Cinde & Dilip 2

2593 Words
"Aku tak habis pikir dengan pikiran gadis itu. Bagaimana bisa dia yang meminta maaf? Jelas-jelas orang-orang bodoh itu yang salah." Jeff terus mengomel sepanjang jalan bahkan saat sampai mereka tiba di kantor milik Dilip. "Kau ini kenapa sih, Jeff? Biarkan saja gadis itu dengan semua ke ingina nya, kenapa kau malah repot mengomel." Theo berkata dengan sebelah alis terangkat. "Theo apakah kau akan diam saja jika ada seorang gadis di perlakukan seperti itu? Dan posisikan gadis itu jika dia sebagai Thea?" "Thea bukan gadis itu dan aku yakin adikku gadis pemberani." "Benarkah? Lalu siapa bulan kemarin yang menangis karena di Bully oleh temannya, karena dia memiliki kekasih jelek, heh?" Ejek Jeff. "Itu dalam versi yang berbeda, Jeff" "Alasan saja." Jeff mendelik pada Theo yang memang pria itu slalu saja membuat masalah jika dia akan memulai pembelaan pada sang pelaku. Nicole berdehem. "Sebenarnya aku pun sependapat dengan Jeff tentang masalah ini." Jeff tersenyum mengejek pada Theo yang membuat pria itu memutar bola mata malas. "Hanya saja perkataan Theo pun benar jika itu bukan urusan kita," Lanjut Nicole. "Kau itu bagaimana sih, Nic. Tadi kau sendiri yang menggebu-gebu bahkan mencengkram si Tio dengan tubuhmu yang besar itu dengan plototan ganas milikmu. Tapi sekarang? Terserah kau sajalah." "Astaga, Jeff. Aku marah karena memang dia menyakiti fisik gadis itu tapi memangnya siapa peduli. Bahkan gadis itu sendiri yang meminta maaf tanpa mau kita bantu." Ujar Nic. Jeff meraih Bir lalu menegak nya hingga tandas. Tyson, Jose dan Dilip tak ikut campur. Bagi ketiga pria itu yang sama-sama berdebat akan pikirannya. Mereka akan kalah dengan perdebatan itu mengingat mulut Jeff lebih kejam di bandingkan mereka. Belum lagi dia seorang pengacara terkenal yang sudah memenangkan beberapa kasus rumit, pasti bibirnya akan merembet seperti petasan. Di banding berdebat dengan pengacara itu lebih baik diam. Tyson bangkit berdiri saat dia mendapatkan sebuah pesan dari asistennya. "Aku akan pergi." "Pergi kemana?" Jeff membuka matanya. "Ada seorang wanita yang ingin menemui ku untuk melukisnya." "Biasanya kau tidak akan mau repot-repot mengurus wanita yang ingin di lukis olehmu?" "Dia pemilik saham tempat dimana Ayahku bekerja. Aku tidak akan mungkin menyusahkan dia hanya karena penolakan ku ini." Kelima pria itu mengangguk paham. "Kalau begitu sampai jumpa lagi nanti malam." Tyson bersalaman ala pria dengan ke limanya. Dia pergi begitu saja meninggalkan para sahabatnya. Jose menegakkan tubuh. "Mau kemana lagi kau, Jose?" Tanya Jeff. "Ya Tuhan. Kau itu kenapa sih, Jeff? Aku ingin ke kamar mandi, kau mau ikut?" "Tidak terima kasih. Di banding ikut denganmu lebih baik aku duduk diam di sini." "Itu lebih bagus." Jose masuk ke dalam kamar mandi Dilip. Dilip meraih kaleng Bir lalu menegak minuman itu dengan anggun. Tak ada yang bisa menandingi cara bagaimana Dilip berkata dan bertingkah. Sifat seorang Pangerannya memang sudah di latih dengan baik sampai hal itu tak bisa di lakukan oleh orang lain selain anggota kerajaan. Dilip mengingat bagaimana wajah gadis itu yang terlihat menyedihkan. Bagaimana bisa ada manusia sekejam itu pada seorang gadis? Dia memang pemain wanita bahkan sering menyakiti hati mereka namun tak sama sekali Dilip berlaku kasar seperti itu. Dilip menghargainya jika memang dia tak menyukai tak akan pernah dia paksa. Dilip ingin tahu siapa gadis itu? Kenapa dia sama sekali tidak