah. Kita ubah jadi produk yang beda."
Paijo mikir, sambil mengunyah kerupuk yang ditemukan entah dari mana. "Telur dadar raksasa?"
"Jo, serius dikit," kata Usrox sambil nyengir. "Kayak telur asin, misalnya. Tapi kita kasih kemasan lucu. Branding-nya beda."
Paijo mengangguk, pelan-pelan mulai nyambung. "Iya ya. Orang zaman sekarang suka yang unik-unik. Kita kasih nama— hmmm, 'Telur Bebek Galau'.”
Usrox ngakak. "Kenapa galau?"
"Karena rasanya bisa bikin baper."
Keduanya ketawa sampai lupa sedih. Tapi di balik tawa itu, ada secercah harapan yang mulai muncul.
Usrox bangkit, matanya berbinar. "Besok, kita mulai eksperimen. Kita coba bikin versi telur asin. Kalo berhasil, kita bungkus pake kertas kado sisa lebaran, terus kita pasarkan keliling sekolah."
Paijo berdiri juga. "Siap, bos. Aku bagian nyicipin. Demi cita-cita, demi bebek, dan demi— mie ayam di kantin."
***
Malam ini, setelah segala rencana dan obrolan seru, Usrox berbaring di ranjangnya. Suara kodok dan jangkrik di luar rumah kadang terdengar, tapi matanya tetap terbuka, memandangi langit-langit yang tampak hitam pekat.
Malam terasa lebih panjang dari biasanya.
"Telur asin, telur asin." pikirnya, sambil memutar ide yang sudah dicanangkan sepanjang sore.
Dia ingin percaya, ingin yakin bahwa usahanya kali ini bisa menyelamatkan peternakan dan memberikan jalan keluar bagi orang tuanya. Tapi ada satu pertanyaan yang terus berputar di kepalanya–
Apakah ini cukup?
"Telur asin, siapa yang bakal beli? Terlalu sederhana, apa nggak terlalu aneh?" pikirnya, mencubit pelipis. "Apa orang bakal tertarik sama ide gila ku?"
Kamar itu terasa sunyi, hanya ada suara napas Usrox yang berirama pelan.
Dia membayangkan wajah emak dan bapaknya, yang sudah kelelahan setelah berhari-hari memikirkan cara bertahan. Sementara dia, cuma anak SMP, dengan ide seadanya.
Paijo, temannya, yang selalu semangat dan tampak nggak pernah ragu, bisa saja lebih mudah berpikir positif. Tapi Usrox— dia merasa terjebak dalam ketidakpastian.
Bagaimana jika gagal?
Di luar, lampu teras dari rumah tetangga masih menyala. Usrox menutup mata sejenak.
Tapi kalau dia menyerah begitu saja, apa yang akan terjadi pada mimpi orang tuanya? Pada mimpi mereka berdua?
Usrox menggenggam bantal, menarik napas dalam-dalam. "Ya, aku harus coba. Walaupun takut, aku harus coba."
Di luar jendela, bulan perlahan bergerak naik ke langit, terang di antara awan tipis.
Malam ini, Usrox tidur dengan perasaan campur aduk. Mimpi-mimpi tentang telur asin, peternakan, dan kegagalan— tapi juga tentang keberhasilan, tentang mimpi besar yang masih bisa digapai.
Pagi esok, rencananya akan dimulai. Mungkin dengan langkah kecil, mungkin juga dengan ragu, tapi yang penting adalah mereka memulai.
Dan untuk pertama kalinya, Usrox merasa bahwa mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk memperjuangkan apa yang dia yakini.