Joseph lalu mengisyaratkan ke arah pintu, dan sesosok pria melangkah masuk dengan percaya diri. Pria muda dengan setelan jas yang rapi dan wajah penuh energi itu menatap seluruh ruangan dengan senyum tipis.
“Perkenalkan, ini adalah Rendy Pratama. Dia akan menjadi manajer pemasaran yang baru,” kata Joseph, suaranya terdengar mantap. "Rendy memiliki pengalaman luas dalam mengelola strategi pemasaran yang inovatif dan hasil yang signifikan. Saya yakin dia akan membawa perubahan positif di tim ini."
Rendy mengangguk sambil tersenyum hangat. “Terima kasih, Tuan Morgan,” katanya, lalu mengarahkan pandangannya ke tim. “Saya berharap bisa bekerja sama dengan kalian semua. Mari kita bangun strategi yang lebih kuat bersama.”
Dia sebelumnya menjabat sebagai kepala seksi hubungan masyarakat, dengan prestasi gemilang. Adalah kebanggaan bisa mendapat promosi saat ini.
Para peserta rapat berbisik-bisik, beberapa dari mereka tampak terkejut dan penasaran.
Wita hanya bisa diam, menggenggam tangannya erat-erat, lalu melangkah keluar dengan wajah pucat.
Joseph duduk tenang, membuka agenda rapat, “Baik, kita akan melanjutkan evaluasi proyek yang telah berjalan. Saya berharap semua data yang ada akurat, tanpa ada celah. Dan saya ingin tidak ada yang bermain api di belakang saya. Kita tidak boleh mengulang kesalahan yang… baru saja kita alami.”
Suasana hening. Para petinggi perusahaan saling bertukar pandang, sadar bahwa Joseph tidak sedang berbasa-basi. Mereka semua tahu siapa yang dimaksud dalam perkataannya.
**
Langit di atas kota sangat cerah, matahari pagi bersinar terang, ketika Wita Arista berjalan menyusuri trotoar, seolah-olah dunia tak peduli dengan badai yang berkecamuk dalam dirinya. Ia tidak hanya merasa terhina—ia merasa terbuang, terkhianati oleh sosok yang diam-diam ia puja selama bertahun-tahun.
Di benaknya, wajah Joseph Morgan masih terpatri jelas. Tatapan dingin dan tegas itu, seolah tak menyisakan ruang sedikit pun untuk belas kasih. Tanpa peringatan, tanpa kesempatan untuk membela diri. Joseph, pria yang selama ini diam-diam ia kagumi, bahkan cintai, tak ragu melemparkannya keluar begitu saja.
“Delapan tahun…” Wita bergumam, kepalanya tertunduk menatap ubin marmer di bawah kakinya, tangannya terkepal erat. “Delapan tahun aku berkorban di perusahaan ini, melakukan segala hal untuk membuat Morgan Group sukses… bahkan untuk membuat dia bangga.”
Ia tertawa pahit, teringat setiap malam lembur, setiap proyek yang ia pertaruhkan reputasinya, dan semua pengorbanan yang ia lakukan demi satu tujuan: agar Joseph melihatnya bukan hanya sebagai bawahan, tapi sebagai seseorang yang layak di sampingnya.
Namun semua itu sia-sia.
Namun, siang itu, segalanya berubah. Semua harapan dan rencananya hancur ketika ia mendengar percakapan Tuan Morgan Senior.
Kata-kata itu masih terngiang jelas di telinganya.
“Belinda akan kembali… waktu yang tepat untuk meresmikan hubungannya dengan Joseph.”
Wita menggertakkan giginya, dadanya terasa sesak oleh kemarahan dan kecemburuan. ‘Wanita itu… dia tidak tahu betapa besar usahaku untuk mendapatkan posisi ini. Untuk mendapatkan dia!’ pikirnya dengan getir. Bagaimana mungkin seorang wanita yang entah dari mana datangnya bisa memiliki Joseph tanpa usaha apa pun?
Kepedihan yang menjalar dalam dirinya membuatnya nekat—nekat untuk mengambil kesempatan terakhir, membuat Joseph melihatnya sebagai seorang wanita, bukan sekadar manajer di kantornya. Itulah yang membuatnya melakukan tindakan itu. Hanya sebuah minuman dengan sedikit campuran untuk membuat Joseph lebih “terbuka.” Tapi semua rencana itu berbalik ke arahnya dengan sangat kejam.
‘Dan aku dipecat begitu saja,’ pikirnya, pahit. Joseph bahkan tak memberinya kesempatan untuk menjelaskan atau meminta maaf. Seketika, Wita merasakan kebencian yang mencekik.
‘Dia bahkan tidak memberiku waktu untuk bicara! Setelah semua yang aku lakukan?!’ bisiknya dalam hati, dengan kemarahan yang terus bergolak. ‘Dia pikir, dia bisa membuangku begitu saja?’
Bayangan Joseph, dengan tatapan dinginnya yang penuh penghakiman, masih membekas kuat dalam pikirannya, membakar amarahnya. Namun, kali ini, bukan rasa cinta yang mendominasi, melainkan dendam yang berakar dalam.
“Aku akan kembali, Joseph Morgan,” ia menggumamkan tekad itu dengan suara rendah, tapi pasti. “Kamu akan merasakan apa yang telah kau lakukan padaku. Jika kau pikir bisa melemparku keluar dari hidupmu dengan begitu mudah, kau salah besar. Aku tidak akan pergi begitu saja.”
Dengan napas yang memburu dan tatapan yang penuh tekad, Wita melangkah pergi dari gedung kantor Morgan Group. Satu hal yang pasti dalam benaknya—ini belum berakhir. Joseph akan melihat bahwa dia bukan wanita yang bisa disingkirkan tanpa konsekuensi.
***
Joseph Morgan masuk ke ruangannya dan duduk di kursinya. Wajahnya tampak tenang setelah meeting yang baru saja berakhir dengan kesepakatan yang sangat menguntungkan pihaknya.
Di belakangnya, Davin, asistennya, menyusul dengan langkah tergesa.
Walaupun terlihat tenang di luar, namun dia tahu, pikiran bosnya tak bisa diam.
“Kamu sudah menemukannya?” Joseph bertanya tak sabar, melihat asistennya masuk dan menutup pintu di belakangnya.
“Ya, Tuan. Saya sudah menemukannya.” Jawab Davin.
Joseph menghela napas. Lega.
Walaupun dia sudah menyelesaikan satu masalah dengan memecat karyawati yang kurang ajar itu, namun peristiwa malam itu tetap mengganggu pikirannya hingga detik ini. Rasa bersalah semakin menghantui, meski dia jarang memperlihatkan sisi manusiawinya pada orang lain.
“Teruskan.” Kata Joseph, meminta penjelasan.
"Tuan Morgan, nama gadis itu Elaine Wellis, dokter yang bekerja di rumah sakit pemerintah. Dia bertugas di sana hari ini."
Joseph mengangguk.
Ini bukanlah pekerjaan sulit bagi asistennya, yang telah terlatih melakukan pekerjaan-pekerjaan sulit dan mencari informasi apa pun dengan cepat.
Jadi seorang dokter?