berteriak marah, malah dia meminta maaf dengan membungkukkan badan. Dilip tanpa sadar meremas kaleng Bir, wajahnya yang dingin dan datar semakin terlihat jika dia memang pria Arogan dengan kesempurnaan yang di milikinya. Jeff yang melihat perubahan wajah Dilip menyenggol Theo yang ada di sampingnya. "Kau ini kenapa lagi sih? Sehari diam, apakah tidak bisa?" Jeff mengabaikan pertanyaan Theo, "Lihat apa yang terjadi pada Dilip? Dia tidak akan mungkin seperti itu jika tidak ada yang di pikirannya." Jeff bukan hanya pengacara keren namun dia juga bisa menebak ekspresi wajah orang lain dengan baik. Nicole yang ada di samping Dilip menatapnya dengan lekat. "Dilip sepertinya memikirkan gadis itu." "Hah, bukankah dia sama sekali tak pernah bersuara sejak tadi tentang aku yang mengomel panjang lebar." "Dia bukan kau, Jeff. Kau dan Dilip berbeda, jangan samakan kalian. Karena jika kau dan dia di samakan tak akan pernah sama. Dilip yang pendiam dan kau manusia cerewet yang banyak tingkahnya." celetukan Nic membuat Jeff melempar bantal sofa yang ada di sampingnya pada pria itu. "Kau cari mati, Nic." "Bukannya Nic yang cari mati bodoh tapi kau sendiri." Theo berkata dengan santai membuat Jeff memalingkan wajah sebal. Jose keluar dari kamar mandi dengan seragam dinasnya. Baju yang di pakainya tadi sudah di ganti dengan seragam miliknya membuat Jeff, Nicole dan Theo saling berpandangan. "Aku harus pergi ke bandara sekarang." Ujar Jose. "Bukannya kau meminta Cuti pada Dilip, Jose?" Tanya Jeff. "Aku harus mengantar seseorang pada tujuan awalnya." Jawab Jose sambil merapihkan seragamnya. "Siapa?" Tanya Jeff dengan wajah ingin tahu. "Kau itu bukan hanya cerewet tapi kau juga terlalu ingin tahu urusan orang lain." Jose berkata dengan seringaian lebar di bibirnya melihat wajah Jeff yang semakin menekuk sebal. "Sudah jangan cemberut kau seperti wanita yang akan di tinggal oleh kekasihnya." "Sialan kau, Jose." Jose tertawa kencang melihat wajah Jeff yang semakin sebal. "Sudahlah aku akan pergi sekarang. Sampaikan salam ku pada Dilip dan Tyson, karena tak bisa menghadiri perjamuan nanti malam." "Oke. Semoga sampai tujuan dengan selamat kawan." Mereka berpelukan ala pria dan Jose pergi meninggalkan keempat temannya. "Jadi nanti kita datang ke perjamuan hanya berlima tanpa ada Jose?" "Sudahlah Jeff lebih baik kau pergi sana ke kantormu. Carilah lawan yang sebanding denganmu." Usir Nic. "Kau mengusirku?" "Iya, maksudku tidak." "Kalau begitu mari pergi bersama." Jeff menarik bahu Nicole dan menyeret pria itu untuk mengikuti nya keluar dari ruangan Dilip. "Kami pergi. Kita bertemu jam tujuh malam di tempat biasa." Nicole memukul bahu Jeff untuk melepaskan rangkulan pria itu namun Jeff sama sekali tak peduli. Theo menggelengkan kepala tak habis pikir dengan pikiran Jeff selama ini. Jeff pria pintar hanya saja sifat banyak tingkah slalu membuat semua orang jengkel padanya, belum lagi wajah sombongnya, jika sudah menyangkut hukum pasti yang melihatnya akan langsung mengutuk pria itu. Namun di sisi lain, Jeff tak pernah sekali pun mau di beri bayaran jika sang korban itu tak memiliki uang. Tanpa pamrih dia akan membantunya sampai selesai, walaupun jika nanti di puji oleh kelima temannya wajah sombongnya akan terlihat dengan jelas. Theo menoleh ke arah Dilip yang masih saja sibuk dengan dunianya. Theo menghembuskan nafas, perkataan Jeff tentang Dilip sedang memikirkan gadis itu sepertinya benar. Theo menepuk pundak Dilip menyadarkan pria itu untuk kembali fokus pada dunianya. Dilip tersentak lalu menoleh, matanya melihat hanya ada Theo di dalam ruangan. Keningnya berkerut, kemana keempat sahabatnya? Theo seakan tahu apa yang ada di dalam pikiran Dilip. "Jose harus pergi bekerja mengantar seseorang ke tempat tujuannya. Tyson pergi karena ada anak rekan kerja Ayahnya yang meminta di lukis. Nic dan Jeff baru saja pergi untuk kembali ke kantor." Dilip mengangguk paham. Dia menundukkan kepala melihat kaleng Bir miliknya yang sudah remuk. "Kau kenapa? Apa ada masalah?" Tanya Theo. "Aku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Entah apa yang terjadi tapi semenjak aku melihat gadis itu, rasa tak senang menghampiri perasaanku." Jawab Dilip jujur. "Jangan terlalu di pikirkan. Mungkin kau merasa tak nyaman karena tak bisa melakukan apapun saat gadis itu meminta bantuan." Dilip menghembuskan nafas, mungkin ucapan Theo benar tapi entah kenapa hatinya menolak. "Apa kau bisa mencari tahu biodata dia untukku?" Theo diam namun senyum mengejek terlihat. "Kau tertarik pada gadis itu?" "Sialan kau. Aku hanya ingin tahu bagaimana kehidupannya. Kau tahu kalau aku benci dengan wanita munafik." "Ck! Kau seharusnya tidak berpikir gadis itu munafik Dip. Aku rasa gadis itu memang seperti itu adanya, tidak di buat-buat bahkan tidak ingin mencari simpati orang," "Benarkah?" "Apakah kau tak memiliki pikiran. Jika gadis itu munafik, mana mungkin dia mau di perlakukan sampai separah itu. Jika Thea mengalami hal itu pasti dia akan mengamuk." Dilip terdiam. Tapi dia sama sekali belum percaya jika hal itu tidak terlihat oleh matanya sendiri. "Aku tidak tahu." ??? Cinde memejamkan mata saat seorang Dokter sedang menjahit lukanya. Cinde masih berbaring di atas ranjang rumah sakit. Tak ada yang mau mengantarnya karena semua orang langsung pergi berlalu setelah melihatnya. Apakah sebegitu hina kah dirinya? Cinde ingin menangis namun sekuat tenaga dia menahannya. Sebegitu tidak peduli mereka padanya yang sedang mengalami musibah. "Kau harus rileks. Sobekan di kening mu lumayan dalam. Sebenarnya apa yang terjadi sampai kepala mu bisa terantuk kursi? Tidak mungkin jika kau membenturkan kepalamu begitu saja." "Tidak apa-apa Dokter hanya kecelakaan kecil." "Yah aku tahu kau pasti merasa tak nyaman akan pertanyaan ku barusan. Kenalkan aku Padma, kau sendiri?" Cinde menatap Dokter yang membantu menutup lukanya. "Cinde." "Hanya itu namamu?" Cinde menganggukkan kepala tidak yakin karena namanya bukan hanya itu. Cinde Atara Aubree. Padma tersenyum lalu kembali menjahit luka Cinde dengan serius. Dia tidak menyangka ada seorang gadis yang datang padanya dengan kesadaran penuh saat bagian keningnya terluka. Di pikirannya saat ini, apakah tak ada yang mengantar gadis ini? "Kau ... maksudku apa kau tak akan menghubungi keluargamu?" Tanya Cinde. "Aku sudah tak memiliki keluarga." "Oh maafkan aku." "Tidak masalah." "Lalu bagaimana dengan teman-temanmu?" Padma melihat wajah gadis itu yang semakin muram. Dia yakin ada sesuatu yang terjadi pada gadis ini. Padma tersenyum, dia membungkus luka itu dengan kain kasa. Lalu dia membereskan semua alat-alatnya. Cinde bangkit duduk dan kepalanya langsung berdentang kuat. "Istirahatlah terlebih dahulu. Kau baru saja mendapatkan luka di kening mu." "Ah tidak apa-apa Dokter saya kuat kok." Padma menunjukan jari telunjuknya lalu menggoyangkannya. "Kau itu pasienku, aku belum memeriksa semua bagian tubuhmu. Bagaimana jika