Elaine Wellis baru saja selesai mengganti baju setelah operasi panjang yang penuh ketegangan.
Walaupun melelahkan, tetapi ada rasa lega dan bahagia karena dia bisa membantu proses pembedahan pasien yang mengalami cedera tulang parah pasca kecelakaan.
Sekarang, yang Elaine inginkan adalah pulang ke kamar kosnya dan beristirahat.
Dia pun segera memacu sepeda motor kesayangannya, yang sudah empat tahun ini menemaninya. Membayangkan kenyamanan suasana kamarnya seraya duduk sambil menyesap teh hangat dan makan keripik buatannya sendiri, Elaine merasa menemukan semangatnya kembali.
Namun, begitu sampai di kamarnya, belum sempat dia menikmati secangkir teh dan keripik seperti yang dibayangkan di perjalanan tadi, ponselnya berdering dengan nada dering nyaring yang membuat rasa lelahnya seketika terabaikan.
Dari operator Tim Respons Cepat rumah sakit tempatnya bekerja.
"Dokter Wellis," terdengar suara tegas operator di ujung telepon setelah Elaine menyebut kata halo.
"Ya, ini dokter Wellis. Apa yang terjadi?" tanya Elaine, langsung fokus.
"Ini mengenai Ryan Carson! Dia pingsan di apartemennya. Tolong, cepatlah!"
Jantung Elaine berdebar. Ryan Carson adalah seorang pengusaha muda yang terkenal di kalangan sosialita, memiliki kekayaan berlimpah dan dikenal dengan gaya hidupnya yang glamor. Dia sempat dirawat beberapa waktu lalu di rumah sakit karena gangguan fungsi jantung.
Elaine sudah beberapa kali datang menangani gangguan mendadak yang dialami pria itu.
"Saya akan segera ke sana," jawab Elaine sebelum menutup telepon.
**
Elaine tiba di gedung apartemen mewah milik Ryan Carson, hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit dengan sepeda motornya.
Dia menunjukkan kartu pengenalnya pada petugas security yang berjaga di lobi dan diarahkan ke lift khusus lantai teratas.
Masuk di apartemen mewah Ryan Carson, Elaine merasa seolah memasuki dunia yang berbeda. Dinding-dinding apartemen dihiasi dengan lukisan-lukisan mahal, dan lantai marmer berkilau mencerminkan lampu-lampu kristal yang menggantung di atas.
Namun, suasana glamor itu sedikit terganggu dengan ekspresi cemas asisten Ryan yang membukakan pintu untuk Elaine.
“Bagaimana kondisinya?” Tanya Elaine sambil melangkah masuk.
"Dokter Wellis, Tuan Muda tadi pingsan. Tapi sekarang sudah sadar dan memakai oksigen.” jawab asisten sambil berjalan cepat mendahului Elaine.
Elaine melangkah cepat mengikuti si asisten ke ruang keluarga, di mana Ryan terbaring di sofa besar, wajahnya pucat. Dia masih mengenakan setelan kerja mewah yang masih terlihat rapi, tetapi kini tubuhnya tak bertenaga.
"Tuan Carson! Apa yang terjadi?" Elaine berlutut di sampingnya, meraih pergelangan tangannya untuk memeriksa denyut nadi.
Ryan membuka matanya yang setengah tertutup, menjauhkan selang oksigen. "Dokter Wellis?" suaranya serak, hampir tidak terdengar.
"Ya. Saya di sini untuk membantumu. Apa yang kau rasakan? Apakah ada yang terasa sakit?" tanya Elaine cepat, sambil memperhatikan tanda-tanda vitalnya.
"Rasa sakit? Tidak... aku hanya... merasa lelah. Mungkin terlalu banyak aktivitas hari ini yang diakhiri dengan kumpul-kumpul sore dengan beberapa rekanku," jawab Ryan sambil menggosok wajahnya dengan tangan.
Elaine mengerutkan kening, dia mencium bau alkohol. "Berapa banyak alkohol yang kau konsumsi sore ini?"
Ryan tersenyum canggung. "Hanya beberapa gelas sampanye. Tidak lebih dari biasanya."
"Biasanya? Tuan Carson, kau harus berhenti beranggapan bahwa ini normal," balas Elaine dengan nada tegas. "Kau perlu istirahat dan menjaga kesehatanmu. Terlalu banyak minum bisa berbahaya." Lanjutnya sambil geleng-geleng kepala.
Beberapa kali berinteraksi dengan pria kaya ini, mereka menjadi lebih akrab. Dan sebagai dokter, Elaine tak segan-segan mengomeli pasiennya, siapapun dia, jika dia membahayakan kesehatannya sendiri.
Elaine mulai memeriksa tanda vitalnya dengan seksama, mencatat apa pun yang tampak aneh. "Apakah kau sering mengalami hal ini? Pingsan atau merasa lemah?"
Ryan menatap langit-langit, lalu menggerakkan kepala. "Aku jarang sakit. Hanya gangguan jantung ringan yang sesekali muncul. Biasanya, aku hanya merasa sedikit pusing setelah minum. Tapi kali ini... terasa berbeda."
Elaine mengangguk, mencoba menganalisis situasi. "Baiklah, kita harus memastikan semuanya baik-baik saja. Aku akan memeriksa kadar gula darah dan tekanan darahmu. Kita tidak bisa mengambil risiko."
Elaine mengaduk isi tasnya, mengambil alat tes yang selalu tersedia dalam tasnya. Saat dia bekerja, suasana di ruangan itu terasa tegang. Ryan yang saat sehat terlihat sombong dan tegar, kini tampak rapuh dan lemah.
"Dokter," suara Ryan memecah keheningan. "Aku... aku tidak ingin dianggap lemah. Semua orang mengandalkanku. Jika mereka tahu aku pingsan... apa kata mereka?"
Elaine berhenti sejenak, menatapnya. "Tuan Carson, Anda juga manusia biasa. Semua orang bisa jatuh sakit atau merasa lemah. Mengakui itu tidak membuatmu lemah, justru sebaliknya. Itu menunjukkan bahwa kau peduli pada dirimu sendiri."
Ryan menatapnya dengan ragu, seolah memikirkan kata-katanya. "Kau... kau benar. Mungkin aku harus lebih memperhatikan diri sendiri."
Setelah melakukan pemeriksaan, Elaine menghela napas lega ketika melihat hasilnya. "Gula darahmu stabil, dan tekanan darahmu sedikit rendah, tapi tidak terlalu mengkhawatirkan. Mungkin karena dehidrasi. Aku sarankan untuk banyak minum air dan beristirahat. Jika kau belum membaik, jangan ragu untuk menghubungi aku atau dokter lainnya."
Ryan mengangguk. "Terima kasih, dokter Wellis. Aku tidak tahu harus berbuat apa tanpa bantuanmu."
Elaine tersenyum. "Itu sudah tugasku. Namun, ingatlah untuk lebih memperhatikan kesehatanmu di masa depan."
Setelah memastikan Ryan Carson berada dalam kondisi yang lebih stabil, Elaine mengucapkan selamat tinggal.
Sudah jam sembilan malam ketika Elaine akhirnya bisa meninggalkan pasiennya. Dia berjalan menyusuri lorong menuju lift, merasa sangat lelah.
Unit paling mewah gedung apartemen itu hanya terdiri dari dua unit. Di pintu unit satunya, dia melihat seorang pria yang tampak kesakitan sedang berusaha menekan kode angka untuk membuka pintu unitnya.
Elaine tergerak untuk membantu. Dia mendekat dan pada saat itu pintu bergerak terbuka. Rupanya si pria berhasil memasukkan kodenya.
“Anda sedang sakit, Pak?” Tanya Elaine sambil melihat wajah pria yang ternyata sangat tampan namun terlihat sangat kesakitan itu.
Rahang pria itu mengeras, wajahnya basah dan bulir-bulir keringat menetes di dagunya.
Tidak mendapat jawaban, Elaine malah dikejutkan oleh cengkeraman kuat di lengannya. Belum sadar sepenuhnya apa yang terjadi, Elain sudah diseret masuk dan pria itu menendang pintu hingga tertutup dengan menimbulkan suara keras.
“Ap-apa yang Anda lakukan?” Elaine bertanya panik.