Ryu dan Eve akhirnya memilih untuk meninggalkan pesta, Eve melihat kamar barunya yang terhias dengan begitu indah. Aroma mawar semerbak mengharumkan ruangan, Eve memilih duduk di depan meja rias. Ia melepaskan beberapa aksesoris yang melekat di kepalanya, sebelum Eve melakukannya Ryu sudah terlebih dahulu menarik tangan istrinya itu.
"Biar aku saja," kata Ryu dengan ekspresi datarnya.
"Lebih baik kauganti dulu pakaianmu, aku bisa melakukannya sendiri," jawab Eve dan Ryu hanya melepaskan tangan Eve begitu saja.
Eve kembali melakukan aktivitasnya yang tertunda, memakai beberapa aksesoris di kepalanya benar-benar membuatnya sakit kepala. Terlebih lagi ia memikirkan sesuatu yang seharusnya ia tidak dipikirkan.
"Semua akan baik-baik saja," gumam Eve.
Ia kembali teringat apa yang diceritakan Xavier padanya, bagaimana Xavier mengetahui tentang hidupnya masihlah sebuah misteri.
"Kau adalah wanita yang baik, sayangnya kebaikanmu membuatmu tidak bahagia. Kau mengorbankan nyawamu demi mereka, demi mereka kembali melangsungkan kehidupan mereka setelah kau tiada."
"Apa kau pikir dengan dirimu yang mati setelah mengorbankan diri, mereka akan terus menangisimu? Tidak, Eve. Mereka melanjutkan hidup mereka dan berbahagia. Sedangkan dirimu? Kau hanya akan menjadi sebuah bangkai di dalam tanah."
"Sejak kecil kau tidak pernah bahagia, bagaimana Ayahmu yang selalu menyiksamu. Pria yang kau cinta ternyata mencintai kembaranmu. Dan saat kau mencintai orang lain, kau justru diharuskan mati. Saat kau mati, pria yang kau cintai hidup berbahagia bersama wanita lain beserta dengan Putrimu. Apa hidupmu sudah bahagia?"
"Aku akan baik-baik saja, semua akan baik-baik saja." Eve mencengkeram hiasan kepala yang begitu tajam di tangannya.
"Mengapa kau harus menderita?"
"Aku baik-baik saja, aku akan baik-baik saja."
"EVE!"
Bentakan Ryu membuat Eve kembali tersadar, entah apa yang terjadi Eve tidak mengerti. Darah mengalir dari pergelangan tangan kanan dan telapak tangan kirinya. Eve melepaskan hiasan rambut dari tangannya. Dengan cepat Ryu membalut tangan Eve dengan merobek yukata Eve. Eve masih tidak mengerti apa yang terjadi padanya, tubuhnya gemetar melihat darah yang membanjiri kedua tangannya.
"R-ryu."
Ryu tidak menjawab, ia terlalu panik dengan keadaan Eve. Setelah memastikan pendarahan di tangan Eve berhenti, Ryu langsung saja memeluk Eve.
"Ryu, apa aku melukaimu?" tanya Eve yang kini lebih khawatir dengan keadaan Ryu yang sebenarnya dirinya saja yang terluka.
"Semua akan baik-baik saja," jawab Ryu menenangkan.
Andai saja ia tidak meninggalkan Eve, hal seperti ini tidak akan terjadi. Sebelumnya Eve tidak pernah kambuh seperti sekarang, tetapi setelah melihat keluarganya, mengapa Eve kembali kambuh dengan penyakitnya itu?
Ryu mengangkat tubuh Eve dan merebahkan wanita itu di atas ranjang, semua hiasan di rambutnya telah ia lepaskan tanpa sepengetahuan Eve. Dan pakaian Eve yang masih dengan pakaian pengantin membuatnya merasa ingin menggantikannya.
Ryu bangkit lalu mengambil pakaian tidur di dalam almari miliknya, pria datar itu meletakkannya di samping Eve lalu mengambil ponsel miliknya. Mengetik beberapa angka dan Ryu langsung mendial nomor tersebut.
"Ada apa? Apa kau lupa cara b******a sampai meneleponku?" tanya suara seseorang di seberang sana.
"Periksa Eve," jawab Ryu datar.
"Apa? memangnya ada apa dengannya? Apa selaput daranya kembali seperti semula?" Ryu berdecak kesal dan kembali menjawab.
"Aku memanggilmu untuk periksa keadaan Eve sekarang atau kau lebih suka dipanggil oleh Tuhan?" jawab Ryu yang sudah kesal setengah mati.
"Astaga, Ryu. Kau menyumpahiku untuk mati? Baiklah aku akan datang secepatnya dan sekarang aku sudah berada di luar kamarmu," jawab pria itu sambil terkekeh.
Ryu dengan cepat membuka pintu kamarnya dan menatap tajam pria bertopi fedora yang kini menatapnya dengan senyuman puas. Eve hanya tertawa kecil melihat tingkah panik Ryu yang baru saja ia lihat.
"Akhirnya kau bisa banyak bicara," kekeh Nero sambil melangkah masuk dan menatap keadaan Eve.
"Aku sudah menduganya, penyakit itu akan kambuh setelah melihat keluarganya. Bukankah keluargamu sudah terlihat sangat bahagia, Eve?" tanya Nero dan membuat Eve hanya tersenyum getir.
"Percuma saja, aku tidak dapat mengingatnya, tetapi kau benar, mereka terlihat bahagia." jawaban Eve membuat Nero menyeringai.
"Self injury tipe streotypic. Ryu, kau harus tetap bersama Eve," ujar Nero sambil memberikan obat melalui suntikan di lengan Eve.
"Eve bisa mati kapanpun, karena sudah pasti tingkat depresinya akan meningkat. Dan itu semua akan menyebabkannya untuk bunuh diri, dan yang lebih menyebalkannnya Eve tidak sadar akan hal itu. Meskipun aku tidak pernah melihat seseorang yang mengidap self injury menjadi skizofrenia, tetapi ada kemungkinan Eve mengalami gangguan itu. Ia bisa saja melukai dirinya sendiri atau melukai orang lain, karena ia tidak bisa membedakan mana halusinasi dan mana kenyataan," terang Nero panjang lebar kali tinggi tubuhnya.
"Mengapa kalian tidak menyembunyikanku saja sejak awal?" pertanyaan Eve membuat Nero menatap Ryu tajam.
"Kau benar, Eve. Mengapa Ryu justru memilih untuk memberitahumu pada orang-orang," timpal Nero dan Ryu hanya diam dengan wajah datarnya.
"Jadi, bukan kau yang merencanakan semua ini?" tanya Eve dan Nero menggelengkan kepalanya.
"Kau itu adalah boneka Xavier, ialah yang membuatmu melakukan semua hal yang ia inginkan tanpa kausadari, tetapi semua rencana itu adalah milik Ryu, hanya ia yang mengetahui semua alasan di balik wajahnya yang datar, sedatar dinding mansionmu." Jawaban Nero justru membuat Eve tertawa.
"Jadi, apa alasanmu, Ryu?" tanya Eve sambil mencoba duduk.
"Cinta," jawab Ryu singkat dengan polosnya.
"Ahh, aku mengerti. Sebaiknya aku pergi, ini sudah malam. Dan aku sudah memberikan obat penenang sekaligus obat perangsang, jadi bersenang-senanglah malam ini," jawab Nero sambil bangkit berdiri dan meninggalkan Ryu dan Eve yang kini merah padam di wajahnya.
"Aku akan menghapus make up-ku dulu." Eve mencoba turun dari ranjang, tetapi dicegah oleh Ryu terlebih dahulu.
"Duduk saja," ujar Ryu sambil pergi ke dalam kamar mandi.
Eve hanya bisa menurut, ia sudah jauh lebih tenang saat ini. Ia benar-benar mengutuk siapa pun yang membuatnya seperti ini, Nero sudah menjelaskan tentang dirinya yang mengidap self injury setelah ia sadar empat tahun lalu. Meskipun ketiga pria itu sangat menjengkelkan bagi Eve, ia tetap berterima kasih karena telah diselamatkan.
Ctak
"Aw!" Lagi-lagi Ryu mendapatinya sedang melamun.
"Jangan banyak berpikir," ujar Ryu sambil menggelap sedikit demi sedikit wajah Eve dengan handuk yang basah karena air hangat.
Eve tidak menjawab, ia lebih terfokus pada wajah Ryu yang sangat serius hanya untuk membersihkan wajahnya. Apa Ryu selalu memanjakan para mantan istrinya? Eve hanya bisa memikirkan hal itu sekarang.
"Semua pertama untukku." Perkataan Ryu membuat Eve mengernyitkan dahinya.
"Pertama?"
"Aku tidak pernah menyentuh mereka seujung jari pun."
"Lalu mengapa kau menikahi mereka?"
"Ayah yang menikahkanku."
"Apa?"
"Jangan dipikirkan."
Jawaban Ryu membuat Eve menggelengkan kepalanya pelan, teringat saat pesta pernikahan ia bertemu dengan ayah mertua dan kakak Ryu. Ichiru D'Acretia, beserta dengan keempat belas istrinya termasuk mantan istri Ryu yang kini menjadi istri Ichiru. Eve tidak dapat berkata-kata saat mereka terlihat bahagia saat Ryu menikahinya.
Ichiru benar-benar predator, ia selalu mencari wanita dan jika cocok dengannya akan pria itu nikahi. Eve tidak memungkiri ketampanan Ichiru yang layaknya manekin tampan seperti Ryu.
'Tetapi ... memiliki empat belas istri. Bagaimana ia membagi waktu dengan mereka semua?' batin Eve bertanya-tanya.
"Jangan pikirkan Ichiru, atau kau akan menjadi salah satu istrinya." Eve menatap tajam Ryu.
Apa saat ini ia sedang diancam? Kalau benar Eve tidak akan segan-segan untuk pergi sejauh mungkin.
"Ichiru menyukai wanita yang penasaran padanya, kau bisa saja diperkosa tanpa sepengetahuanku." Jawaban Ryu membuyarkan semua pemikirannya.
Ternyata Ryu memikirkan Eve, dan takut jika kakak iparnya itu akan berbuat macam-macam padanya. Ryu sangat peduli terhadap Eve, bahkan cintanya sudah terlihat di mata Eve. Ryu kembali membereskan perlengkapan basuh itu ke dalam kamar mandi. Dan Eve baru saja tersadar dengan apa yang terjadi.
"Sejak kapan ia bisa membaca pikiranku dan berbicara banyak seperti itu?"
Eve menepuk wajahnya yang mulai memanas. Tidak hanya wajahnya, kini seluruh tubuhnya ikut merasakan hal yang sama. Eve merutuki Nero yang diam-diam memberikannya obat iblis itu padanya. Eve memilih merebahkan tubuhnya, tidak peduli dengan yukatanya yang sedikit terbuka di bagian kakinya.
"Bertahanlah, Eve," gumam Eve pelan sambil memejamkan kedua matanya.
Selagi Ryu tidak menyentuhnya semua akan baik-baik saja, tetapi doanya sepertinya tidak terkabul begitu saja.
"Eve."
Eve membuka kedua matanya dan mendapati Ryu yang sudah berada di atas tubuhnya. Iris kelam milik Eve sudah berkabut karena gairah, dan saat itu juga Eve dapat melihat Ryu yang tersenyum ke arahnya.
"Aku akan membantumu melepaskannya."
***