ada bagian yang terluka dan itu lebih parah dari kening mu?" "Tapi dokter aku harus bekerja." "Memangnya Bos mu, menyuruhmu kembali bekerja setelah berobat? Kalau begitu brengsek sekali orang itu." Cinde meringis mendengar umpatan gadis cantik yang ada di depannya. "Aku harus bekerja di tempat lain, Dok. Dan ini sudah masuk jam kerjaku, aku takut jika Bos ku, memecat ku karena datang terlambat." "Kau bekerja sehari berapa jam?" "Aku ...." Cinde diam tak melanjutkan kata-katanya. Dia tak ingin melihat orang lain yang menatapnya dengan prihatin. Padma mengangkat satu alisnya mendengar Cinde yang tak melanjutkan kata-katanya. Padma yakin gadis ini memiliki riwayat hidup yang lebih rumit. Cinde sebenarnya cantik hanya saja dia tertutup dengan pakaian kumalnya. Rasa ingin berteman membuatnya terdorong untuk mendekat ke arah gadis itu. Tangannya terulur lalu menggenggam tangan Cinde erat. "Kau tahu, Cinde. Selama hidupku tak pernah ada satupun orang yang bisa aku percayai dalam hidupku selain keluargaku. Entah kenapa setelah bertemu denganmu aku merasa ingin sekali berteman. Bisakah kita berteman?" "Tapi aku ...." "Aku tidak menerima penolakan, sekarang kita berteman. Ayo, aku antar kau ke tempat kerja mu biar aku yang meminta izin pada bos mu." "Tapi Dokter aku ...." "Padma. Panggil aku Padma tanpa embel-embel Dokter." Cinde terdiam. Baru kali ini ada seorang gadis yang mau berteman dengannya. Rasa haru membuat matanya berkaca-kaca, sungguh Cinde tidak pernah bermimpi akan memiliki seorang teman. Padma yang melihat mata Cinde berkaca-kaca memeluk gadis itu. Tangannya penepuk-nepuk punggung Cinde dengan pelan. Padma tidak tahu ada apa dengan hidup Cinde karena dia yakin Cinde bukan gadis seperti kebanyakkan orang-orang yang ada di sekitarnya. "Kau tenang saja, Cinde. Sekarang kau tak perlu merasa sendiri, ada aku yang akan menjadi teman baikmu." ??? Padma menatap bangunan di depan nya dengan mata membulat. Jadi Cinde bekerja di tempat sepupunya bisik hatinya. Padma menoleh ke arah dimana Cinde sudah mencoba membuka safety belt nya namun tak bisa dia buka. Padma tersenyum geli mengingat saat masuk pun gadis itu terbengong dengan mulut menganga lebar. Menggemaskan! Hey, tidak. Padma masih waras hanya saja sepertinya memang Cinde beberapa tahun di bawahnya. Padma seperti memiliki seorang adik mengingat dia anak tunggal di dalam keluarganya. "Sini biar ku bantu." Cinde tersenyum lucu karena dia memang tidak tahu bagaimana cara membukanya. "Sudah." "Terima kasih." "Sama-sama." Mereka keluar secara bersamaan dari dalam mobil. Padma memberikan kuncinya pada satpam yang mengenalnya. Cinde berjalan memutar membuat Padma mengikutinya tanpa protes. Padma melihat jalan Cinde yang terlihat tidak baik. Dia meneliti dengan seksama dan saat melihat apa yang terjadi, Padma menghela nafas kasar. Gadis ini benar-benar mengabaikan kesehatannya sendiri. "Cinde?!" Padma memanggil nama gadis itu. Cinde berhenti lalu memutar tubuhnya. "Ada apa, Dok?" Padma memutar bola matanya saat mendengar panggilan Cinde. "Padma! Panggil aku Padma tanpa embel-embel Dokter." Cinde menganggukkan kepala saat melihat Padma melotot padanya. "Aku hanya ingin bertanya, apakah masih ada luka di kakimu yang belum aku periksa?" Cinde menunduk lalu merapatkan kakinya dan terlihat sangat jelas kaki itu tidak sejajar. "Ck! Anak nakal. Sudah aku katakan jika kau merasa sakit apa susahnya bilang padaku. Kakimu terkilir dan kau merasa baik-baik saja? Apa kau bodoh? Bagaimana bisa kau mengabaikannya? Jika kau memang ingin bekerja, tidak seharusnya kau menyusahkan dirimu sendiri." Cinde mengigit bibir bawahnya, "Ini nanti juga sembuh sendiri Dok emmm Padma." "Yang namanya terkilir tidak akan sembuh kalau tidak di obati. Ayo kita masuk ke dalam biar nanti aku obati sekalian." "Tapi ... aku harus bekerja." "Diam saja. Aku yang akan bertanggung jawab padamu." Padma meraih tangan Cinde dan memeluk lengan itu untuk kembali berjalan memutar. Banyak orang yang memperhatikan mereka. Cinde merasa tak nyaman dan dia ingin melepaskan tangannya namun Padma memegang dengan erat. Padma tahu jika Cinde tidak percaya diri berjalan dengannya melihat tatapan orang yang menatapnya sinis. Mata Padma melotot pada orang-orang yang menatapnya sampai mereka langsung memalingkan wajah. Padma harus protes pada sepupunya tentang ketidak sopanan wajah karyawan yang kurang ajar. Padma ingin mengomel pada saudaranya. Lihat saja tidak akan ada yang bisa lolos dari terkaman nya. "Padma?" Suara itu membuat keduanya menoleh. Padma dengan senyum lebarnya sedangkan Cinde menundukkan kepala. Tubuhnya bergetar namun sebisa mungkin dia menahan getaran itu. "Darshan." Pria yang bernama Darshan mendekat. Keningnya berkerut saat melihat sosok gadis yang dia kenal. "Sedang apa kau di sini dengan dia?" Padma melihat wajah tidak suka dari sepupunya. Dia langsung menendang Darshan dengan kencang membuat pria itu berteriak kesakitan. "Apa yang kau lakukan, sialan?" "Bersikaplah baik, brengsek. Kau dengan tatapan mu itu membuatku ingin menusuk matamu." Bentak Padma. "Lalu apa yang kau inginkan, Bitch?" "Aku ingin memberi tahu mu untuk memberikan Izin sakit pada Cinde." Darshan menatap gadis itu dari atas lalu kebawah. Kepalanya mengangguk mengerti saat gadis kumal itu terlihat semakin pucat dari sebelumnya. "Silakan saja. Aku tidak akan melarangnya." "Baiklah kalau begitu. Terima kas-" "Tapi dia harus merelakan setengah gaji bulannya." Mata Padma membulat dia kembali menendang kaki Darshan lebih kencang dari sebelumnya. "Yak, Bitch. Ini sungguh menyakitkan." "Jika kau berani memotong gaji Cinde lihat saja. Aku pun tidak akan segan mengkebiri junior mu sampai habis." Darshan langsung memegang burung miliknya. Sepupunya ini memang terlihat memiliki wajah halus namun jika sudah tahu sifatnya gadis ini bertingkah kasar seperti preman. "Siapa kau berani-beraninya berlaku seperti itu padaku?" Debat Darshan. "Kau tidak tahu siapa aku?" Padma sudah melangkah mendekat. Darshan mengangkat kedua tangannya, "Baiklah terserah kau saja." Padma tersenyum, "Jika kau berani memotong gajinya, lihat saja aku tidak akan segan-segan membuat kejantanan mu tidak berdiri lagi setiap melihat perempuan sexy." "Ancaman mu kejam sekali." "Kapan aku kejam? Aku hanya memperingati mu saja, tidak ada unsur ancaman disini." Darshan memutar bola matanya malas. "Tidak ada unsur ancaman lalu barusan apa?" Bisik Darshan. Padma memukul kepala Darshan, "Aku masih bisa mendengarnya bodoh." "Baiklah, baiklah, bawa saja dia dari sini. Bisa-bisa semakin lama kau disini, entah apa yang akan terjadi padaku." Ucap Darshan sambil berlalu. Darshan mengomel sepanjang jalan, bagaimana bisa dia memiliki sepupu sekejam Padma? Padma benar-benar wanita bar-bar, jika bertemu dengannya pasti tubuhnya akan biru-biru. Entah terbuat dari apa kekuatan wanita itu, jika sekali memukul rasanya sakit sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD