Cinde & Dilip 3

1805 Words
Cinde duduk termenung di balkon rumah susunnya, dia menatap langit yang penuh bintang bertaburan. Sebuah senyuman terukir dari bibirnya yang tipis. Tangannya menggenggam sebuah cangkir berisikan kopi coklat kesukaannya. Cinde memainkan pinggiran gelas dengan bibirnya saat mengingat seharian ini dia bersama dengan Padma. Padma, seorang Dokter cantik yang baik hati menawarkan dia untuk pertemanan. Cinde yang memang tidak memiliki teman awalnya ragu namun melihat kesungguhan di bola mata Biru milik Padma membuatnya begitu senang. Setelah Darshan pemilik hotel tempatnya bekerja mengizinkan cuti sakit, dia di ajak pergi oleh Padma ke suatu tempat. Dan di sanalah mereka berteman. Menceritakan banyak hal tentang kehidupan mereka satu sama lain. Padma anak tunggal dari seorang Dokter ternama. Ibunya yang seorang model membuat Padma jarang sekali di urus oleh mereka. Padma pun hanya tinggal bersama sang Ayah karena sang Ibu sering pergi keluar negri. Padma bercerita padanya bahwa dia kecewa karena ibunya lebih memilih menjadi seorang model di banding mengurusnya. Sejak bayi Padma di asuh oleh seorang suster yang sayangnya sudah meninggal saat wanita itu baru menyelesaikan kelulusannya meraih gelar Dokter. Padma terpukul dengan apa yang terjadi padanya. Belum lagi dengan sang Ayah yang sibuk kerja tanpa memiliki waktu bersamanya. Akhirnya Padma keluar dari rumah menenangkan diri dengan kehidupannya sendiri. Cinde merasa jika Padma memang wanita luar biasa. Di usia Padma yang sudah menginjak 27 tahun karirnya begitu lancar tanpa ada hambatan namun sayangnya di karir terlihat bagus tapi percintaan Padma sering berakhir tragis. Cinde hanya menjadi pendengar yang baik untuk teman barunya. Dia bahkan tidak memberikan banyak komentar selain menyemangati Padma. Setidaknya Padma memiliki orang tua walaupun mereka sama-sama sibuk. Sedangkan Cinde kenal dengan mereka pun tidak sama sekali. Padma berkata jika dia membutuhkan bantuannya hubungi wanita itu. Cinde merasa gugup karena Padma begitu baik padanya. Bahkan Padma banyak memberikan pelajaran tentang kedokteran yang membuatnya tersenyum senang. Cinde memang tidak melanjutkan kuliahnya, bahkan dia hanya lulusan SMA karena dulu sibuk mencari sesuap nasi. Tak ada yang mau menampungnya bahkan panti asuhan pun enggan menolongnya. Dari sanalah Cinde bekerja keras untuk mendapatkan kesempatan hidup walaupun dunia menolaknya. Cinde terus berjuang sampai dia harus bisa berdiri di kedua kakinya tanpa adanya bertopang tangan pada orang lain. Entah nasibnya atau apa karena dari kecil seperti inilah hidupnya. Masih mending dia hidup selama 20 tahun ini. Cinde memejamkan mata saat sebuah angin menerpa kulit wajahnya. Sebuah senyuman masih terlihat di bibirnya. Cinde masuk kedalam rumah setelah rasa nyaman di rasakan nya. Perutnya keroncongan membuatnya berjalan ke arah dapur. Ruangan yang di tepati olehnya hanya memiliki satu kamar, ruang tamu yang di sekat dengan lemari untuk dapurnya. Satu balkon dan kamar mandi ada di dalam kamarnya. Cinde membuka kulkas mini miliknya tak ada apapun di dalam selain hanya ada sekotak roti tawar dan s**u. Cinde menghembuskan nafas, sepertinya dia lupa membeli bahan makan bulanan. Kulkas kembali di tutup, kakinya mengayun ke arah kamar untuk mengambil dompet. Cinde membuka dompetnya dan untung saja masih ada beberapa lembar uang di dalamnya. Ini pertengahan bulan masih cukup sampai dia mendapatkan gaji bulannya. Cinde memiliki buku tabungan semasa dia bekerja, uang gajiannya dia sisipkan dan lumayan untuk kebutuhannya beberapa tahun ke depan. Cinde meraih jaket usang nya tak lupa menggelung rambut hitamnya yang panjang. Dia pun tidak tahu kenapa di saat semua orang Asia berambut keemasan hanya miliknya berwarna hitam legam. Cinde sama sekali tidak peduli dengan warna rambut karena mau bagaimana pun inilah rambut asli miliknya. Cinde keluar dari kamar lalu mengambil sandal miliknya yang sudah tipis setelahnya dia keluar tak lupa mengunci pintu. Tak ada lift hanya ada tangga di samping kamar-kamar. Untung saja Cinde ada di lantai 3 jadi dia tidak perlu merasa capek di saat lelah melandanya. "Kau mau kemana Cinde?" Cinde menghentikan langkah saat seseorang menyapa, lebih tepatnya bertanya. "Saya mau belanja Miss Sahiba." "Kau lapar? Bagaimana jika kau makan bersamaku?" Tawar Miss Sahiba. Cinde terdiam tak langsung menjawab namun tak lama dia menggeleng pelan. "Terima kasih, Miss Sahiba." "Kau masih merasa tak enak padaku, gara-gara ulah anakku Cinde?" "Ah tidak, Miss. Saya hanya memang sedang menginginkan sesuatu, jadi saya rasa sekalian saja pergi ke supermarket." Miss Sahiba menatap Cinde, dia merasa tidak enak hati pada gadis baik ini. Ini semua gara-gara anak perempuannya yang memarahi Cinde, gara-gara gadis itu ikut makan di rumahnya. Miss Sahiba sampai meminta maaf, bahkan memohon pada Cinde. Namun walaupun Cinde sudah di perlakukan tidak baik oleh Anaknya, gadis itu bahkan yang meminta maaf padanya. Dari sanalah Miss Sahiba tidak bisa mengabaikan Cinde. Miss Sahiba adalah pemilik rumah susun ini. Lantai satu itu rumah Miss Sahiba bersama keluarganya. Baru dari lantai 2 sampai lantai 5 di kontrakan. Setiap lantai memiliki 10 kamar saling berhadapan. Rumah ini seperti apartment namun nyatanya hanya sebuah rumah susun sederhana yang indah. "Aku harap kau tidak merasa dendam pada putriku Cinde?" "Tidak, Miss. Saya sama sekali tidak dendam pada putri Anda. Jangan seperti itu, ini kan sudah lama berlalu. Saya tidak apa-apa, Miss." "Semoga kau slalu di berkati oleh Tuhan Cinde atas semua kebaikanmu." "Terima kasih, Miss. Jika tidak ada yang perlu di bicarakan lagi saya pamit undur diri." "Silakan." Cinde mengangguk sekali setelah itu pergi berlalu meninggalkan halaman rumah. Cinde harus pergi ke halte Bus 5 menit dari rumah. Namun karena dia merasa butuh ketenangan pilihannya berjalan kaki saja. Cinde berjalan dengan banyak orang namun dia menjaga jarak dari orang-orang itu. Jarak rumah dengan super market bisa di tempuh 30 menit dengan berjalan kaki dan hal itu bukan lah apa-apa baginya. Cinde memandang beberapa orang yang terlihat bahagia dengan kehidupan mereka. Mereka berkumpul, bercanda, bahkan saling mengejek satu sama lain. Sebuah senyuman kecil terbit dari bibirnya, terkadang Cinde pun slalu bermimpi dia akan mendapatkan hal itu suatu saat nanti. Jika suatu saat dia mendapatkan kebahagiannya. Cinde tidak akan pernah lupa akan kehidupannya dulu. Namun jika dia bermimpi akan bahagia dengan cara orang lain, sepertinya hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat dia tak memiliki teman sama sekali. Cinde menarik nafas lalu kembali pada kesadaran nya untuk tidak berpikir bermacam-macam. Banyak hal-hal yang belum dia lakukan di kehidupannya ini. Walaupun orang lain bahagia dengan caranya Cinde pun bisa bahagia dengan caranya juga. Tak terasa super market sudah ada di depan mata. Cinde menatap banyaknya orang yang keluar masuk dari ruangan besar yang penuh dengan berbagai macam keperluan itu. Inilah yang slalu dia tak sukai. Banyaknya orang malah membuatnya semakin tak nyaman. Namun kembali lagi jika dia mementingkan perasaanya lalu bagaimana dengan perutnya? Jika dia sakit, siapa yang akan mengurusnya? Seumur hidupnya Cinde hanya jatuh sakit 3 kali. Dia slalu mengsugestikan jika dia sakit otomatis tak ada yang bisa membantunya. Jadi sebisa mungkin dia menjaga pola makan dan gaya hidup sehat supaya badannya tetap bugar. Cinde meraih keranjang dorong. Orang-orang menatap dengan banyak pandangan. Cinde mengabaikan, pura-pura tak melihat dan buru-buru meraih apa saja yang dia butuhkan. Beberapa menit sudah dia lewatkan keranjang dorongnya sudah penuh. Cinde melihat catatan di ponsel, yang hanya belum di ambil botol shampoo dan sabun cair. Dia berjalan berkeliling sampai tiba di tempat barang yang di cari. Cinde menggembungkan pipinya saat inilah yang paling dia benci, dimana shampoo dan sabun favoritnya ada di bagian rak teratas. Cinde menatap ke segala arah, biasanya ada petugas yang berkeliling namun sekarang sepertinya tidak ada yang mau