Bab 4 Pria Kejam

987 Words
Joseph Morgan sudah mandi dan berpakaian rapi. Mengenakan setelan profesionalnya, jas hitam dengan dalaman kemeja baby blue dan dasi warna senada, dia terlihat seperti biasanya, dingin, tenang dan memancarkan aura berkuasa. Di usianya yang ke-32 tahun, sosok matang dan mempesona seorang pria dewasa yang sudah berpengalaman, sangat menonjol terlihat dalam dirinya. Pagi ini ada agenda rapat penting di kantor, namun, pikirannya tetap tidak bisa menjauh dari kejadian semalam. Dia duduk di sofa, di ujung tempat tidurnya, kepalanya terkulai di antara kedua tangan yang bertumpu di lutut. Dadanya berdebar kencang saat realita kembali menyentuhnya. Dia sudah menyingkirkan seprei putih itu, namun tetap saja noda merah itu masih tergambar jelas diingatannya, seperti sengaja membuatnya terus menyadari kesalahan fatal itu. ‘Apa yang telah aku lakukan?’ pikirnya, bibirnya bergetar di antara gelombang penyesalan yang menghujam. Dia teringat pada wajah gadis itu—cantik, muda, dan penuh harapan—sekarang hancur oleh tindakannya yang bodoh dan egois. Tapi dia tidak bisa menahan dorongan hasrat gelap itu semalam. Sesuatu dalam anggur yang diminumnya membuat kendali dirinya lepas. Gadis itu berusaha melawannya dengan gigih, berusaha mempertahankan kehormatannya, namun dia mengabaikannya. Rasa sakit menjalar di dadanya. Dia bukan laki-laki bajingann yang suka merusak kehormatan wanita dan senang mengumbar nafsu. Dia adalah pria terkendali yang tidak sembarangan mendekati wanita. Joseph Morgan adalah pria yang sangat menjaga citranya, hingga tidak sembarangan wanita bisa dekat dengannya. Tapi sekarang semua yang dia jaga telah hancur. Sekarang Joseph Morgan adalah pria b******n mesumm yang dengan kejam telah merudapaksa seorang wanita baik-baik. Bagaimana dia bisa menanggung ini di sisa hidupnya? Joseph meraih ponselnya dan menelepon asistennya, Davin, dengan suara tegas, menutupi kegelisahannya. “Davin, aku butuh kamu segera. Cepat datang ke sini. Waktumu sepuluh menit.” Davin menjawab cepat, “Baik, Tuan Morgan. Saya akan segera ke sana.” Menunggu kedatangan Davin adalah siksaan bagi Joseph. Rasanya seperti seabad, hingga dia mendengar ketukan di pintu. Joseph melangkah cepat ke arah pintu dan membukanya, menemukan asistennya sedang berusaha mengatur napasnya yang memburu. Dia telah berusaha datang dengan cepat seperti perintah bosnya. “Selamat pagi, Tuan Morgan,” Davin memberi salam dengan napas masih tersengal. Dia merasakan urgensi urusan bosnya, jadi berusaha datang secepatnya. “Pergi ke ruang pengawasan dan periksa rekaman CCTV di depan apartemenku tadi malam. Aku ingin tahu siapa wanita yang bersamaku semalam.” Davin tersentak kaget. Hah? Jadi bosnya ini semalam membawa wanita tapi kenapa dia.. Davin melihat wajah Joseph yang cemberut. Dia segera mengendalikan diri dan mengangguk patuh, lalu pergi ke ruang pengawasan dan menyampaikan maksudnya kepada petugas yang berjaga di sana. Petugas itu mengangguk dan langsung bekerja cepat Davin kembali ke aparteman bosnya beberapa menit kemudian dengan ekspresi serius. “Tuan Morgan, saya sudah memeriksa rekaman CCTV seperti yang Anda perintahkan.” Joseph menatapnya dengan penuh harap. “Apa yang kau lihat?” tanyanya dengan wajah tegang. Davin menghela napas sebelum berbicara. “Saya sudah mengunduh video tersebut. Tuan, itu jelas terlihat. Gadis itu… dia sangat muda dan...” “Tunjukkan padaku.” Potong Joseph cepat, merasakan ketegangan yang semakin menguat. Dada Joseph berdebar keras melihat wajah seorang gadis muda di sana. “Selidiki siapa wanita ini. Lakukan dengan cepat dan diam-diam, jangan sampai orang lain tahu.” Perintah Joseph setelah beberapa saat termenung sambil mengamati video itu. Mereka berdua lalu berangkat ke kantor. Joseph bukan orang yang suka menunda-nunda. Sebelum rapat mulai, dia memanggil Wita, manajer marketing yang telah berani menjebaknya. Joseph tidak mau repot-repot mencari tahu apa tujuannya, dan juga tidak mau melakukan penyelidikan. Dia yakin wanita itu pelakunya. “Selamat pagi, Tuan Morgan!” Wanita itu masuk ke dalam ruangannya dengan memberi salam seperti biasa. Senyum lebar memenuhi wajahnya. “Kamu dipecat!” Joseph berkata dingin. “Ap-apa, Tuan? Bagaimana? Apa…” Joseph mengabaikan adegan dramatis di depannya, bagaimana senyum seketika lenyap dari wajah wanita itu, lalu dia melangkah lebih mendekatinya dengan ekspresi bingung. “Aku ti-tidak me..” Joseph memotong cepat, “Bereskan barang-barangmu dan pergi dari sini. Saya tidak ingin lagi melihat Anda di kantor ini.” Sama sekali tidak ada penjelasan. Wajah Wita Arista berubah pucat pasi. Dia berbalik dan melangkah menuju pintu dengan tubuh gemetar. Dia telah melakukan kesalahan fatal. Joseph Morgan adalah pria yang kejam. Tatapan dinginnya tertuju dipunggung wanita itu yang terguncang. Saat itu dia tahu bahwa dugaannya benar. “Jangan pernah coba-coba menyulitkanku lagi. Lain kali saya tidak akan bermurah hati seperti ini. Kamu bukan hanya akan kehilangan pekerjaan, tapi kamu akan kehilangan segalanya.” Ancam Joseph. Tangannya sudah gatal ingin melampiaskan kemarahan, tapi berusaha dia tahan. Ini sudah cukup. Meeting penting pagi ini sudah menunggu. ** Rapat baru saja akan dimulai ketika Wita Arista menerobos masuk. “Tuan Morgan, Anda tidak bisa memecat saya begitu saja!” Teriaknya penuh tekad. Dia berharap kehadiran para petinggi Morgan Group dalam ruang rapat itu bisa menyelamatkannya dari pemecatan. Ujung bibir Joseph berkedut. Dia sudah menghindari drama, namun ternyata wanita itu tidak mengindahkan peringatannya. Apa wanita ini sebodoh itu, hingga berpikir dia akan merubah keputusannya dengan berbicara di tengah orang banyak? Sorot mata sedingin es Joseph membuat semangat dan harapan Wita Arista tenggelam. Puluhan mata mengarah ke sosoknya yang berdiri di ujung meja, tampak gugup dan ketakutan. Wita Arista, manajer pemasaran yang sebelumnya dikenal tegas dan berdedikasi, kali ini tidak berani menatap siapapun. Ekspresi wajahnya penuh tanda tanya dan kegelisahan. Joseph Morgan, mengetuk meja tiga kali dengan jarinya. Suaranya terdengar dingin saat ia membuka rapat. “Terima kasih untuk semua yang hadir pagi ini,” katanya, matanya menyapu seluruh peserta rapat dengan tatapan penuh makna. “Saya tidak akan bertele-tele. Sebelum kita ke agenda utama, ada keputusan penting yang perlu disampaikan kepada bapak ibu sekalian dan tim marketing hari ini.” Seluruh ruangan menjadi hening. Bahkan bunyi gesekan pena atau desahan napas tertahan pun tak terdengar. Mereka yang tahu tentang gosip di balik dinding kantor yang berkembang pagi ini, mulai menatap Wita dengan tatapan penuh spekulasi. “Jangan pernah meremehkan saya, Wita Arista. Morgan Group tidak butuh pengkhianat.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD