Namun pria itu telah menyerangnya, menciumnya dengan buas dan mengunci semua gerakannya dengan kedua lengannya yang sekuat baja.
Tanpa kemampuan untuk melawan, Elain terseret ke dalam sesuatu yang mengerikan.
Pria itu, adalah sosok yang sangat tampan dengan fitur wajah yang tajam dan postur tubuh yang atletis. Ia mengenakan jas mahal yang menekankan kekayaannya, tetapi saat itu, dia memancarkan aura yang menakutkan. Kedua matanya terkunci di wajah Elaine, sorot matanya dingin, gelap dan menakutkan.
Ketakutan melanda Elaine saat tubuhnya terus diseret memasuki kamar. Dia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan pria itu, tetapi tubuhnya terasa lemas. Elaine terjerembab tak berdaya ke atas ranjang besar dengan seprai putih.
“Lepaskan aku!” teriaknya, suaranya menggema di dinding-dinding apartemen. Ketika dia berjuang, pria itu menekannya kembali dengan kekuatan yang tak terduga, mengunci tubuhnya di bawahnya.
Suara geraman pria itu terdengar sangat menakutkan saat dia merengkuh tubuh Elaine dan mencium bibirnya lalu turun ke leher jenjangnya dengan ciuman basah dan liar.
Elaine berusaha mendorong d**a pria itu, tapi begitu kokoh, tak bergeser seinchi pun. Elaine merasakan ketegangan di seluruh tubuhnya, seolah-olah waktu berhenti.
Sementara gerakan pria itu semakin liar menguasai tubuh Elaine, seolah boneka kecil tanpa daya. Tidak mempedulikan perlawanannya, pria itu semakin menggerayangi tubuhnya.
“Jangan! Tolong! Aku wanita baik-baik,” Elaine berteriak, berharap bisa membuat pria itu sadar dan menghentikan perbuatannya.
Namun pria itu hanya mendengus, sejenak menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tetap mengunci tubuh Elaine di bawahnya.
Di matanya yang tajam, ada keinginan yang gelap.
Kengerian dan rasa tidak berdaya menyelimuti Elaine, meresap hingga ke tulang belakangnya. Dia terperangkap, tidak hanya oleh fisiknya, tetapi juga oleh bayang-bayang ketakutan dan harapan yang hancur. Setiap kali dia berusaha untuk berteriak, suaranya hanya tersisa sebagai bisikan dalam kegelapan.
Pria itu semakin tidak terkendali. Matanya diselubungi kabut merah, yang membuatnya terlihat mengerikan. Dia menarik paksa baju putih Elaine, mengabaikan perlawanannya.
“Jangan!” Elaine merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya saat pria itu menekan tubuhnya yang telah polos.
Pria itu mengabaikannya. Napasnya yang memburu bercampur bau alkohol mengenai wajah Elaine. Kedua telapak tangannya yang panas dan gemetar menjelajah tubuh Elaine.
Setiap sentuhan terasa seperti racun, meresap ke dalam jiwanya.
Namun, Elaine menolak untuk menyerah. Dengan kekuatannya yang tersisa, ia terus berusaha untuk melawan dengan meronta, mencakar dengan kedua tangannya, dan menendang dengan kedua kakinya.
‘Aku tidak boleh menyerah begitu saja.’ Tekad Elaine dalam hati, di tengah himpitan rasa ngeri.
Elaine terus meronta dan berteriak histeris demi mempertahankan kehormatannya. Tetapi kekuatannya tampak tidak ada artinya dibandingkan dengan pria yang berada di atasnya.
Tubuh yang menekan Elaine begitu kokoh dan penuh dorongan gelap yang tidak tertahankan.
Pandangannya dingin dan gelap.
Menakutkan.
Sesuatu yang bergejolak liar dalam dirinya tidak bisa berhenti. Teriakan dan gerakan penolakan yang penuh tekad wanita di bawahnya hanya membuat dorongan itu semakin kuat.
Dia tidak bisa menahannya lagi dan menekan tubuh lembut di bawahnya dengan kuat.
Elaine menjerit keras merasakan sengatan rasa sakit yang nyaris tak tertahankan.
Sorot matanya meredup, dia terperangkap dalam kegelapan yang sangat menakutkan. Semua yang dia percayai tentang dunia runtuh. Bagaimana mungkin seorang pria yang tampak begitu sempurna, dalam kehidupan glamor dan kemewahan, bisa menjadi monster yang mengerikan?
Pria itu terus bergerak di atas tubuhnya, mengabaikan rintihan dan tangis kesakitan Elaine yang tenggelam dalam suara napasnya yang memburu dan desah liarnya.
Elaine menggigit bibirnya, menahan rasa sakit di bagian bawah tubuhnya yang belum juga berakhir.
Lalu dia merasakan dunia di sekelilingnya menjadi kabur.
Elaine pingsan.
**
Elaine membuka mata di tengah cahaya remang-remang.
Tubuhnya serasa terkoyak.
Apa yang baru saja terjadi?
Sesaat Elaine merasa bingung dengan apa yang telah terjadi. Lalu dia disadarkan oleh napas hangat yang mengenai pipinya.
Elaine menoleh, dalam keremangan dia melihat wajah tampan yang tertidur pulas di sampingnya. Wajahnya begitu dekat dan lengan kokohnya memeluk perut Elaine. Mereka berbaring di bawah selimut.
Madeline mendorong lengan pria itu dengan kasar. Dia duduk dan beringsut menjauh, kembali merasakan sengatan rasa sakit dia bagian bawah tubuhnya.
Air mata mengalir di pipinya yang pucat.
Bagaimana dia bisa melanjutkan hidup setelah malam yang kelam ini? Dalam kepanikan yang melanda, dia merasa kehilangan bagian dari dirinya yang tidak akan pernah kembali.
Elaine melihat pakaiannya yang teronggok di lantai bersama stelan mahal pria itu.
Sambil menahan sakit dia mengenakan pakaiannya dan berjalan keluar dari kamar yang telah menjadi saksi kejadian mengerikan yang dia alami.
Dia harus pulang sekarang.
Elaine menemukan tas dan sepatunya berserakan di ruang tamu. Dia membungkuk mengambil tasnya dan memeriksa ponselnya untuk melihat jam.
Pukul 03.15 dini hari.
Di kamar kosnya Elaine meringkuk di ranjangnya dengan perasaan hancur.
Dia memegang ponselnya, melihat pesan dari Marissa yang dikirim empat jam yang lalu, setelah tiga panggilannya tidak dijawab.
Marissa menanyakan kabarnya, mungkin khawatir karena Elaine tidak menjawab panggilannya.
Marissa adalah satu-satunya orang yang bisa dia percayai, tetapi bagaimana dia bisa memberitahunya tentang apa yang terjadi? Elaine tidak ingin membuat sahabatnya khawatir, tapi dia tidak bisa menyimpan rasa sakit ini sendirian.
Dia ingin berbicara dengan seseorang. Tapi ini masih terlalu pagi untuk menelepon sahabatnya.
Elaine juga melihat ada empat panggilan dari operator Tim Respons Cepat rumah sakit. Pasti ada situasi darurat lagi. Tapi bagaimana dia bisa menjawab panggilan itu?
Elaine menggigit bibirnya dengan kuat, merasakan sakit hati ketika peristiwa mengerikan itu membayang di benaknya.
Elaine membungkuk, memeluk kedua lututnya erat.
Hanya air mata yang mengalir melewati pipinya.