membantunya. Cinde berusaha berjinjit untuk meraih kedua botol itu yang bersebelahan. Tingginya yang hanya 165 tidak akan sampai di rak tertinggi. Cinde mencoba mencari akal siapa tahu ada bangku yang tidak terpakai, dia menggaruk kuping, sepertinya shampoo dan sabun nya akan tertinggal tidak masuk ke dalam belanjaannya kali ini. Cinde berbalik namun saat itu nafasnya tertahan, sebuah d**a bidang berhadapan dengan wajahnya. Aroma menenangkan menusuk hidung dengan tajam. Cinde merasa gugup setengah mati saat sosok itu menjauh satu langkah darinya. "Jika kau tidak mampu untuk meraihnya coba meminta tolong pada orang lain mungil." Cinde yang mendengar kata-kata itu mendongak dan mulutnya menganga saat melihat siapa orang yang ada di depannya. "Tutup mulutmu. Kau tahu nafas mu begitu busuk membuatku mual seketika." Cinde langsung mengerjap dan dia menunduk beberapa kali meminta maaf dengan pelan. "Nih, ku ambilkan." "Terima kasih." "Kau mengatakan apa?" "Terima kasih." "Kau sedang berkumur, yah? Atau suaramu tertelan tubuh mungil mu itu?" "TERIMA KASIH." Jerit Cinde sebal tapi tidak lama dia langsung menutup mulut saat tersadar sudah berteriak. "Oke. Tidak masalah, Semoga di lain waktu kita bertemu kembali." Sosok pria itu langsung pergi menjauh setelah menyerahkan Shampoo dan Sabun nya. Cinde menatap dua benda itu lalu tersenyum tipis. "Terima kasih." Gumamnya. ??? Dilip memukul dadanya yang berdegup kencang. Dia menarik nafas dengan dalam untuk menetralkan degup itu yang membuatnya meringis kesakitan. Dilip meraup oksigen sebanyak mungkin untuk mengurangi debaran berlebihan di dadanya. Ada apa ini? Kenapa degup jantungnya menggila? Dilip memejamkan mata dengan menarik nafas pelan. Ini menyakitkan namun tidak sampai membuatnya terluka. Nicole yang melihat ke wajah t***l Dilip mengerutkan kening. Sedang apa pria itu ada di pojokan? Semua teman-temannya mencari pria itu, yang di cari malah terdiam diri di pojokan. Masih mending dia mojok bersama wanita Sexy, ini hanya diam sendirian di sana tanpa melakukan apapun. "Kau sedang apa di pojokan sana, Dip?" Dilip mengerjapkan mata terkejut. "Hmmm." "Kau benar-benar b******k. Aku dan yang lain duduk di sana seperti orang t***l dan kau malah asik mojok sendiri seperti orang g****k. Apa yang kau lakukan?" "Tidak ada." "Heh, kau tidak akan mungkin hilang fokus seperti ini jika tidak ada yang kau pikirkan," "Memangnya kau tahu apa yang sedang aku pikirkan?" "Yah mana aku tahu. Aku kan bukan cenayang. Lagi pula untuk apa aku ingin tahu urusanmu, seperti tidak ada kerjaan saja." "Itu lebih baik." Nicole mendengus sinis. Dilip dengan kebekuan nya memang lebih menjengkelkan dari Jeff. Jeff masih mending dengan celotehan tak bermutu nya sedangkan Dilip dia hanya diam tak pernah banyak bersuara. "Ck! Sudah ayo kita kembali pada sekumpulan kawan kita. Kau tidak boleh menghilang lagi lain kali." Nicole merangkul bahu Dilip berjalan meninggalkan pojokan itu. Dilip menoleh dan dia menemukan sesuatu yang membuat jantungnya kembali kumat. Dilip memegang jantungnya yang berdebar. Hal ini dulu pernah di rasakan olehnya hanya sesaat. Apakah yang di rasakan nya pun hanya sesaat? "Kau kenapa?" "Memangnya kenapa?" "Kau menyebalkan sekali. Aku bertanya padamu bodoh, kenapa kau memegang jantungmu? Apa kau merasa sakit? Bagaimana bisa sakit? Bahkan kau hanya meminum segelas Wine." "Tidak apa-apa." Jawab Dilip singkat. "Jika di tanya bisakah kau tidak menjawab tidak apa-apa?" "Tidak!" "Astaga! Terserah kau saja, Dilip. Bukan hanya dingin wajahmu, mulutmu pun sadari dulu irit sekali berbicara." Kesal Nicole. Dilip menoleh kebelakang melihat sosok mungil itu berjalan menjauh memperlihatkan punggungnya. Senyum kecil terbit dari bibirnya, harum lembut menyebar membuat hidungnya terasa di manjakan. Bagaimana bisa sosok kumal itu memiliki harum yang menenangkan seperti ini? Dilip merasa tenang saat hidungnya mencium aroma itu namun sialnya debaran jantungnya membuat semuanya kacau. Ada apa dengan jantungnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD